"Dit, ikut yuk! Nanti siang, aku mau jenguk Rafka." Sontak Adit dan David menoleh bersamaan padaku.
David yang sejak tadi tidur dengan melipat tangannya, seperti kaget, karena mendengar ucapanku tadi. Memangnya, ada yang salah ya? Kalau aku ingin menjenguk Rafka, dia temanku. Teman mereka pula. Adit tetap tidak merespon ajakanku, ada apa dengan anak satu ini? Sejak tadi hanya mangap saja saat mendengar kata-kata ku.
"Woy, jawab. Mau kagak, nemenin aku ke rumah Rafka siang nanti."
"Eh, seriusan. Mau jenguk Rafka? Katanya cuma temen, tapi kok kayak demen ye!"
Nah, kan! Pasti pikiran mereka begitu, hanya karena aku ingin menjenguk Rafka yang sedang sakit, malah diduga menjalin hubungan yang lebih dari hanya sekedar teman. Emang gak boleh ya! Jika sesama teman menjenguk, salah satu temannya yang sakit.
"Ya seriuslah, emang gak boleh gitu kalau hanya sebatas teman menjenguk saat sakit? Itu bentuk solidaritas kita sebagai sesama teman tau! Jangan mikir yang aneh-aneh deh."
David dan Adit saling bertatapan, seolah mengejekku. Mereka memperlihatkan senyum ejekan yang bertujuan untuk mengorek sesuatu dariku. Aneh saja mereka berdua ini, hal sesepele ini saja sudah dikaitkan dengan hubungan yang spesial.
"Alah, itu mah cuma dimulut doang. Dihati mah beda, iyakan, Dit."
"Iye, bener, Vid. Udahlah, Ra. Akui aja kalau kalian memang pacaran. Gak papa kok, gak bakal kita aduin sama Shaka. Bener gak, Vid?"
"Yoi, tenang aja. Semua rahasia aman kalau sama kita. Gak perlu khawatir. Asal nanti kite-kite dapet traktiran."
Urusan perut saja, pasti paling depan. Dan hal ini digunakan David dan Adit untuk mengancamku, tapi jika tak ku turuti kemauan mereka. Bisa-bisa panjang urusannya, apa ku turuti saja ya, kemauan mereka? Tapi, jika ku turuti, sama saja aku mengakui kalau aku dan Rafka memang benar pacaran. Ah, tidak bisa. Aku tidak mau ada kesalah pahaman nantinya.
"Harus berapa kali sih, aku jelasin ke kalian. Kalau aku dan Rafka memang tak memiliki hubungan apa-apa, kami murni hanya berteman saja. Sama halnya dengan kalian yang rada-tada begok ini."
Mereka tertawa mendengar perkataanku yang mengatakan mereka begok. Bukannya marah malah ketawa, memang otak kedua anak ini pada konslet semua ya! Punya nasib aku, sampai harus menjalani pertukaran pelajar dengan mereka.
"Jadi gimana, mau gak? Salah satu diantara kalian ikut, atau ikut semua juga gak papa."
"Boleh, tapi di rumah Rafka, banyak makanan gak, Ra?"
Sungguh tak dapat dipercaya, David benar-benar membuatku kesal dengan tingkah konyolnya. Tujuan ke rumah Rafka, untuk menjenguk dia yang sedang sakit. Bukan malah minta makan seperti yang ada diotak David.
"Woy, bangun. Kita jenguk Rafka, buat jengukin dia. Bukan minta makan, Astaga!" Ku tempelkan telapak tanganku ke kening yang terasa pening dengan jawaban-jawaban ngawur mereka.
David nyengir kuda, Adit yang sedari tadi mendengar pertanyaanku. Tampak menimbang-nimbang ajakanku, andai di sekolah ini aku memiliki teman dekat selain Rafka, atau mereka, sudah pasti akan ku ajak orang lain saja. Dari pada membawa mereka, buang-buang waktu saja.
"Aku ikut juga deh, biar tau rumah Rafka kayak apa. Secara, dia itu satu-satunya siswa yang bawa mobil di kelas ini. Pasti dia orang kaya, dan tentunya benar kata David, banyak makanan di rumahnya."
Astaghfirullahaladzim... Apa isi otak mereka hanya makanan saja, sampai bisa kompak begini tujuannya. Ke rumah Rafka, hanya untuk mencari makanan gratis. Aku jadi malu sendiri nantinya, jika sampai di rumah Rafka, yang ditanyakan hanyalah makanan. Duh, nasib-nasib. Punya dua temen, gak ada yang bener semua.
"Ya, gak apa-apalah, Ra. Namanya juga perut orang miskin, pasti yang dicari makanan. Apalagi di rumah orang kaya kayak Rafka. Lagi pula, aku sangat yakin, kalau dia gak akan keberatan. Apalagi, kita datengnya bareng kamu, bener gak, Dit?"
"Iya, bener banget. Rafka gak akan keberatan kok. Yakin deh!"
Adit menyetujui ucapan David tadi, bahkan ia mengacungkan kedua jarinya untuk meyakinku. Meski benar dia tak akan keberatan, tapi aku malu. Secara, mereka berdua adalah temenku. Bahkan teman pertukaran pelajar dari Tunas Bangsa, apa kata Rafka nantinya. Kalau dia sampai mencap mereka norak dan kampungan. Membayangkannya saja aku sudah malu. Tapi, sudahlah, tak apa. Yang penting aku ada teman untuk diajak ke rumah Rafka.
"Ah, terserahlah. Aku tak mau memperdebatkan soal makanan dengan kalian, tapi jika memang kalian mau ikut. Ada syaratnya tapi."
"Yaelah, kita yang diajak, malah dikasih syarat. Udah untung kita mau ikut,"
"Mau kagak? Kalau gak mau, ya udah. Aku ajak Indah aja, wleekk..." Ku julurkan lidah dengan niat mengejek mereka.
Aku hendak meninggalkan mereka berdua. Namun seketika mereka menahanku untuk tidak pergi dari tempat mereka. Rasain, emang enak aku kerjain. Niat cuma mau numpang makan, dikasih syarat aja gak mau. Dasar mereka berdua ini.
"Eeehh, tunggu dulu, Ra. Main nyelonong aja, kita negoisasi dulu. Kalau syaratnya mudah, aku sama Adit bakalan menuhin itu syarat. Tapi, kalau susah, ya kita angkat tangan deh!"
Sip, akhirnya mereka mau juga dikasih syarat yang akan aku ajukan. Tinggal bagaimana membujuk mereka, agar sanggup untuk melakukan syarat yang ku peruntukan pada mereka.
"Gampang kok, tenang saja. Kalian cuma perlu bilang sama Shaka, kalau hari ini kita ada kerja kelompok di rumah siapa gitu. Intinya dia gak boleh sampek tau, kalau kita mau jenguk Rafka ke rumahnya. Gimana? Gampang, kan!"
Ku tautkan alis keatas kebawah untuk menunggu respon mereka dengan caraku. Adit dan David saling bertatapan, seperti sedang berfikir untuk menyetujui permintaanku atau tidak. Sepersekian detik, mereka tetap menimbang-nimbang syarat yang ku berikan. Hingga pada akhirnya, Adit mulai membuka suara.
"Oke, deal. Kita setuju, urusan itu, bisa diserahkan sama David." Orang yang dituju malah terbelalak mendengar ucapan Adit tadi, aku yang mendengarnya saja merasa lucu. Yang menyetujui Adit, tapi yang kena getahnya malah si David.
"Lah, Kok jadi David sih!"
"Gampang Vid, kamu kan jago akting. Biarpun bohong, gak bakalan ketahuan juga kali sama si Shaka."
"Tapi, kalau ketahuan gimana? Bisa-bisa, aku yang kena bogem Shaka nanti."
"Gak bakalan, tenang saja. Ada Adit yang bakal bantu kok." Adit mengepal tangannya seraya memukulkan pasa dadanya, menunjukkan bahwa dia seorang lelaki gagah yang juga akan membantu David untuk berbohong pada Shaka.
"Jadi, gimana? Bisa gak?" Aku pun menayakan kesanggupan mereka untuk memenuhi syarat yang ku ajukan tadi. Dan tanpa fikir panjang, akhirnya David mau juga melakukan persyaratanku.
"Oke, deh. Tapi, kita bilangnya kapan? Pas nanti pulang sekolah saat Shaka jemput kamu, Ra?"
Nah, itu dia. Yang aku bingungkan, jika bilangnya secara langsung. Aku takut, ada gelagat David atau Adit yang tidak meyakinkan. Hingga membuat Shaka tidak percaya atau curiga. Atau ku suruh mereka untuk menghubungi Shaka via WhatsApp ya?
Benar juga, lebih baik, ku serahkan saja pada David. Agar nanti dia menghubungi Shaka, pakai ponsel mereka saja. Agar Shaka lebih percaya. Kalau aku dan mereka benar-benar akan melakukan kerja kelompok sepulang sekolah nanti.