Raline tengah sibuk mengumpulkan pakaian kotor milik suaminya yang berada di dalam koper. Tengah malam tadi, Evan baru saja tiba di rumah setelah berdinas ke Spanyol. Maklum tugas Evan sebagai seorang pilot membuatnya harus rela berjauhan dengan istri dan kedua anaknya.
Ketika sedang memilah pakaian kotor milik suaminya, tiba-tiba Raline terkejut ketika mendapati sebuah lingerie yang berada di tumpukan baju suaminya. Raline langsung meraih pakaian tersebut dan ia rentangkan lingerie tersebut di depan wajahnya.
"Lingerie siapa ini? Apa Evan membelikannya untuk ku? Tapi ku rasa tidak, ini bukan ukuran ku lagi. Ini ukuran ku ketika baru menikah, lalu punya siapa ini? Apa iya Evan bermain api di belakang ku?" gumam Raline penasaran.
Dengan cepat Raline langsung menyembunyikan lingerie tersebut dan segera mencuci pakaian suaminya. Ia tidak mau ambil pusing tentang masalah tersebut, Raline mencoba untuk tetap tenang dan tidak tersulut emosi.
Setelah selesai mencuci, Raline segera memasak untuk suaminya. Kali ini ia akan membuat salad Vietnam kesukaan suaminya. Kemudian Raline langsung menyeduh kopi untuk Evan. Raline terkejut saat Evan muncul tiba-tiba dari dalam kamar dan langsung memeluk Raline dari belakang.
"Evan, kau membuatku kaget" gumam Raline.
"Selamat pagi bidadariku" ujar Evan dan langsung melayangkan kecupan ke seluruh wajah Raline.
Dan hal itu membuat Raline sedikit memberontak karena ia masih sibuk membuat masakan untuk anak-anak nya.
"Evan hentikan! nanti masakan ku bisa gosong kalau kau menggangguku seperti ini" ujar Raline.
"Biarkan saja, aku akan menciumu hingga kau menyerah padaku"
"Evan ini masih pagi, apa semalam tidak cukup"
"Aku tidak pernah cukup, karena kamu selalu membuatku bergairah." Gumam Evan.
"Ciyeee... Mama sama Papa mesra banget sih." Gumam kedua anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Riana, Erin." Ucap Raline tersipu malu saat wajah Evan tepat berada di depan dada Raline.
Dengan sigap Evan langsung memeluk Raline dan mengatakan jika ia sangat merindukannya, kemudian Evan merentangkan tangannya dan mengajak Riana dan Erin untuk berpelukan bersama.
Dalam hati Raline merasa bingung, entah ia harus senang atau sedih dalam moment seperti ini. Karena pasalnya Raline baru saja mendapati kejadian yang membuat hatinya sedikit karam. Namun Raline tidak mau memperlihatkan kesedihannya di depan kedua anaknya, yang ada dalam benak Raline selalu menerka suaminya selingkuh atau tidak.
"Masakan Mama sudah siap, ayo kita makan bersama." Gumam Raline yang langsung melepaskan pelukannya.
Evan dan kedua anaknya bergegas duduk di kursinya masing-masing dan bersiap untuk menikmati masakan Raline. Raline mencoba untuk bersabar dan mencoba berpikir positif, jika lingerie tersebut bukanlah hal buruk untuk rumah tangganya.
Raline bergegas menyajikan masakannya di piring suami dan juga anak-anaknya, rasanya sangat sakit menyembunyikan kesedihan yang terus mencabik-cabik dirinya. Sepanjang sarapan bersama, Raline benar-benar di buat melamun.
Sampai pada akhirnya Evan menyadari hal itu dan langsung menanyakan Raline apakah ia sedang tidak baik-baik saja. "Raline, ada apa? Dari tadi aku perhatikan kamu melamun terus? Apa ada masalah?" tanya Evan lirih sambil mengenggam tangan Raline pelan.
Lamunan Raline buyar. "Tidak, Mas. Aku hanya senang melihat kita bisa berkumpul lagi dan berada di ruangan ini untuk makan bersama. Moment ini yang selalu aku tunggu, rasanya kalau kamu sedang pergi tugas. Rumah ini terasa sangat sepi sekali, aku bahkan merasa sangat kesepian jika hanya bersama anak-anak di rumah."
Evan menggengam tangan Raline dengan erat. "Sayang, aku kan pergi bekerja. Kalau aku tidak bekerja nanti bagaimana kita mendapatkan uang untuk biaya sekolah Riana dan Erin?"
"Iya Pa, rumah ini rasanya sepi sekali jika Papa sedang pergi tugas. Aku dan Kak Riana terkadang bosan jika harus terus-menerus di kamar."
"Kalian kan bisa pergi main ke taman bareng Mbok Sari."
"Mbok Sari kan sibuk, Pa. Kadang Mama sibuk terus sama kerjaannya." Seru Riana tak mau kalah.
Raline menghela nafas. "Jadi ceritanya kalian lagi ngadu ya ke Papa." Gumam Raline menggoda kedua anaknya.
"Iya dong Ma, abis aku dan Erin kan juga kangen sama Papa. Jadi kalau Papa sudah di rumah, aku ingin berkeluh kesah."
Evan tersenyum. "Riana, Erin dengarkan Papa ya. Selama Papa bertugas kalian harus nurut sama Mama, karena Mama sibuk itu kan juga sedang bekerja. Untuk masa depan kalian berdua, jadi Riana dan Erin juga harus memahami Mama ya." Seru Evan menasehati kedua anak perempuannya.
"Iya Pa." Sahut Riana dan Erin bersamaan.
"Kompak sekali ya anaknya Papa." Evan tersenyum antusias sambil menggenggam tangan Raline.
Mereka berempat kembali melanjutkan sarapannya, tak lama kemudian ponsel Evan berdering. Tertera nama Jerry Office di layar ponsel, Raline dapat menangkap jelas nama tersebut. Dengan cepat Evan langsung meraih ponselnya dan menjawabnya menjauh dari meja makan.
"Temanku telepon, aku angkat teleponnya dulu ya." Gumam Evan meminta izin pada Raline.
Raline tersenyum. "Iya sayang." Sahut Raline lirih.
Raline kembali melanjutkan sarapannya bersama kedua putrinya, sementara Evan sudah berada di halaman samping. Ia segera menjawab telepon dari Mila kekasihnya yang nomor teleponnya ia simpan dengan nama Jerry Office.
"Sayang, lama sekali sih angkat teleponnya." Gumam Mila sedikit kesal dari sambungan telepon.
"Maafkan aku, sayang. Tapi aku sedang sarapan bersama keluargaku, kamu kok gak kirim pesan dulu sih kalau mau telepon."
"Memangnya kenapa? Aku ini kan pacar kamu, jadi aku berhak dong mau telepon kamu kapan aja."
Evan menghela nafas. "Iya, aku tau. Tapi kalau aku sedang di kamar mandi terus kamu telepon dan yang angkat teleponnya istri aku gimana?"
"Ya itu salah kamu sendiri, kenapa mandi handphonenya gak di bawa ke kamar mandi. Sayang aku kangen banget sama kamu, baru 2 hari kamu kembali ke Indonesia rasanya aku sudah kesepian banget."
"Sabar ya sayang, minggu depan aku kan sudah kembali terbang lagi. Pokoknya nanti kamu harus jemput aku ya."
"Iya sayang, pasti aku jemput. Yasudah kamu lanjutkan lagi sana sarapannya, nanti kalau kamu telepon lama-lama takutnya istri kamu curiga."
"Oke sayang, terima kasih untuk pengertiannya." Seru Evan yang langsung mematikan ponselnya.
Evan bergegas kembali ke meja makan, dan ternyata kedua anaknya sudah selesai makan. Raline masih menunggu di meja makan dan makanan Raline juga sudah habis, hanya makanan Evan yang masih tersisa.
"Wah, anak-anak sudah selesai makan." gumam Evan sambil meletakkan ponselnya di meja.
"Mereka sudah tidak sabar mau membaca buku yang kamu belikan."
"Aku senang memiliki anak-anak yang gemar membaca, makananmu juga sudah habis ya. Kamu mau temani aku di sini kan untuk menghabiskan makanan ku." Seru Evan sambil menyantap makanannya.
"Kamu lama sih angkat teleponnya, telepon dari siapa?" tanya Raline penasaran.
"Dari kantor, aku minggu depan sudah harus berangkat tugas lagi ke Spanyol."
"Loh kok mendadak begini? kan cuti kamu masih 2 minggu lagi, kenapa tiba-tiba maju?"
"Ya namanya juga aku ini pekerja biasa, urusan merubah jadwal pekerjaan kan bukan kehendakku tapi pusat yang berkuasa." gumam Evan kembali duduk dan kembali menghabiskan makanannya.
Raline hanya bisa terdiam sambil memandangi Evan dari kursinya, jauh di dalam benak Raline terus menerka-nerka apa yang sebenarnya suaminya lakukan tanpa sepengetahuannya. Lamunan Raline buyar saat tiba-tiba anak perempuannya datang dan meminta untuk di belikan beberapa cemilan yang ada di minimarket yang tidak jauh dari rumahnya.
Raline pun memutuskan untuk pergi keluar untuk menyegarkan pikirannya, karena jika sedang berada di dekat Evan semua pikiran buruk selalu saja menghantuinya. Namun Raline tidak ingin menanyakan semuanya sebelum ia mengumpulkan semua bukti lain.