Cukup lama aku ngerumpi dengan dua sahabatku itu. Tak terasa hari mulai sangat panas. Musim kemarau kali ini terasa sangat panas bagiku, bagaiamana keadaan Shaka diluar sana. Apa dia memesan minuman atau tidak? Kasian dia menungguku yang begitu lama didalam cafe, sedangkan dia di warung. Yang pasti cuaca sangat terasa panas.
Ku putuskan untuk pulang, dan berpamitan kepada kedua sahabatku. Kasian Shaka, jika harus menunggu terlalu lama. Karena, jika sudah berkumpul dengan mereka berdua, pasti sampai lupa waktu. Ku arahkan pandanganku, ke kiri dan kanan jalan. Mencari keberadaan Shaka, yang katanya tadi akan menunggu disebuah warung.
"Shaka..." Dia menoleh kearah ku, ku lihat dia sedang memegang botol air mineral yang dingin. Mengapa tak membeli minuman berasa saja sih, agar lebih segar.
Shaka mengendarai motornya dan menghampiriku. Awalnya aku yang ingin menghampirinya, tapi karena dia sudah mengendarai motornya. Lebih baik, ku tunggu saja dia disini.
"Maaf ya! Aku lama banget di cafe, kamu sampek keringetan gitu. Gara-gara nunggu aku."
"Gak papa, gak masalah kok. Ayo! Ku antar kamu pulang."
Ku balas dengan menganggukkan kepala ucapan Shaka. Ku raih helm yang dia berikan padaku, inilah yang aku senangi darinya. Meski dia tak punya apa-apa, dan tak bisa memanjakan aku seperti wanita lainnya, tapi dia sangat baik dan sabar menghadapi aku. Yang kadang marah karena hal sepele, atau melakukan sesuatu yang aku senangi.
Diperjalanan menuju rumah, aku teringat dengan kata-kata Jesika dan Anggi. Bertahan dengan Shaka memang tidak menjamin hidupku akan bahagia, karena Shaka hanya anak dari guru honorer. Dan mungkin, dia tak akan melanjutkan kuliah setelah ini, aku juga tak tau. Akan tetapi, dia murid yang berprestasi, bisa saja ia ikut beasiswa agar bisa kuliah.
Tapi, sampai kapan dia akan hanya mengandalkan orang tuanya. Dan tetap menjalin hubungan denganku, aku juga ingin memiliki pacar yang bisa memberiku segalanya. Bukan hanya bermodal perhatian dan kasih sayang saja.
Jika dilihat dari sikap Rafka padaku, dia nampak tak main-main. Apalagi, papanya pernah bilang, kalau Rafka tak pernah membawa gadis siapapun selama ini. Hanya aku yang pertama kali dibawa dia ke rumahnya. Dia juga baik, perhatian, dan yang pasti sangat Royal. Papanya seorang PNS, siapa tau nanti setelah tamat kuliah dia akan menjadi PNS juga, mengikuti jejak papanya.
Ah, mengapa aku jadi bimbang seperti ini. Apa iya, aku sudah mulai bosan dengan hubungaku dan Shaka? Dan mulai menyukai Rafka yang begitu baik dan royal padaku., Meski saat ini kami belum menjalin hubungan apapun kecuali hanya sebatas teman.
"Sayang, kenapa diem aja dari tadi? Biasanya juga ngusilin aku. Kamu masih marah ya?" Ucapan Shaka membuyarkan lamunanku, tanpa ku sadari ternyata saat ini aku tak lagi memeluknya seperti biasa.
"Mmm ... Nggk kok, cuma lagi males aja. Capek, pengen cepet sampek rumah."
"Oh gitu, ya udah. Aku percepat ya motornya. Kamu pegangan biar gak jatoh,"
"Eh, jangan. Pelan-pelan aja gak usah ngebut." Aku membantah kemauan Shaka, karena aku paling tak suka cowok yang suka ngebut. Apalagi naik motor, sangat membahayak diri.
Shaka tertawa mendengar ucapanku. Padahal tak ada yang lucu, mengapa dia tertawa. Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku pada pohon-pohon rindang pinggir jalan, rasanya pikiranku mulai tak fokus pada Shaka. Apalagi, Rafka tadi sedang sakit. Aku jadi lebih memikirkannya dari pada Shaka.
"Janji ya sama aku, kamu gak bakal selingkuh selama pertukaran pelajar berlangsung. Aku bener-bener takut kehilangan kamu, Ra."
Tak ku jawab permintaan Shaka, biar saja dia menganggap kalau aku tak mendengar perkataannya. Bukannya aku tak mau berjanji, hanya saja aku takut, karena perasaanku padanya tak seperti dulu.
**"
Sampai didepan rumah pun, tak ada guyonan yang biasa ku lakukan dengan Shaka. Entah mengapa, aku merasa tak mood hari ini. Aku langsung masuk saat turun dari motor Shaka, tanpa mengajaknya mampir atau berpamitan pada Shaka.
Shaka menatapku heran, mungkin ia merasa bahwa sikapku begitu dingin padanya. Baru aku melangkah beberapa langkah tak jauh dari motor Shaka, tiba-tiba ia memegang lenganku. Menahanku agar tak masuk kedalam rumah terlebih dahulu.
"Kamu kenapa sih, Ra. Dari tadi cuek banget sama aku. Kamu masih marah, atau apa? Bilang sama aku, Ra. Kalau memang aku punya salah sama kamu, jangan kayak gini." Aku menghela nafas panjang, entah apa yang harus ku katakan padanya. Jujur akan perasaanku yang tak seperti dulu lagi, dan jujur kalau aku mulai memikirkan Rafka. Itu tidaj mungkin ku lakukan.
"Gak papa, Shaka. Aku sedang capek aja, kamu pulang ya! Aku mau masuk dulu, atau kamu mau mampir dulu." Sengaja ku lembutkan suaraku agar Shaka luluh dan tak menayakan hal aneh lagi. Aku hanya tak ingin berlama-lama dengannya. Toh, meskipun dia diajak mampir, dia juga tak akan mau.
Shaka diam dan menyerah, karena aku pun tak mau buka suara. Dan jawabanku tetap saja seperti tadi. Aku pun masuk dan segera menuju kamarku, entah kenapa aku ingin segera menghubungi Rafka. Ingin tau bagaimana keadaannya saat ini. Aku memilih untuk menelvonnya saja, karena jika hanya melalui pesan Chat, takutnya dia sedang off.
Beberapa menit kemudian, tak ada jawaban dari seberang sana. Aku mulai khawatir dengan keadaan Rafka, tapi lebih baik aku tak mengganggunya dulu hari ini. Siapa tau dia sedang istirahat. Lebih baik ku kirimkan saja pesan padanya, untuk menyemangati dan mendoakannya agar cepat sembuh.
[ Cepet sembuh ya, Ka. Jangan lupa minum obat, istirahat yang cukup. Jangan begadang]
Aku merasa aneh sendiri dengan pikiran dan hatiku. Mengapa aku begitu peduli pada Rafka, hanya karena Rafka begitu royal, aku malah melupakan Shaka.
Sudahlah, lebih baik aku membersihkan diri agar tidak lengket. Lagi pula hari mulai sore, karena tadi pulangnya lebih siang dari kemarin.
****
Hingga malam pun tak ada balasan dari Rafka. Bahkan WhatsAppnya pun tak aktif sejak siang tadi, apa aku jenguk saja ya besok. Sepulang sekolah, tapi tak mungkin jika aku menjenguknya dengan Shaka. Alasan apalagi yang akan aku berikan padanya, jika menolak diantar pulang.
Apa aku minta bantuan dari Adit dan David saja ya, supaya bisa berbohong pada Shaka. Nanti ku minta antar salah satu dari mereka ke rumah Shaka, atau kalau perlu ku ajak Indah saja. Agar tak terlalu merepotkan David dan Adit.
Ku putuskan untuk tidur. Pesan dari Shaka sudah ku balas sejak tadi. Sykurlah dia bisa menepati janjinya, untuk tak terlalu menekanku untuk cepat membalas pesan darinya, walau sebenarnya pesan yang Shaka kirimkan sudah sejak sore tadi. Tapi baru sempat ku balas.