Justin baru saja turun dari mobilnya. Ia merapikan kemeja hitamnya yang tampak elegan. Cielo menggamit lengan Justin dan membawanya masuk ke dalam rumah.
"Kamu cantik sekali, Sayang. Aku jadi gugup sekali," kata Justin.
"Terima kasih, Justin. Kamu tidak usah gugup." Padahal Cielo sendiri gugup.
Mereka berdua berjalan menuruni tangga. Wajah Justin terkesima melihat interior rumah Cielo.
"Apa keluargamu yang lain ada?" tanya Justin.
"Ya, tentu saja. Mereka sedang menunggu di bawah."
Akhirnya, mereka mencapai grand piano. Di sana, orang tuanya dan Cedric telah menanti kehadiran Justin. Segera saja Cielo memperkenalkan mereka semua pada Justin.
Makan malam berlangsung khidmat. Justin berubah menjadi pria yang pendiam. Ia lebih banyak senyum-senyum saja dan menjawab jika ditanya. Cielo jadi ingin tertawa. Sikap Justin itu lucu sekali.
Usai dari acara makan malam ini, Cielo berniat untuk menertawakannya karena Justin benar-benar tegang. Ternyata seperti ini rasanya makan malam bersama calon mertua, pikir Cielo.
Jika nanti sudah waktunya giliran Cielo yang makan malam bersama orang tuanya Justin, mungkin ia akan jadi lebih tegang lagi dari ini. Ia harus mempersiapkan mentalnya.
"Justin, apa kamu punya adik atau kakak?" tanya ayahnya Cielo.
Justin berdeham sambil mengunyah makanannya. "Uhm, saya punya seorang kakak laki-laki."
"Oh. Apa dia sudah menikah?"
"Belum, Om. Dia belum menikah."
Ayahnya Cielo mengangguk perlahan. "Kalau kamu sampai menikah lebih dulu dengan Cielo, apa dia akan keberatan?"
"Papih …," ujar Cielo.
"Aku rasa, dia tidak akan keberatan," jawab Justin sambil menoleh pada Cielo dan tersenyum.
"Baguslah," ucap ayahnya. "Jika aku lihat-lihat, hubungan kalian cukup serius. Tidak perlu berlama-lama lagi. Aku setuju jika kalian segera bertunangan dan menikah. Hmmm, apa kamu sudah ada niatan untuk menikahi putriku? Kamu serius kan menjalani hubungan ini dengan Cielo?"
Pertanyaan ayahnya Cielo terdengar begitu mengintimidasi. Cielo jadi malu. Seorang ayah bisa jadi sangat galak saat melindungi anak perempuannya. Diam-diam, Cielo mengulum senyum.
Namun, saat menanti jawaban dari Justin, Cielo perlu menunggu beberapa detik. Ia menoleh pada Justin yang terlihat tegang sekali.
"A-aku sangat serius menjalani hubunganku dengan Cielo, Om. Aku sangat mencintainya dan …." Justin menggenggam tangan Cielo dari bawah meja. "Aku memang berniat untuk menikahinya kalau memang Om dan Tante tidak keberatan."
Ayah dan ibunya Cielo langsung tersenyum mendengar ucapan Justin.
"Tante sama sekali tidak keberatan," kata ibunya. "Lagi pula, ayahmu dan ayahnya Cielo juga kan sudah saling kenal. Mereka ada bisnis bersama, ya kan, Sayang?"
Ibunya menoleh pada ayahnya yang mengangguk. "Ya, itu benar sekali. Aku tidak keberatan sama sekali. Jika memang sudah siap, silakan kalian rundingkan maunya bagaimana. Sebaiknya kalian tidak perlu menunda terlalu lama untuk menikah. Kalian sudah sama-sama mapan, bukan?"
Justin mengangguk. "Baik, Om. Saya akan bicarakan dengan orang tua saya dan pastinya dengan Cielo juga. Dia nya maunya bagaimana?"
Justin menoleh pada Cielo yang sedang tersenyum malu-malu. "Aku sih terserah Justin saja. Kita bisa membicarakan tentang pertunangan dan pernikahan, nanti setelah acara makan malam ini."
Justin mengangguk. "Ya, Sayang."
Ibunya tersenyum saat mendengar Justin memanggil sayang pada Cielo. Cedric mengangkat alisnya sambil menyendok pasta dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Cedric, bagaimana denganmu?" tanya ayahnya.
Cedric mendongak. "Ada apa, Pap?"
"Apa kamu setuju jika kakakmu menikah dengan Justin?"
"Ya, aku sih setuju-setuju saja. Kelak kita bisa saling mengenal," ujar Cedric sambil nyengir. "Aku tidak ada lagi saudara laki-laki."
Justin terkekeh. "Begitu ya. Aku justru tidak punya saudara perempuan."
Makan malam pun berjalan lebih santai karena yang tegang sudah berlalu. Ayahnya Cielo benar-benar serius ingin menikahkannya dengan Justin. Hal itu membuat Cielo jadi senang sekaligus tegang.
Tidak pernah terpikirkan sekalipun oleh Cielo untuk menikah dengan Justin dalam waktu dekat ini. Ia pikir, ia berpacaran dengan Justin hanya untuk bersenang-senang saja, mengisi hari-hari yang sepi tanpa kehadiran cinta seorang pria.
Ternyata bisa memiliki kekasih yang begitu sempurna dan perhatian itu sangatlah menyenangkan.
Usai makan malam, Justin dan Cielo mengobrol di kursi dekat kolam renang.
"Cielo, apa kamu sudah siap menikah denganku?" tanya Justin.
Cielo tersenyum malu-malu. "Ya, Justin. Aku akan siap kalau kamu siap. Kita akan melaluinya bersama-sama, bukan?"
"Ya, Sayang. Tentu saja. Kita akan sama-sama menyiapkan pernikahan kita bersama-sama. Aku sudah tidak sabar lagi untuk bercinta denganmu," bisik Justin di kalimat terakhirnya.
Lagi-lagi, hati Cielo bergetar mendengar Justin berkata seperti itu. Tanpa sadar, ia menekan dadanya untuk memastikan bajunya rapi dan tidak ada yang terbuka. Lalu ia menarik roknya supaya benar-benar rapi.
Mengapa setiap kali Justin berkata seperti itu, Cielo jadi takut? Justin tidak akan benar-benar berani melakukan hal itu padanya sebelum mereka resmi menikah bukan?
"Tidak usah tegang begitu, Sayang," ujar Justin sambil tersenyum manis.
Cielo pun kembali tersenyum. Ia memandangi wajah Justin yang tampan. Hidungnya mancung dan sorot matanya begitu tajam. Jambang tipis di pipi dan dagunya membuatnya terlihat semakin macho.
Cielo merasa beruntung bisa mendapatkan seorang kekasih yang tampan dan baik hati seperti Justin.
"Oh ya. Nanti setelah ini, kamu susun ya di kertas," kata Justin. "Kamu mau pernikahan yang seperti apa. Aku akan mempelajari proposalmu dan berusaha untuk mewujudkannya untukmu."
Cielo pun terkekeh. "Kita ini mau menikah, Justin, bukan kerja sama bisnis. Untuk apa aku membuat proposal?"
Justin pun ikut terkekeh. "Ya, aku kan tidak tahu, Sayang. Aku belum pernah menikah sebelumnya. Aku pikir, tidak ada salahnya jika kamu menulis daftar semua keinginanmu di secarik kertas. Jadi, aku tahu apa yang kamu suka dan tidak suka."
Cielo mengangguk. "Baiklah. Aku akan menulis semua keinginanku. Kamu juga ya, Justin. Kamu tulis, keinginanmu itu seperti apa supaya kita bisa saling menyatukan keinginan kita."
"Aku hanya ingin bercinta denganmu," ujar Justin.
Cielo pun berdeham. "Ayolah. Kita tidak akan membahas hal itu sekarang, apalagi di sini. Bagaimana nanti kalau orang tuaku mendengarnya? Lalu bagaimana jika Cedric menaruh alat penyadap di kursi ini?"
"Kamu serius? Apa Cedric termasuk orang yang suka menguping?"
Cielo tertawa. "Tidak, tidak. Aku hanya berandai-andai. Tidak ada salahnya kamu tahan dulu keinginanmu yang satu itu sampai kita menikah, oke?"
Justin mengangguk. "Baiklah. Oh ya, Sayang. Kamu tidak keberatan kan jika aku tidak melamarmu seperti yang televisi itu? Di mana sang pria berlutut dengan satu kaki sambil menyerahkan cincin berlian di tangannya? Aku belum membeli cincin apa pun."
Cielo menggelengkan kepalanya. "Tidak usah, Justin. Aku lebih suka kita melakukannya secara biasa-biasa saja. Tidak usah terlalu heboh. Aku tidak suka ada banyak orang yang melihatku saat ada pria yang berlutut sambil menyerahkan cincin di hadapanku. Tidak, tidak. Aku bukan tipe wanita seperti itu."