Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Pria paruh baya berkacamata itu duduk termenung di tepi ranjang tempat tidur, memandangi sang putri kecil semata wayangnya yang telah beranjak dewasa. Berapapun usia Purie saat ini, Tuan Seno tetap menganggapnya sebagai putri kecil yang manja. Sesekali Tuan Seno menampakkan senyum getirnya, ketika kembali mengingat bahwasanya Purie merupakan anak piatu tanpa ibu. Tuan Seno merasa iba, setiap kali mendapati sang putri tunggalnya itu terlelap, dan ia dapati juga sebuah kesedihan dalam diri Purie yang menguap. Gadis cantik berwajah mungil itu tidak pernah bisa lagi merasakan kehangatan dekapan seorang ibu ketika dingin, pelukan yang menenangkan ketika gelisah, dan sandaran terkokoh ketika lelah.