Jihad adalah jalan kilat menuju surga. Memerangi orang kafir yang telah mengibarkan bendera perang memerangi kita, umat muslim. Jika mereka menyatakan peperangan, maka haram hukumnya bagi kami untuk meletakkan pedang dan melipat baju perang. Haram bagi kaum lelaki untuk melangkah mundur meninggalkan medan pertempuran. Hanya ada kata menang atau mati syahid. Tidak ada kata kalah dimata kami. Kami akan membawa pulang kemenangan ataukah akan mati dalam kemuliaan mendapatkan hadiah surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Tetapi pada masa yang akan datang, banyak orang yang salah paham akan hal ini. Bukan lagi jihad yang diajarkan oleh Rasul dan para sahabat, melainkan jihad menurut pendapat mereka sendiri.
Tahun ini adalah masa kejayaan bangsa Islam. Khalifah telah mengumumkan bahwa besok beliau dan pasukan muslimin akan menyerang pasukan musuh. Siapapun boleh ikut. Maka tidak ada satupun dari laki-laki muslim yang menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Hadiah surga sudah ada didepan mata. Sekarang siapakah yang mau menjemputnya dan membuka gerbang surga Allah itu. Salah satu diantaranya adalah calon suamiku. Ia mengeyampingkan cinta dan maju memenuhi panggilan Allah. Panji-panji Islam harus terus berkibar di atas muka bumi.
Kurasakan baru kemarin dia berada disini. Berbincang-bincang tentang banyak hal. Dia juga membuatkan teh hangat untuk ibuku. Masih dapat kucium aroma parfum yang khas dari bajunya. Namun sekarang, hanyalah jejak sidik jarinya yang tertinggal. Menjahit adalah satu satunya caraku untuk melarikan diri dari dunia ini untuk sementara. Dalam kesunyian dan gerakan tanganku yang lembut memasukkan benang ke jarum, perlahan air mata ini mengalir tanpa diperintah. Begitu banyak hal yang melintas di benakku. Walau mata terpaku pada kain di genggamanku, namun kekhawatiran terus saja melintas dan berputar-putar di benakku.
Hari demi hari telah berlalu sejak keberangkatannya dengan pasukan muslimin. Tetapi masih belum ada kabar darinya. Tidak ada surat yang sampai ke tanganku. Padahal para keluarga lain sudah mendapatkan kabar dari anggota keluarga mereka yang berada di medan perang. Bagaimanapun, tidak ada keraguan padaku sedikitpun akan janji Allah. Namun, aku hanya merindu. Aku tidak menginginkan siapapun selain dirinya. Kuharapkan Allah menakdirkannya bersamaku di dunia ini maupun di akhirat nanti. Setiap hari yang kulakukan hanyalah menunggu pantulan cahaya dari pedangnya terlihat lagi diujung jalan sana. Aku menanti suara tapak kaki kudanya terdengar kembali.
Siang itu mentari terasa sangat panas menyengat. Sesekali butiran debu yang berterbangan memaksa mata mereka untuk setengah menutup. Para mujahid bersujud dengan khusyuk seakan-akan berada di mata air yang menenangkan jiwa. Mereka semua melepaskan perhiasan-perhiasan dunia yang melekat dan pergi berbicara pada tuhannya. Mereka hanyut dalam komunikasi dengan sang pencipta alam yang maha besar, sang penggenggam nyawa mereka semuanya.
"Asyhaduallaa Ilaaha Illallaah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasuulullaah. Allaahumma Shalli'Alaa Muhammad, Wa'Alaa Aali Muhammad. Kamaa Shallaita Alaa Ibraahiim Wa Alaa Aali Ibraahiim. Wabaarik'Alaa Muhammad Wa Alaa Aali Muhammad. Kamaa Baarakta Alaa Ibraahiim Wa Alaa Aali Ibraahiim, Fil'Aalamiina Innaka Hamiidum Majiid. Assalamualaikum Warahmatullah." Seusai salam, kami kembali ke dalam kemah masing-masing untuk mempersiapkan strategi perang. Hari ini adalah hari kelima sejak keberangkatan dari negara kami. Tenda-tenda putih kami baru saja selesai ditegakkan semenit sebelum sholat duhur. Para mujahidin masih dalam keadaan lelah dan melemaskan otot-otot badannya. Waktu tengah hari adalah waktu yang sangat terik dan panas seakan-akan matahari berada tepat diatas kepala kami.
Jumlah kami memanglah banyak dan tak terhitung, namun itu tidak berarti bahwa tidak ada 'penyakit'di dalamnya. Saat ini adalah puncaknya musim kemarau. Banyak buah-buahan yang matang dari kebun kami dan biasanya kami selalu mendapatkan banyak untung dari berdagang. Aku biasanya sampai membeli mobil pick up lebih untuk membawa buah-buahan hasil dari kebunku. Banyak sekali hasil kebun yang matang secara bersamaan, tak terkecuali umbi-umbian. Kami semua semampunya membawa bekal sendiri untuk berangkat ke medan perang. Sisanya yang tidak mampu akan dibantu oleh pemerintah karena perjalanan jauh dan membutuhkan bekal yang cukup untuk hari-hari kedepannya.
Diawal-awal perjalanan ini semua masih tampak baik-baik saja. Aku hanya berkenalan dengan beberapa prajurit saja yang selalu tampak disekelilingku selama perjalanan. Namun akhir-akhir ini aku lebih dekat dengan Yasir. Kita berdua memiliki pemikiran yang sama dan dari keadaan keluarga yang hampir sama juga. Ayah kita sudah tua dan sakit-sakitan. Kita berdua sama-sama anak terbungsu dikeluarga kami. Beberapa kakak kami ada yang sudah meninggal. Jadi, sebagai anak laki-laki satu-satunya didalam keluarga, kami mewakilkan keluarga kami untuk jihad. Hanya saja, aku dibesarkan dengan timangan oleh ibuku, sedangkan Yasir dibesarkan dengan kekerasan oleh ibunya. Dia menjadi pemuda yang tangguh dan pantang mengeluh. Sedangkan aku, baru saja aku berlatih pedang dan keahlian bela diri beberapa bulan terakhir. Aku banyak sekali belajar pada Yasir. Walaupun usia kami jauh, namun dia lebih dewasa dariku. Umur bukanlah penentu dari sebuah kedewasaan.
Temanku yang lainnya adalah Medi dan Midan. Usia mereka masih lebih muda daripada aku dan Yasir. Medi adalah kakak kembaran dari Midan. Sulit membedakan diantara mereka. Bahkan aku harus memastikan lagi nama mereka ketika berbicara pada salah satunya. Mereka berdua sudah kami anggap sebagai adik di grub kami ini. Mereka berdua hanya memiliki satu perisai tua dan tidak mendapatkan 'bantuan' dari pemerintah karena jumlah pasukan yang banyak. Maka dari itu, Medi sebagai kakak menyerahkan perisai itu kepada adiknya. Memang semua itu benar, jika iman sudah tertanam pada hati para hamba-Nya, maka keberanian akan menyusup kedalam lubuk hati tanpa mengenal siapa dan berapa usia si empunya. Medi dan Midan hanyalah anak kemarin sore, namun kepercayaannya pada janji Allah telah terpatri didalam lubuk hati mereka. Jika perintah jihad sudah dikumandangkan, maka keduanya saling menguatkan tali sepatu mereka dan berangkat ke medan perang.
Mereka sangat siap untuk berperang dan siap untuk tidak pulang. Keduanya telah berjanji akan saling menanti didepan pintu surga. "Medi, nanti kalau kau menemui Allah terlebih dahulu dan tidak melihatku disana, tolong sampaikan ke Allah ya", begitu kata sang adik. Sang kakak tersenyum mendengarnya seraya berkata, "Tentu, aku tidak akan pernah melupakanmu. Aku akan mencarimu dan membawamu masuk ke surga." Kami semua terenyuh mendengar percakapan si kembar itu. Begitu siapnya mereka dengan maut. Memang benar….. bagi setiap muslim, maut hanyalah seperti gigitan semut. Tidak perduli dengan cara apa dia mati. Tebasan pedangkah, tertabrakkah, tertimpa runtuhkan bangunankah, semua muslim yang taat tidak akan merasakan sakitnya semua itu. Yang akan dihadapinya hanyalah sang malaikat maut yang sedang menarik ruhnya keluar.
Siang itu, Medi sempat melamun sambil mengayun-ngayunkan lemah pedangnya. Dia menatap jauh ketengah padang pasir yang tanpa batas itu dan mulai bergumam. Otaknya seolah-olah tengah membayangkan tentang sesuatu hal. Dia tenggelam sangat dalam di dalam pikirannya hingga tidak menyadari ada seseorang yang saling bercakap-cakap disampingnya. Di kejauhan, ada suara yang memanggil-manggil namanya. Namun Medi sudah tenggelam terlalu dalam di alam bawah sadarnya.