"Sama siapa tadi, Ra." Tanya Ayah yang sedang menikmati secangkir kopi didepan Tv. Ku hampiri dan mencium punggung tangannya.
"Sama Shaka, Yah."
"Dia lagi, dia lagi. Gak bosen apa, kamu pacaran sama anak yang gak punya masa depan itu."
"Ayah kenapa sih? Selalu aja sensi sama Shaka, dia itu pinter, Yah. Sapa tau dia akan jadi orang sukses setelah ini. Ayah jangan selalu ngeredahin dia lah," aku selalu mencoba membela Shaka dihadapan Ayah, dengan harapan bisa merestui hubungan kami. Tapi apalah dayaku, Ayah dan Ibu selalu memberikan wejangan. Jika seseorang tak hanya bisa hidup dengan cinta, harus memiliki bibit bebet dan bobot yang berkualitas. Agar masa depanku nanti bisa terjamin.
"Amaira, kamu ini anak Ayah satu-satunya. Ayah hanya menginginkan yang terbaik untuk kamu, Nak. Kalau kamu terus-terusan menjalin hubungan sama Shaka, mau makan apa kamu nantinya. Orang tuanya saja hanya guru honorer, gimana anaknya nanti. Orang pinter itu gak menjamin sukses lho! Kalau gak punya kolega atau kerabat yang pangkatnya tinggi."
"Udahlah, aku mau kekamar aja. Debat sama Ayah gak akan menang,"
Aku berlalu meninggalkan Ayah yang menatapku heran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ku rebahkan tubuhku diatas ranjang tempat tidurku, rasanya lelah sekali setelah setengah hari menghabiskan waktu disekolah.
Ting...
Notif pesan masuk pada ponselku, rasanya malas sekali untuk sekedar mengecek siapa yang mengirimkan pesan, saking lelahnya aku hari ini. Ku ambil ponsel dalam tasku, ternyata dari Rafka. Entah mau apalagi anak ini, tak ada habisnya dia menggangguku.
[Besok jalan yuk! Nonton dibioskop. Ada film baru rilis nih, mumpung masih anget. Nanti ku traktir kamu sepuas hati mau apa]
Selama pacaran 3 tahun, Shaka tak pernah mengajakku menonton. Aku coba mengerti, dari mana dia dapat uang. Untuk beli tiket saja sudah mahal, belum lagi makan sama ongkos bensin. Hah, kadang aku merasa tak beruntung berpacaran dengan Shaka. Besok hari minggu, biasanya aku menghabiskan waktu bersama teman-teman dekatku yaitu, Jesika dan Anggi. Tapi, ajakan Rafka sayang kalau ditolak. Toh, ini pertama kalinya aku nonton dibioskop gratis, ditraktir pula.
[Film apaan, aku gak suka lho! Kalau film-film yang berbau vulgar]
Aku hanya takut Rafka melakukan hal yang tidak senonoh padaku, apalagi aku tau dia seorang buaya darat. Meskipun, aku dekat dengannya dan dia selalu memberikan segalanya untukku. Tapi, jika harus mengorbankan tubuh dan harga diriku, jelas aku tak mau.
[Idih, negatif banget sih pikiranmu, Ra. Siapa juga yang mau nonton film vulgar, itu tuh film horor yang lagi trendi sekarang. KKN di Desa Penari kalau gak salah]
Wah, kebetulan nih. Aku juga pengen banget nonton film itu, melihat sedikit cuplikan ditiktok, membuatku semakin penasaran seperti apa sih filmnya. Karena, yang ku tahu film ini terinspirasi dari kisah nyata.
[Oke deh, tapi izin Ayah dulu ya! Itu pun kalau kamu berani]
[Oke, siapa takut. Cuma izin doang, akan ku pastikan orang tuamu bakalan klepek-klepek sama aku]
[Gak usah sok PD deh, buktiin aja besok. Ayahku sangar lho!]
Sengaja ku takut-takuti Rafka, agar nyalinya menciut saat berhadapan langsung dengan Ayah. Meski aku yakin, Ayah pasti akan lebih menyukai Rafka dari pada Shaka. Apalagi Rafka membawa mobil untuk menjemputku.
[Tenang saja, aku udah tau kok cara biar Ayahmu memberikan izin padaku, untuk membawamu jalan-jalan besok. Apa sih yang gak bisa Rafka lakuin!]
[Oh iya, kamu kan buaya darat. Pasti taulah cara merayu orang tua cewek gimana]
Ucapku sengaja menyindir Rafka, agar dia tak terlalu percaya diri dengan kata-katanya tadi.
[Amaira, aku itu serius lho sama kamu! Beda sama cewek-cewek lain. Kalau kamu gak percaya, aku bisa lho ngelamar kamu dalam waktu dekat ini]
[Apaan sih, gak jelas banget. Udah ah, buktiin aja besok. Bisa apa nggk dapat izin dari Ayahku.]
[Oke, siapa takut]
Ku lempar ponselku kesembarang tempat diatas ranjang, hubunganku dengan Rafka seperti seorang teman tapi mesra. Tak ada ikatan pacaran, tapi sering kali bersama. Besok adalah pertama kalinya Rafka ke rumahku, akan tetapi, apakah dia tau alamatku. Mengapa tadi dia tak menanyakannya. Ah sudahlah, dari pada aku memikirkan anak itu, lebih baik aku tidur saja sekarang. Mataku benar-benar tak bisa diajak kompromi.
***
Esok harinya aku menunggu kabar dari Rafka, jadi tidaknya ia mengajakku menonton film horor. Apalagi anak itu belum tau alamat rumahku, akan tetapi sampai detik ini pun dia belum juga mengabariku atau bertanya alamatku. Jam menunjukkan jam 09.30, biasanya hari Minggu begini, aku akan menghabiskan waktu di rumah Jesika atau Anggi, atau sebaliknya, mereka yang menghabiskan waktu dirumahku. Meskipun, hanya sekedar menonton drakor terbaru. Tapi, kali ini ku tolak ajakan mereka, karena sudah membuat janji dengan Rafka.
"Amaira, ada temanmu tuh diluar. Cepet temuin sana!" Siapa yang datang ke rumah, jika jesika dan Anggi pasti tak perlu menunggu diluar. Mereka akan langsung masuk setelah bertemu dengan Ibu atau Ayah.
"Siapa, Bu?"
"Gak tau tuh, udah ditemuin sama Ayah, katanya sih temen kamu." Rasa penasaranku membuncah, apakah Rafka? Tapi bagaiamana bisa dia tau rumahku, sedangkan aku belum sempat memberinya alamat. Segera ku bergegas melihat siapa yang datang, hari minggu Ayah juga libur. Jadi siapapun yang datang maupun mengajakku pergi, harus melalui izinya.
Sesampainya di ruang tamu, aku terkejut dengan keberadaan Rafka. Penampilannya yang keren, dengan mobil yang terparkir dihalaman rumah. Dan dia juga membawakan oleh-oleh untuk Bapak, ternyata dia benar-benar bisa meluluhkan hati orang tuaku.
"Dasar buaya darat" batinku dalam hati.
"Tau dari siapa alamatku, perasaan aku belum ngasih tau kamu alamatku deh!" Tanyaku penasaran, ku lihat meja yang terisi dengan beberapa makanan yang Rafka bawa. Ada martabak, buah dan beberapa macam snack lainnya.
Tampaknya Ayah juga senang dengan kedatangan Rafka, yang tak hanya datang dengan penampilan modis dan berkelas, namun juga tanpa tangan kosong alias membawa oleh-oleh untuk Ayah dan Ibu.
"Tanya sama David, kemaren pas di sekolah. Sengaja gak ngasih tau kamu, biar surprise." Rafka tersenyum bangga, mungkin ia merasa satu langkah lebih maju dalam mengejarku.
"Dia minta izin sama Ayah. Katanya mau ajak kamu nonton di bioskop, Ra. Apa benar?"
"Mmm... Iya, Yah." Ucapku ragu, meski aku tau. Dari mimik wajah Ayah, sepertinya ia akan mengizinkan niat Rafka.
"Kalau begitu, siap-siap gih sana. Kasian Rafka kalau nunggu terlalu lama," Rafka tersenyum mendengar tanggapan Ayah, Rafka semakin percaya diri untuk mendekatiku, aku pun tak merasa heran lagi.