Rania menguap ia terbangun, mendapati tubuh Rafli berada di dekatnya ia pun berteriak, seolah lupa ingatan padahal dia sendiri yang meminta Rafli untuk memeluknya sebab merasa kedinginan setelah hujan-hujanan berjam-jam.
"Rafli apa yang kamu lakukan!" Mata Rania membulat besar seperti bola mau terbang ke udara, ia pun mendorong tubuh Rafli sampai jatuh ke lantai sebab kasurnya lumayan tinggi.
Gubrak …..
"Astaghfirullah hal adzim, Rania sakit tau! Kamu sendiri yang pinjam dadaku, memelukku agar kamu tidak kedinginan, kamu lupa?" pekik Rafli memegang kepalanya yang kesakitan.
"Masa aku berkata seperti itu? Tidak mungkin," ujar Rania sambil berpikir, setelah ingat dia menggigit ujung bibirnya merasa malu sendiri.
"Sakit tidak? Maaf tadi reflek tidak disengaja, apapun yang aku katakan dikala sedang eror kepalaku itu jangan kamu dengar, ya?" gumam Rania menunduk.
"Iya, lagian kenapa kamu hujan-hujanan tidak jelas seperti itu? Kamu habis ketemu setan?" Rafli menatap lekat wajah Rania.
"Aku bertemu Reyhan, ternyata ia dan kedua orang tuanya ada di Yogyakarta, ternyata ayahnya Reyhan tahu jika aku sudah menikah dengan kamu, dia juga memarahiku dan melarangku untuk bertemu Reyhan lagi."
Rafli menenangkan hati Rania, "Sabar, ikhlaskan Reyhan, sekarang orang tuanya tidak setuju jika kamu kembali dengan Reyhan sebab statusmu istri orang, apabila kita bercerai pun orang tua Reyhan juga pasti tidak mau punya menantu seorang janda."
"Aku tahu, kamu bagaimana sudah lancar sidang skripsinya? Kita ke Jakarta ya, malam ini, aku rindu ayah dan ibu." Rania meminta hal tersebut membuat Rafli menyetujui ia tak bisa menolak apa yang diinginkan wanita yang disayang Rafli berusaha untuk mengabulkan keinginan Rania.
Setelah salat magrib Rafli dan Rania pun bergegas ke Jakarta, sebelumnya sudah mengabari ayah dan ibunya agar mereka tahu jika Rania akan pulang.
"Assalamualaikum Bu, Rania sama Rafli berangkat ke Jakarta sekarang, doain selamat sampai tujuan ya, aamiin."
Pesan Rania pun langsung dibaca oleh ibunya Rania, ia sangat senang putri dan menantunya akan pulang.
"Ayah, anak kita akan segera pulang," pekik ibu Rania memberi kabar ke suaminya.
"Oleh-oleh nenek sudah dibelikan belum ya, soalnya nenek berharap dapet batik dari Jogja, hehe …." Nenek ompong tertawa dengan bahagia membayangkan mendapat hadiah dari cucunya dan cucu menantunya.
Laju mobil tidak terlalu cepat Rafli, tidak mau mengebut ia pun sudah membeli beberapa oleh-oleh untuk keluarga Rania di Jakarta.
"Kamu jangan cemberut terus mikirin Reyhan, dia hanya laki-laki tidak penting seperti tega meninggalkan wanita yang dicintai ketika hari pengantinnya," ujar Rafli ceramah. Rania masih diam membisu menatap jendela.
Dalam hati Rania, ia masih sangat mencintai Reyhan dan tidak bisa melupakannya.
Entah salah atau bodoh, itu cinta tidak mudah datang, dan tak mudah pergi pula.
Seakan-akan di hati Rania hanya ada nama Reyhan.
"Kok, masih diam suaminya dicuekin, nih?" tanya Rafli melirik ke Rania.
"Kamu fokus menyetir saja, pelan-pelan saja terpenting kita sampai Jakarta dengan selamat. Jika memang Reyhan bukan untukku, jujur aku belum siap, tapi ya, sudahlah."
"Iya, tuan putriku yang bawel."
Rania dan Rafli beberapa kali istirahat agar mereka tidak kelelahan.
***
Keesokan harinya, Rania dan Rafli sudah sampai rumah, Ibu Maya berlari langsung memeluk putrinya, seakan-akan mereka lama tidak bertemu, "Akhirnya putri ibu pulang, meskipun kita berpisah beberapa hari saja tapi rasanya hati ibu gelisah dan rindu."
"Rania juga rindu sama ibu, kita kan tidak pernah berpisah jarak jauh selama ini," ujar Rania yang juga erat memeluk sang ibu.
"Jadi dengan ayah kamu tidak rindu?" kata ayahnya iri ingin dipeluk putri tercinta.
"Rindu dong, sin ayahku sayang." Rania memeluk sang ayah, kemudian memeluk sang nenek dengan membisikan, "Pesanan Nenek tersayang sudah Rafli belikan loh, itu silahkan diterima, semoga suka."
Nenek bertepuk tangan merasa riang gembira, seperti bocah mendapatkan mainan baru.
Nenek pun langsung memakan oleh-oleh dari Rafli dan Rania, lalu ia pun mencoba baju batik dan juga kaos bertuliskan Jogjakarta.
"Terima kasih cucuku Rania dan Rafli, kalian anak-anak baik, semoga selalu sehat dan bahagia selamanya."
Nenek tua itu mendoakan cucunya, disisa umurnya dia hanya berharap kebahagiaan Rania, seandainya ia akan diambil Tuhan pun sudah merasa legah, sebab Rafli ada disisi Rania. "Rafli selalu jaga cucu nenek ya, jika dia nakal tarik saja kedua telinga dia," ujar nenek tertawa ngakak.
"Rania tidak akan nakal, Nek. Justru yang nakal itu Rafli, jadi aku yang harus menarik kedua telinga," kata Rania menimpali neneknya.
"Ya, Nek. Rafli memang anak nakal, tapi yang lebih nakal itu Rania sih," kata Rafli menimpali ucapan dari Rania.
Mereka saling melirik dan melotot.
"Rania, kamu mandi, gih! Ibu sudah siapkan air hangat untukmu dan juga Rafli, biar kalian berdua tidak kedinginan."
"Makasih ibuku tercinta, putrimu selalu saja merepotkan," kata Rania memeluk ibundanya.
"Astaghfirullah halazmim aku jadi malu sebagai suami dan menantu masa merepotkan mertua sendiri, Rania jangan diulang lagi, kamu itu sudah dewasa." Rafli memarahi Rania di depan ibunya.
"Tidak apa-apa Rafli, ibu yang mau melakukannya, jadi jangan marah dengan Rania," kata Ibu Maya tersenyum.
Di depan kamar mandi Rania balik memarahi Rafli, "Kamu kenapa sok, ceramah depan ibuku? Aku kan jadi malu, seolah aku ini perempuan manja yang tidak bisa apa-apa."
"Oh, punya malu juga. Kalau gitu kerjaan tugas sebagai istri didepan ayah dan ibumu mulai besok," kata Rafli mantap.
"What? Aku tidak mau, kita hanya menikah pura-pura kenapa aku jadi harus melakukan tugas sebagai istri?" Kata Rania dengan nada cukup tinggi hingga Lifia mendengar tidak sengaja.
"Rania kamu bilang apa barusan?"
Rafli terkejut sebab ada Lifia dibelakang, kemudian langsung merangkul Rania dan berkata akan mandi bersama.
"Hai, Lifia senang bertemu kamu, kami mau mandi bareng, apa kamu mau sekalian ikut?" tanya Rafli sengaja membuat Lifia ilfil lalu pergi, padahal dia sedikit mendengar perkataan Rania.
Rafli menarik tangan Rania ke dalam bersama, "Kita mau tidak mau harus mandi bersama, biar Lifia tidak curiga, lain kali jaga perkataan kamu," jelas Rafli membuka bajunya.
Rania menutup mata, "Iya, lain kali aku hati-hati, tapi kamu tidak membuka semuanya pakaianmu,kan? Aku tidak mau melihatnya!"
"Kalau mau tahu lihat saja sendiri, kenapa bertanya?" Rafli sengaja membuat Rania malu, padahal ia memakai celana kolor.
Mau tidak mau Rania pun mandi bersama dengan Rafli dengan pakain masih menempel di badannya, Rafli selesai lebih dulu ia menarik Andik dan berakata ke Rania, "Mandi itu yang bersih, gosok punggungmu jangan mandi dengan baju begitu."
Rania cemberut ia melotot, "Biarin terpenting aman dari mata buaya!"
Rafli tertawa geli, "Maaf ya, saya bukan buaya, lagi pula dadamu rata aku tidak nafsu."
Rania kesal ia mengusir Rafli, "Kamu ngejek aku? Sudah sana keluar!" Rania menyentuh dadanya ia berpikir tidak terlalu kecil, tapi kenapa Rafli mengejek? Dasar saja dia sahabat yang nakal, sengaja bikin marah Rania.
Rafli dan Rania sudah rapi mereka duduk di meja makan untuk sarapan bersama.
"Kalian makan yang banyak soalnya habis menempuh perjalan yang jauh." Ibu Rania sudah mengambilkan nasi untuk Rania dan juga Rafli.
"Tidak usah repot-repot, saya bisa ambil sendiri kok, Tante Maya."
"Jangan panggil aku Tante, panggil saja Ibu sekarang aku sudah jadi ibu kamu kan?" Ibu Maya berkata demikian membuat mata Rafli berkaca-kaca merasa bahagia.
"Ya, Bu. Terima kasih banyak," ucapnya perlahan seraya menatap wanita nergelung tersebut dengan sendu.
"Iya, Rafli. Anggap lah kami seperti orang tua kamu sendiri ya, sejak kamu resmi menjadi suami putri tunggal kami, saat itu juga kami adalah orang tuamu juga." Ayah Rania pun meminta hal sama dianggap sebagai ayah.
Usai makan malam Rania dan Rafli menonton televisi sebentar, tapi mereka lelah hingga pamit istirahat dulu di kamar meskipun masih pagi, mereka tetap masuk kamar.
"Rencana kamu apa Rafli jika sudah ada pengumuman kelulusan? Masih tetap mau jadi dosen?" tanya Rania.
"Entah lah, aku akan melangkahkan kaki di mana orang yang aku sayangi berada," kata Rafli menatap dalam Rania.
Namun Rania masih belum paham isi hati Rafli ia masih tetap berpikir jika cinta Rafli untuk Kanya seorang.
"Siapa orang yang kamu sayang, Kanaya kan? Dia kerja di restoran ternama di Jakarta sebagai koki, hebat dia."
puji Rania ke Kanaya.
"Biasa saja," ujar Rafli rebahan.