"Nis, kamu kenapa?" tanya Ibu yang sedang duduk di sofa ruang tamu dan menemani kedua anakku bermain, saat aku berada di ambang pintu dengan kondisi sambil menangis.
Dengan segera telapak tangan ini terangkat dan mengusap sisa-sisa air mata di pipi dan juga mata. Melihat kedua anak yang tak berdosa sedang asyik bermain, membuat hati ini makin pilu, karena tak bisa memberi mereka kebahagiaan yang lengkap, yaitu seorang ayah.
Ibu kemudian menyuruh Kenzo dan Naura untuk bermain di dalam, seolah paham apa yang sedang terjadi padaku saat ini, tak layak didengar oleh anak-anak seusia mereka. Kedua bocah itu langsung menuruti permintaan tersebut, lalu aku duduk di sebelah ibu sambil menunduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Apa yang terjadi? Kamu dan Aldi berantem?" tanya Ibu sambil memegang pundakku.
"Ak—" Terdengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah, dan bisa kupastikan bahwa itu adalah Aldi. "Bu, kalau itu bener suara mobil Aldi, bilang aja aku belum pulang, ya. Dan, tolong minta dia untuk pulang aja."
Tanpa menunggu jawaban Ibu, aku langsung beranjak, bersembunyi di balik tirai berwarna krem, sebagai pintu pembatas antara ruang keluarga dan ruang tamu.
"Mama ...," panggil Kenzo.
Panggilan tersebut membuatku terkejut sekaligus khawatir jika sampai Aldi sudah masuk ke rumah, dan mendengar suara bocah laki-laki itu. Dengan segera aku memberi kode dengan meletakkan telunjuk sebelah kiri di depan mulut, agar Kenzo tak mengeluarkan suara apa pun lagi.
Setelah memastikan bahwa orang yang datang itu adalah Aldi, buru-buru aku berlari kecil ke arah kenzo, lalu berjongkok di hadapannya.
"Kenzo, Ara ada di mana?" tanyaku dengan suara lirih, sambil mengedarkan penglihatan ke seluruh ruangan berukuran tiga kali tiga meter dengan cat berwarna putih ini, mencari keberadaan putri mahkotaku.
"Ara ada di kamar, Ma. Katanya ngantuk. Ini Kakak ambilkan susu kotak buat dia, biar cepet tidurnya," jawab Kenzo dengan menunjukkan sebuah kotak kecil susu UHT di tangan sebelah kanannya.
Tangan ini lantas memegang lengan Kenzo. "Ya sudah, Kakak masuk aja. Temenin Ara dulu, ya. Mama mau ke dapur sebentar."
Kenzo mengangguk dan menuruti permintaanku untuk masuk ke kamar dan menemani Naura. Setelah itu, aku kembali ke tempat semula, mendengar apa yang ibu dan Aldi bicarakan di ruang tamu.
"Ibu paham perasaanmu ke Nisya seperti apa. Tapi, Ibu juga nggak bisa ikut campur urusan kalian. Ada baiknya kamu tidak memaksakan kehendakmu dulu untuk saat ini. Kamu tentu sudah paham, bagaimana Nisya saat hatinya sedang kalut."
Aldi terlihat menunduk lesu. Namun, tak lama dia mengangguk lalu diangkat lagi kepalanya. Tanpa sengaja mata lelaki yang sudah dua tahun menemani hari-hariku itu terlihat memerah, seperti orang yang baru saja habis menangis.
"Aldi benar-benar mencintai Nisya, Bu. Aldi ingin menikahi dan menjaga Nisya, juga anak-anak. Tidak ada wanita lain di hati Aldi. Aldi bisa jamin itu," ucap Aldi dengan nada frustrasinya.
Setiap perkataan Aldi, membuat mata ini meneteskan buliran beningnya. Ingin sekali aku memercayai semua yang Aldi katakan. Akan tetapi, apa mungkin Lina berbohong padaku, hanya demi memisahkan kami? Ah! Tidak ... kalau memang gadis itu setega itu, harusnya sejak lama Lina mengatakannya padaku.
"Al ... Ibu minta maaf, kali ini Ibu benar-bebar tidak bisa membantumu. Ini masalah kalian. Sebaiknya, kalian yang menyelesaikannya berdua. Jangan melibatkan siapa pun, walaupun itu keluarga dekat kalian," saran Ibu.
Menyerah. Aldi pun akhirnya mengalah dan hendak keluar. Akan tetapi, sebelum hal itu dia lakukan, laki-laki penggemar Lionel Messi itu mengatakan, bahwa dirinya tak 'kan pergi dari depan pintu rumahku.
"Aldi ... dengarkan Ibu dulu ...."
"Maaf, Bu. Tekad Aldi sudah bulat. Aldi akan menunggu Nisya keluar dari rumah dan menemui Aldi agar kami berbicara. Tolong jangan halangi saya, Bu. Saya janji, tidak akan membuat keributan, atau membuat Ibu dan Nisya merasa malu." Tanpa menunggu jawaban dari Ibu, Aldi langsung keluar rumah, dan membiarkan ibuku mematung sendiri di sofa.
Setelah memastikan Aldi di luar dan tidak bisa melihat keberadaanku, aku pun menghampiri ibu, setelah sebelumnya menutup pintu terlebih dahulu.
"Ibu jadi bingung sekarang," ucap ibu.
"Bu, nggak perlu bingung. Biarkan saja dia. Ini juga, 'kan yang Ibu mau? Aku berpisah darinya, supaya kehidupanku dan anak-anak bisa lebih damai dari gunjingan para tetangga dan orang lain?"
Ibu melihatku dengan tatapan yang aneh, kedua tangannya terlipat di depan dada. "Sebenarnya, apa yang terjadi? Ibu sudah mendengar penjelasan versi Aldi, tapi belum penjelasanmu."
Aku terdiam sejenak, menutup mata sambil mengambil napas lalu, mengembuskannya dengan kasar. Berusaha menetralkan perasaan yang sebelumnya kacau, karena isu perjodohan Aldi dengan wanita itu.
Setelah membuka mata, kutatap ibu dengan mata yang berkaca-kaca. "Aldi mau dijodohkan dengan wanita lain, Bu."
Ibu membuka matanya lebar, terlihat sekali dari raut wajahnya jika saat ini, wanita paruh baya tersebut sedang terkejut.
"Dijodohkan? Aldi sendiri yang mengatakannya padamu?"
Aku menggelengkan kepala. "Bukan. Tapi, Lina."
Ibu makin terkejut mendengar aku menyebut nama Lina. "Bukannya dia adiknya Aldi?"
Aku mengangguk. Lalu menjelaskan semua perlakuan Lina padaku. Tak ada yang kututupi lagi dari Ibu. Bagaimana caranya menghina statusku di hadapan keluarga besar Aldi, mengatakan bahwa aku tidaklah pantas bersanding dengan seorang lelaki single, karena status dan juga kedua anakku.
Bahkan, aku juga menceritakan bagaimana Lina mengatakan tentang perjodohan Aldi pagi ini. Pun, dengan doa agar aku mendapat laki-laki yang setara dengan statusku, yaitu seorang duda.
"Dari awal Ibu sudah yakin, bahwa tidak akan semua keluarga Aldi menyukaimu. Mungkin, ini semua akan menjadi cerita yang berbeda kalau kamu masih sendiri tanpa statusmu dan juga kedua anak itu."
Sambil terisak, aku mengangguk. "Maafkan Nisya yang nggak pernah dengerin omongan Ibu sebelumnya. Kalau saja, waktu Ibu meminta Nisya untuk memikirkan ulang hubungan ini, aku langsung melakukannya, mungkin hari ini, Nisya nggak akan merasa sakit hati lagi."
"Lalu, sekarang apa keputusanmu?" tanya Ibu.
"Aku akan benar-benar mengakhiri hubunganku dengannya."
"Dan, menjauhkan anak-anak secara tiba-tiba dengan Aldi? Apa itu akan mudah?" tanya Ibu yang lagi-lagi membuatku berpikir.
Benar yang ibu katakan. Semua itu tidak akan mudah. Terlebih, kedekatan Kenzo dan Naura dengan Aldi sudah sangat kuat. Selama dua tahun kami menjalin hubungan, dan mantan suamiku yang tak pernah lagi menemui mereka, atau bahkan hanya memberi kabar, sangat membuat kedua malaikat kecil itu kecewa dan mengalami kesedihan mendalam.
Namun, Aldi yang bukan siapa-siapa, mampu memberi kasih sayang seorang ayah untuk Kenzo dan Naura. Mengisi kekosongan hati mereka, dan membuatnya merasa lengkap.
"Memang tidak mudah. Tapi, Nisya akan berusaha. Sebelum Aldi hadir dalam hidup Nisya, kami sudah terbiasa bertiga, kan, Bu?"
"Bicara itu memang mudah. Tapi, melakukannya pasti sangat sulit. Menurut Ibu, kamu boleh mengakhiri hubungan kalian. Tapi, beri Aldi waktu untuk menjauh secara perlahan. Jangan tiba-tiba seperti ini."
"Tidak, Bu. Ini harus segera diselesaikan. Makin lama mereka dekat, maka ikatan di antara mereka juga makin kuat. Saat hal itu terjadi, makin sulit untuk Nisya menjauhkan Aldi dari anak-anak."
"Ya sudah ... Ibu hanya memberi pandangan untuk kebaikan anak-anak saja. Semua keputusannya kembali ke kamu."
Ibu kemudian masuk ke kamarnya. Meninggalkanku di sofa yang sedang memikirkan semua hal yang Ibu katakan tadi.
Setelah lama berpikir, aku memutuskan untuk masuk ke kamar juga. Akan tetapi, langkahku terhenti tatkala mengingat bahwa Aldi mengatakan tidak akan pulang, dan justru menungguku di luar rumah.
Penasaran. Aku pun mengintip dari balik tirai abu-abu jendela ruang tamu. Di depan rumah, memang ada Aldi yang sedang bersandar di mobil Suzuki Ertiga berwarna silver miliknya.
"Kenapa, sih, Al? Apa lagi maumu?" gumamku.
Dengan cepat aku menutup tirai itu saat Aldi melihat ke arahku. Kemudian memilih masuk ke kamar untuk beristirahat. Mencoba sejenak melupakan semua permasalahan hari ini.