Chereads / (Giant) Babysitter / Chapter 15 - 15. Menemukan Jawaban

Chapter 15 - 15. Menemukan Jawaban

Juwita menyingkap tirai kamar sang ibu, ia sejenak mengintip keadaan di dalam kamar dari balik celah tirai yang sedikit terbuka. Sebetulnya ia tidak ingin kalau sampai ibunya merasa tidak nyaman dikarenakan kehadirannya, namun Juwita juga merasa perlu menghibur sang ibu di saat ia tampak sedang menyembunyikan kesedihannya.

"Ibu," ucap Juwita sembari melangkahkan kaki memasuki kamar sang ibu.

Di dalam kamar, tepatnya di bawah ranjang tempat tidur, Bik Arum tampak tengah berjongkok sembari membongkar isi tasnya yang berukuran besar itu. Tas yang berisi barang-barang bawaannya dari kota, dari rumah mantan majikannya kemarin. Bik Arum menoleh ke arah putrinya seraya menyeka bulir air di sudut matanya.

"Ah, kau? Kenapa kemari? Habiskan dulu sarapanmu, sana!" tandas Bik Arum.

Juwita menggelengkan kepala sembari menurunkan kedua lututnya ke lantai.

"Tidak. Aku telah kehilangan selera makanku lebih dulu sebelum aku sempat menghabiskannya," imbuh Juwita.

Bik Arum tertawa sinis.

"Apa karena pembicaraan aku dan nenekmu tadi? Bukankah kau tahu persis bagaimana isi kepala kami berdua? Kami berdua adalah anak dan ibu yang sama-sama keras kepala. Jadi, kau tidak perlu mencemaskannya secara berlebihan," tandas Bik Arum.

"Aku tidak mencemaskan soal itu, yang aku cemaskan saat ini adalah ibu," sergah Juwita pelan.

Bik Arum tersentak, namun ia tetap melanjutkan aktivitasnya mencari beberapa kantong buah-buahan segar yang sengaja ia bawa dari kota untuk Juwita dan juga Nenek Sari, ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan putrinya barusan. Ini merupakan hari pertama bagi Bik Arum untuk kembali merasakan pagi yang cerah di desa kampung halamannya. Ia merasa belumlah tepat waktunya untuk bercerita soal alasan mengenai kepulangannya yang secara tiba-tiba itu.

Juwita menyadari bahwa sang ibu tidak menggubris ucapannya barusan. Juwita pun perlahan meletakkan telapak tangan kanannya di atas pundak sang ibu.

"Ibu, apa ada sesuatu yang terjadi hingga menyebabkanmu mendadak pulang seperti ini?" sambung Juwita dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin kalau sampai menyinggung perasaan ibunya sendiri.

Juwita bukannya tidak senang hati menerima kepulangan sang ibu, ia justeru sangat merindukan sosok sang ibu dan berharap dapat hidup bersama-sama lagi selamanya. Namun Juwita tidak juga bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Sejujurnya Juwita merasa ada hal yang cukup janggal dengan kepulangan sang ibu saat ini.

"Ah, akhirnya buah-buahan ini kutemukan! Ayo cepat kita kembali ke meja makan untuk menikmati buah-buahan segar ini!" cetus Bik Arum bersemangat tanpa menghiraukan pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh putrinya barusan.

Bik Arum bergegas bangkit berdiri seraya membawa dua kantong berisi buah-buahan segar. Tanpa menunggu sang putri untuk ikut berdiri bersamanya, Bik Arum melenggang pergi keluar kamar untuk kembali ke meja makan.

Juwita hanya menghela napas pendek. Ia semakin yakin bahwa memang ada hal yang ibunya coba sembunyikan. Juwita masih bertahan di tempatnya dan tidak bergeser sedikitpun. Hingga akhirnya pandangan Juwita mengarah pada sebuah tas besar milik sang ibu yang kebetulan tidak ditutup secara sempurna.

Juwita mengernyitkan alisnya pertanda penasaran. Ia mendapati sebuah buku cukup tebal di dalam tas tersebut. Tanpa membuang waktu, Juwita pun bergegas mengambilnya.

"Buku catatan penting?" eja Juwita ketika membaca sebuah judul yang tertera pada sampul buku catatan tersebut.

Juwita merasa cukup penasaran dengan isi dari buku yang tampak tebal itu. Ia pun membuka halaman demi halaman buku tersebut dengan perlahan. Hingga akhirnya sebuah benda terjatuh di dekatnya. Benda yang terbungkus dengan amplop berwarna coklat yang sebelumnya berada di antara himpitan buku.

"Apa lagi, ini?" cetus Juwita sembari mengambil amplop coklat tersebut.

Juwita mendekatkan amplop tersebut pada kedua lubang hidungnya. Sehingga Juwita dapat meyakinkan diri bahwa aroma yang dihirupnya barusan menandakan bahwa benda di dalam amplop coklat tersebut adalah uang.

"Uang? Sepertinya ini benar-benar bukan jumlah yang sedikit!" gumam Juwita dengan raut takjub.

Juwita meletakkan uang tersebut di lantai. Ia masih merasa penasaran dengan isi dari buku catatan milik sang ibu tersebut.

"Jadwal aktivitas harian, mingguan dan bulanan Nona Purie?" eja Juwita ketika membuka halaman demi halaman buku tersebut.

"Daftar makanan yang membuat Nona Purie alergi?" sambung Juwita.

"Sepertinya buku yang benar-benar penting bagi ibuku. Lalu, uang sebanyak ini?" tandas Juwita penasaran.

***

Di meja makan, Bik Arum tampak tengah sibuk memotong buah apel dan beberapa macam buah lainnya. Sementara Nenek Sari memerhatikan anak tunggalnya itu sembari menyicipi beberapa potong buah.

"Juwita, kau sedang apa? Lama sekali, cepat ke meja makan dan lanjutkan sarapanmu!" teriak Bik Arum memanggil putrinya.

Tak lama kemudian, muncul sosok cantik nan mungil menghampiri meja makan dengan raut sendu, langkah kakinya pun cukup lamban.

"Hei, ada apa?" imbuh Bik Arum ketika mendapati kehadiran sang putri dengan keadaan lesu.

Perlahan Juwita meletakkan sebuah buku dan juga sebuah amplop coklat yang ia temukan di dalam tas ibunya tadi di atas meja. Seketika pandangan Bik Arum menjadi tajam, sementara Nenek Sari tampak kebingungan dengan benda-benda yang diletakkan oleh cucunya barusan.

"Aku menemukan ini di dalam tas ibu," gumam Juwita lirih dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca.

"Putriku, rupanya kau cukup lancang untuk memeriksa isi tasku!" protes Bik Arum dengan suara berat namun pelan.

Juwita mengangguk.

"Ya, aku tahu. Maafkan aku. Tetapi aku merasa perlu untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku sendiri, ketika aku tidak juga memperoleh jawaban darimu, ibu." Juwita menegaskan dengan sedikit terisak.

Bik Arum menghentikan aktivitasnya memotong buah apel. Ia meletakkan pisau buah di atas meja.

"Lalu, apa sekarang kau sudah berhasil menemukan jawabannya?" sergah Bik Arum.

Juwita menggelengkan kepalanya pelan.

"Tidak," sahut Juwita pendek.

"Kalau begitu cepatlah duduk dan lanjutkan sarapanmu!" tandas Bik Arum.

Juwita masih berdiri mematung di tempatnya.

"Aku tidak akan duduk sebelum ibu mengatakannya secara langsung. Uang ini sepertinya tidaklah sedikit. Darimana ibu mendapatkan uang ini dan untuk apa?" cecar Juwita.

"Tentu saja dari Tuanku. Bagaimana bisa aku pulang ke kampung halamanku tanpa membawa uang?" terang Bik Arum.

"Apakah sebanyak ini upah yang ibu terima dalam satu bulan kerja?" tandas Juwita.

Bik Arum tercekat, ia menelan salivanya kuat-kuat. Putri tunggalnya yang lugu itu memang selalu kritis dalam menghadapi suatu hal.

"Tidak. Upahku dalam satu bulan memang tidak sebanyak itu! Itu bukan upah bulananku, melainkan uang pesangon, anggap saja begitu!" timpal Bik Arum.

"Pe-pesangon?" imbuh Juwita terbata.

Bik Arum menghela napas pendek. Sepertinya ia memang sudah harus mengakuinya saat ini juga, bahwa ia telah dipecat dari rumah majikannya.

"Ya, aku telah dipecat oleh Tuanku! Bagaimana, apa kau sudah puas mendengar jawabanku saat ini?" pungkas Bik Arum dengan suara yang sedikit bergetar.

Juwita tercekat, ia hanya sedikit menganga tanpa berucap sepatah kata. Begitu juga dengan Nenek Sari yang tidak kalah terkejutnya. Nenek Sari seketika menghentikan aktivitas makannya. Kini ia hanya memandang lurus ke arah putrinya, yang tak lain adalah Bik Arum. Menatap dengan tajam sekaligus heran, bagaimana bisa ia diberhentikan secara tiba-tiba oleh majikannya? Kesalahan apa yang telah diperbuatnya? Lalu bagaimana dengan kelanjutan nasib keluarga kecil mereka? Batin Nenek Sari.

"Dipecat kau bilang?" cerca Nenek Sari.

***