"Tapi aku menertawakanmu," sambungnya membuat Jesy membelakan matanya tak percaya.
Alodie lagi-lagi terkekeh, bangkit dari duduknya kemudian menatap sinis ke arah Jesy, "Ah, sial! Selera makan ku hilang karenamu." kesalnya sembari memasukan ponselnya ke dalam tas, Alodie tak langsung pergi, ia mencoba menyampirkan tasnya di bahu kemudian melipat kedua tangannya didada, "belajarlah menjadi wanita terhormat yang tidak mengejar seorang pria!" sambungnya hendak melangkah pergi namun tiba-tiba saja—
"Memangnya kenapa, bitch! Kau bahkan tak memiliki seorang pria dengan datang seorang diri ke restoran ini! Apa itu karena tidak ada pria yang mau bersamamu karena kau bertingkah seperti itu?" ujarannya membuat langkah Alodie terhenti.
Alodie membalikan tubuhnya, lantas terkekeh sinis, "Bitch?" ulangnya sembari menaikan kedua alisnya ke atas, "Me?" sambungnya seolah tak mengerti dengan bagaimana cara berpikir wanita yang ada di hadapannya itu.
Jesy yang mulai terintimidasi pun hanya diam tanpa sepatah katapun, pria yang ada bersama dengan Jesy sebelumnya pun sudah bangkit dan pergi meninggalkan Jesy, sedangkan Alodie berjalan mendekat, mengikis jarak diantara mereka, sekalipun Jesy terus menghindar dengan melangkah mundur, namun Alodie tak peduli akan hal itu.
"Jika kau ingin aman," bisik Alodie tanpa suara, nyaris tak terdengar. Tangannya terulur, menyentuh kerah kemeja yang digunakan oleh Jesy, membenarkannya dengan hati-hati, "Jangan pernah mengusik ku, karena kau tak tahu siapa aku," sambungnya semakin membuat Jesy mematung.
Alodie melepaskan kedua tangannya, meraih gelas miliknya yang ada di atas meja kemudian mengangkat gelas itu ke atas, tanpa menunggu lama Alodie segera menumpahkannya pada kemeja milik Alodie, membuat Alodie sontak memekik kemudian menjauhkan tubuhnya, sekalipun hal itu tak berguna, mengingat pakaiannya sudah basah ulah Alodie.
"Kau beruntung karena aku hanya melakukan ini padamu," kata Alodie sembari tersenyum dengan begitu manis, setelah itu pergi meninggalkan Jesy begitu saja.
Keluar dari restoran, Alodie meraih ponsel miliknya yang bergetar di dalam tas, ternyata itu adalah Ferisha. Tanpa menunggu lama, Alodie segera menerima panggilan itu, "Ferisha! Sungguh aku merasa sebal, aku bertemu dengan seorang wanita gila di restoran! Kita pergi saja ke tempat lain, bisakah kau mrnyusul–
"Alodie, aku akan pergi ke suatu tempat, pergilah sendiri, tak masalah bukan?" tukas Ferisha disebrang sana.
Belum sempat Alodie buka suara, Ferisha sudah kembali menyela, "Kita akan bercerita nanti, saat kita kembali." sambungnya.
"Tunggu!" kata Alodie tiba-tiba, ia menatap layar ponselnya terlebih dahulu, memastikan Ferisha tak memutuskan sambungannya sepihak, setelah dipastikan panggilan masih berlangsung, Alodie kembali menempelkan benda pipih itu ke telinganya, "Apa ada masalah? Kau butuh bantuanku? Bukankah kartumu diblokir? Aku bisa datang sekarang, katakan saja dimana kau sekarang." tanya Alodie, merasa khawatir pada Ferisha.
Mau bagaimanapun juga Alodie adalah sahabat yang baik.
"Tidak perlu, lagipula aku memiliki uang cash," balas Ferisha membuat Alodie mampu bernafas dengan lega, setidaknya Alodie tidak terlalu merasa khawatir pada Ferisha.
Lagipula mengapa Ferisha seolah memiliki tanda tanya besar disini? Alodie bahkan tak tahu akan hal itu, dimulai dari marga yang tidak diikutsertakan ke dalam nama, padahal Alodie tahu betul jika Ferisha merupakan seseorang dari keluarga berada, namun mengapa tanpa marga? Tak hanya itu, teka-teki akan adik Ferisha pun seolah menjadi teka-teki dalam pertemanan Alodie dan juga Ferisha.
***
"Hubungi aku jika terjadi sesuatu," kata Alodie disebrang sana.
Ferisha mengagguk, sekalipun dirinya tahu jika Alodie tidak akan melihat itu, "Ya tentu." balasnya setelah itu memutuskan sambungannya secara sepihak, menoleh ke arah Gavin yang masih saya diam sembari menatapnya dengan tatapan teduh, mengapa Gavin sangat manis? Padahal sebelumnya Gavin begitu menyeramkan dimata Gavin.
"Aku sudah melakukan apa yang kau mau," kata Ferisha, memfokuskan dirinya ke arah Gavin, tangannya bergerak memasukan ponselnya ke dalam tas, "Sekarang apa?" sambungnya.
Memang benar, Gavin tiba-tiba meminta Ferisha untuk membiarkan Alodie pulang terlebih dahulu, lagipula Ferisha sudah memutuskan untuk terus bersama dengan Gavin, Ferisha pikir rasa sakitnya tak akan pernah selesai jika dirinya terus bergantung pada keluarganya, setidaknya Ferisha harus membuat pilihan.
"Apa kau tidak ingin menemui keluargamu?" tanya Gavin tiba-tiba, meraih tangan Ferisha, lantas digenggamnya erat.
Ferisha menghembuskan nafasnya perlahan, ia menarik tangannya dari genggaman Gavin, lantas memberi jarak diantara mereka, "Itu hanya akan membuatku kesal," balasnya.
Gavin tahu jika Ferisha masih belum bisa menerima Gavin sepenuhnya, maka dari itu dengan perlahan Gavin akan melakukannya, sesulit apapun itu.
"Kalo begitu, kita pergi ke makan terlebih dahulu," kata Gavin seolah tak menerima bantahan apapun, Gavin tampak bangkit dari duduknya, meraih ponsel yang ada dalam saku jasnya, setelah itu mengotak-atik ponselnya dan menempelkannya pada telinga, Ferisha masih diam tanpa bergerak sedikitpun, dirinya mengamati apa yang akan Gavin lakukan saat ini.
"Aku akan makan dengan calon istriku, siapkan." ujar Gavin dengan tutur kata yang begitu dingin, sangat berbeda dengan nada bicaranya pada Ferisha.
Dan apa tadi? Calon istri? Itu gila.
"Apa maksudmu?" tanya Ferisha saat setelah Gavin memasukan ponselnya kembali ke dalam saku celana.
Mendengar itu, Gavin menarik kedua sudut bibirnya ke atas, "Memangnya kenapa?" Bukan jawaban yang Gavin lontarkan, melainkan pertanyaan baru yang membuat Ferisha memutar bola matanya malas.
Gavin terkekeh, mengulurkan tangannya ke arah Ferisha, "Ayo." ajaknya membuat Ferisha mengabaikan uluran tangan Gavin dan segera bangkit dari duduknya.
Ferisha mampu melakukan itu sendiri, dirinya bahkan menatap Gavin dengan tatapan sebal, "Aku tak butuh bantuan mu!"
Gavin lagi-lagi terkekeh, namun tetap saja tangan kekarnya kini melingkar dipinggang ramping Ferisha, Ferisha yang menyadari itupun hendak bergerak menjauh, namun Gavin menoleh dengan tatapan tajam, seolah mengintimidasi Ferisha untuk tidak bergerak sedikitpun.
"Apa sesulit itu berada disampingku? Semua wanita bahkan memohon dihadapan ku, mengapa kau tidak, hm?" tanya Gavin kemudian mulai berjalan dengan langkah pelan, membuat Ferisha ikut berjalan bersama dengan Gavin, masih dengan tangan kekar Gavin yang melingkar dipinggang Ferisha.
Jujur saja ini sedikit tak nyaman bagi Ferisha, namun mau bagaimana lagi? Ferisha pun tak mengerti pada dirinya sendiri, Ferisha memang ingin menolak, namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Ferisha seolah menerima segala perlakuan Gavin padanya.
"Mengapa kau tak pernah memberi perlawanan pada orang-orang sampah yang menyakiti mu, hm?" tanya Gavin masih terus berjalan bersama dengan Ferisha.
Namun, mendengar itu Ferisha tiba-tiba menghentikan langkahnya, menatap Gavin dengan tatapan penuh tanya, "Apa maksudmu?" tanya Ferisha seolah tak mengerti dengan apa yang Gavin tanyakan saat ini.
Gavin tersenyum, lantas menggelengkan kepalanya pelan, "Lupakan." kata Gavin membuat Ferisha mau tak mau melakukan itu.