"Selamat pagi, Nona Purie. Bangun, Non! Nanti Nona akan terlambat datang ke sekolah."
Bik Ana, salah seorang pelayan yang sebelumnya bertugas sebagai tukang laundry di rumah ini, yang kemudian ditunjuk oleh Tuan Seno untuk sementara menggantikan Bik Arum sebagai pelayan pribadi Purie sampai Tuan Seno mendapatkan pelayan yang baru.
Purie mendadak bangun dengan cepat, tidak seperti biasanya. Sebab, ia mendapati suara yang baru saja membangunkannya itu terdengar berbeda.
"Masuk!" sahut Purie dengan lantang, kebetulan kali ini ia tidak mengunci pintu kamarnya.
Perlahan Bik Ana membuka pintu dan melangkah masuk menghampiri Purie yang masih duduk di atas tempat tidurnya.
"Kau? Di mana wanita tua itu?" cetus Purie penasaran saat mendapati pelayan itu bukanlah Bik Arum.
"Bik Arum, Bik Arum sudah pergi dari rumah ini, Non. Sesuai dengan permintaan Non kemarin. Pagi tadi dia sudah bergegas pulang menuju tempat asalnya di desa." Bik Ana menerangkan dengan raut iba.
Seketika raut takjub tersirat dari wajah bareface Purie. Meskipun memang hal itu merupakan permintaannya sendiri, namun hal itu cukup membuatnya terkejut. Bik Arum telah pergi meninggalkan rumah tersebut tanpa memberanikan diri untuk berpamitan secara langsung dengan Purie. Biar bagaimanapun sudah cukup lama mereka bersama. Begitu inginnya Bik Arum menjaga perasaan Purie, hingga pergi pagi-pagi sekali agar Purie tidak lagi melihat wajahnya hari ini.
"A-apakah Non menyesal telah mengusirnya?" ujar Bik Ana ragu-ragu.
"Hei! Apa yang kau katakan barusan? Jangan sembarang bicara, ya. Mana mungkin aku menyesali kepergiannya? Aku hanya sedikit terkejut. Kukira wanita tua itu akan berlindung di bawah ketiak Papiku lagi! Itu saja! Ternyata tidak, dan itu sangatlah bagus!" samber Purie dengan raut ketus.
Bik Ana meremas jari-jari tangannya sendiri. Wajah pucatnya kini mulai memerah. Ia seolah menyesali pertanyaannya sendiri barusan itu.
"Ma-maaf, Non! Saya tidak bermaksud untuk lancang," imbuh Bik Ana.
"Ya, jangan sekali-sekali berkata atau bertindak lancang terhadapku! Atau kau akan bernasib sama dengan wanita tua itu!" ancam Purie.
Bik Ana menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan cepat.
"Baik, Non. Baik."
"Ya sudah, sekarang siapkan keperluan sekolahku! Kuperingatkan padamu, jangan sampai ada satupun barangku yang tertinggal! Kau ingat, kan, alasan apa yang membuat Bik Arum pergi dari rumah ini? Aku tidak akan mentolerir kesalahan sekecil apapun!" cecar Purie.
"Siap, Non, siap! Saya akan mengerjakannya sebaik mungkin sampai Tuan Seno mendapatkan pengganti Bik Arum," tutur Bik Ana.
"Apa? Pengganti?"
"I-iya, Non. Saya hanya sementara menggantikan tugas Bik Arum. Sampai Tuan Seno mendapatkan pelayan pribadi yang baru untuk Non."
"Begitukah? Bagus kalau begitu. Kuharap orang itu akan lebih baik daripada Bik Arum ataupun kau!"
"I-iya, Non."
"Oh ya, pagi ini aku ingin mandi dengan air hangat. Segera siapkan!" perintah Purie.
"Si-siap, Non!" Bik Ana melakukan sikap hormat pada Purie kemudian bergegas pergi ke kamar mandi.
Sementara Bik Ana menyiapkan air hangat untuk Purie mandi nanti. Purie belum juga bangkit dari tempat tidurnya. Kini ia justeru melamun.
"Dia benar-benar telah pergi? Kenapa aku tidak merasa puas seperti yang kuharapkan? Apakah ini berarti aku merasa kehilangan?" gumam Purie lembut.
"Arrrgght, apa-apaan aku ini! Mana mungkin aku menyesali keputusanku sendiri untuk memecatnya. Bukankah hal itu sudah lama aku harapkan?" gerutu Purie lagi sembari mengacak-acak rambutnya yang panjang tergerai.
Purie membuang napasnya, kemudian kedua bola mata indahnya itu tertuju pada sebuah buku di dekat bantal tidurnya. Purie membacanya hampir setiap malam sebelum tidur. Sebuah buku yang merupakan novel tentang perjuangan hidup. Buku istimewa dari orang yang istimewa. Purie meraihnya perlahan.
"Kau, jauh lebih berharga daripada seorang pelayan pribadi yang bekerja cukup lama di rumah ini! Kau tidak boleh lagi tertinggal!" gumam Purie sembari mengusap-usap sampulnya yang berwarna coklat itu.
"Kapankah aku bisa bertemu kembali dengan pemilikmu?" gumam Purie lirih seraya memeluk buku tersebut.
"Non, airnya sudah siap!" cetus Bik Ana yang baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengelap tangannya yang basah pada bajunya sendiri.
Purie pun membuyarkan lamunannya, ia bangkit berdiri dari tempat tidurnya lalu meletakkan buku itu ke dalam tas sekolahnya. Ia tidak ingin kalau sampai buku itu tertinggal lagi. Terlebih, Bik Ana adalah orang baru yang bertugas menjadi pelayan pribadi sementara Purie.
***
"Apakah benar Papi berniat untuk mencarikan pelayan pribadi yang baru untukku?" ujar Purie sebelum akhirnya melahap sepotong roti miliknya.
Tuan Seno yang tengah sarapan pagi dengan cukup lahap di kursi makan singgasananya itu mengarahkan tatapannya pada Purie.
"Benar," sahut Tuan Seno pendek.
Purie menyunggingkan seutas senyuman.
"Terimakasih, Papi. Kau memang selalu mengerti segala apapun yang aku butuhkan!" puji Purie dengan wajah berbinar.
"Sama-sama, putriku. Hanya satu permintaanku padamu. Jika pelayan pengganti itu sudah tiba di rumah ini, kau harus berjanji akan memperlakukannya dengan baik!" pinta Tuan Seno penuh harap.
Raut wajah Purie seketika berubah. Ia tampak tidak terima dengan ucapan Tuan Seno barusan.
"Kenapa? Apakah Papi berpikir bahwa sikapku pada wanita tua kemarin itu tidak baik?" protes Purie.
"Kurasa begitu," gumam Tuan Seno mengiyakan.
"Tidak seperti itu! Aku sangat jengkel padanya karena dia seorang pelupa!" bantah Purie membela diri.
"Dia hanya lupa pada beberapa waktu, tetapi kau membencinya sepanjang waktu." Tuan Seno menegaskan.
Purie meletakkan sepotong roti di genggamannya ke atas piring.
"Papi, barusan itu kau terdengar seperti berusaha keras untuk membelanya," desis Purie.
Tuan Seno tidak menghiraukan ocehan putrinya barusan. Tuan Seno tetap menikmati sarapan paginya.
"Apakah dia seberharga itu di matamu?" sambung Purie lagi.
"Uhukkkk uhukkkk."
Tiba-tiba Tuan Seno tersedak nasi goreng yang tengah dilahapnya, oleh karena ucapan Purie barusan.
"Sekarang kau tampak gugup, Papi. Aku jadi semakin yakin kalau...,"
"Hentikan perkataanmu, putriku! Kau ini mengada-ada!" bantah Tuan Seno.
Purie hanya menundukkan wajahnya sembari mengerucutkan bibir mungilnya.
"Bukankah aku dan mendiang mamimu selalu mengajarkanmu untuk bersikap ramah pada siapapun? Tidak peduli dengan jenjang sosial apapun itu. Bukan karena orang itu berharga, tetapi karena diri kita berharga bila mampu bersikap baik pada sesama." Tuan Seno menegaskan dengan lembut dan hangat.
"Baiklah," sahut Purie singkat.
"Ya sudah, cepat habiskan sarapanmu!" imbuh Tuan Seno.
"Tetapi, kuharap pelayan pribadiku yang baru nanti akan jauh lebih baik dari wanita tua itu." Purie bersikukuh.
"Sudah kupastikan!" sahut Tuan Seno dengan yakin.
"Papi kelihatan begitu yakin? Apakah Papi sudah menemukan orang itu?" cetus Purie penasaran.
"Bukankah yang terpenting bagimu dia bukanlah wanita tua yang pelupa?" sergah Tuan Seno.
Purie mengangguk dengan cepat.
"Ya, apakah dia benar-benar sesuai dengan kriteria yang aku inginkan?" tanya Purie lagi memastikan.
"Kita lihat saja nanti," tutup Tuan Seno.
***