Sekembalinya Sarni Trilii dengan ditemani nenek-nenek bikin Darmo Dipo merasa dibetheti moralnya. Diam-diam ia meringis menahan gejolak rasa malu dan anu. "Mati aku! Ketangkap basah mataku!"
Nah, si Gino Luwak pun lebih perhatian akan biji-biji mlinjo yang sebenarnya, sehingga mlinjo pun berjatuhan layaknya hujan. "Asem!" gerutu Darmo Dipo menggerutui buruh panjatnya. Ah, kau! Kiranya hanya matamu saja yang hobby barang sedap. Acara petik mlinjo itu hampir seharian. Dari sembilan pohon itu didapat hampir lima kuintal mlinjo. Mlinjo masuk goni dan uang pun dibayarkan.
"Nih, ada jatah sedikit, buat cemilan," kata Darmo Dipo sambil mbonus hampir dua kilo mlinjo kepada Sarni Trilili. Padahal selama ini dia terkenal pelit, lho. Sebelum skuter itu nggeblas ke arah selatan Darmo Dipo sempat membonus lagi, kali ini sebuah kerlingan mata manis.
Dengan bijaksana Sarni Trilili membalas dengan senyuman masam. Dan dalam lubuk hatinya ia bersyair, "Cintaku berkeping tunggal, tiada berbelah." Syair lima kata itu gubahan Jonet Tralala sebelum menghembuskan napas yang penghabisan. Itulah resiko menjadi janda muda. Ada-ada saja yang ingin mengajaknya nonton pengantin.
Sore itu sepulang mancing kodok ijo, Kamto Oncek mampir ke rumah Yu Munah Soblem. Tujuannya tak lain dan tak bukan ingin ngrembug bab tegalan yang ia garap dari Sarni Trilili. Ia minta pertimbangan tentang keinginannya untuk bertanam rambutan di tegalan itu. "Urusan itu ya kamu bicarakan sendiri sama Trilili. Bukan aku. Wong bosnya bukan aku," sergah Yu Munah Soblem. "Atau otakmu sudah kenthir, kok pingin bertanam rambutan segala, bukankah padi gogo sudah cukup untuk ngganjal perut?"
"Lho-lho, Yu Soblem itu malah ngecap orang gendeng. Aku 'kan hanya minta saran saja. Toh semua orang tahu, Yu Soblem ini sahabat dekat Mbakyu Trilili," protes Kamto Oncek.
"Kalau begitu baiklah, nanti aku lapor ke Trilili."
"Lapor? Kok kaya' hansip saja," sungut Kamto Oncek. Hii-hi-hi! Yu Munah Soblem malah meringkik seperti kuda sembrani. "Mau kodok, Yu?"
"Apa sudah dikuliti?"
"Kang Jito Akik 'kan bisa nyopoti jaket-jaket kodok ini!"
Toh Yu Munah Soblem tertawa gembira dapat bonus kodok sawah. "Dapat kodok berapa kok ngajak pesta cwe-ke? Lumayan buat lauk nanti malem, sudah bosen tempe bacem." Kamto Oncek pun pamitan. Tapi ia pesan wanti-wanti perihal tegalan dan pohon rambutan. Tampaknya ia sudah ngebet betul akan buah rambutan. Suara kletek-kletek jeruji sepeda menandakan suami Yu Munah Soblem pulang. Buruh asah batu akik itu sudah tersenyum-senyum penuh kerinduan akan istrinya. Jakunnya sudah turun naik seperti tarian cleret gombel. Apalagi ketika didapati si istri lagi ngore rambut. Tarian jakunnya makin menjadi-jadi meski tanpa gamelan.
"Bagaimana, Kang? Sabtu ini dapat lemburan lagi?"
"Ya, nglembur ngukir rembulan."
"Romantismu kumat, kang!"
He-he-he. Kang Jito Akik tak kuasa membendung rasa anunya. Dengan gemas dicubitnya pinggul istrinya. Batu bara di tubuh Yu Munah Soblem pun menyala-nyala, harus disiram untuk memadamkannya, dan itu tugas Kang Jito Akik. Namun sebelum kebakaran besar terjadi mendadak ada ketukan di pintu. Kang Jito Akik mendesah, kecewa. Namun ia sadar, bagaimana pun tamu harus dihormati.
"Saya bawakan kolak pisang, Yu," ternyata suara Sarni Trilili.
Yu Munah Soblem tertawa senang. Batu baranya sudah padam sendiri. "Terima kasih, lho. Pisang kepok sebelah barat rumah, ya?"
"Benar. Dari pada keduluan kampret kusuruh si Kawer menebangnya. Lumayan ada empat sisir."
"Kenapa tidak dibawa ke pasar saja?"
"Sekali-kali makan kolak, Yu."
"Betul. Kalau tidak begitu aku tak pernah makan kolak," sambung Kang Jito Akik yang njilati piring bekas kolaknya.
"Saru, ah!" seru Yu Munah Soblem melihat kelakuan suaminya. "Ngomong-ngomong tadi Kamto Oncek datang ke sini. Ia berminat menanam pohon rambutan di tegalan. Kira-kira bagaimana, boleh tidak?"
'Lha, terus stok gabahnya bagaimana?"
"Itu belum sempat kutanyakan padanya. Memang aneh-aneh saja pikiran orang satu itu. Mungkin ketularan virus dusun sebelah yang pada gandrung nanam jeruk manis!" seru Yu Munah Soblem.
"Kalau niat jadi petani sukses suruh saja menanam jeruk purut wadah kentut. Pasti laku dan untung besar. Perawatannya juga tidak rewel," usul Kang Jito Akik.
"Jeruk purut? Siapa yang mau beli?" sahut istrinya.
"Hya orang-orang kota!"
Sarbi Trilili tak tertarik memperbincangkan sawah tadah hujannya lama-lama. Maka ketika acara bertandang ke rumah sang karib dirasa cukup ia mohon diri. Tinggal melompat saja sudah sampai, sebab rumah mereka hanya dibatasi pagar bambu yang rendah. Sampai di rumah Surip Sasawati baru menjerang air. Anak Pakdhe Aryo Clemong yang baru kelas dua esempe itu ia minta untuk menemaninya. Agar dirinya merasa aman dan tidak kesepian. Padahal selama ini kesepian itu sudah terlalu akrab baginya, lho. Benar, wong dari kecil Sarni Trilili itu anak lola, yatim piatu. E, lha kok ndelalah ketemu Jonet Tralala saja riwayatnya juga sama persis. Bedanya, kangmasnya itu punya tanah dan tegalan yang cukup luas. Sedangkan dirinya hanya punya jiwa raga saja.
Pasangan serasi! Tumbu entuk tutup! Pasangan yang klop! Kamajaya dan Ratih!
Sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Mestikah Sarni Trilili mengumpati baksil-baksil yang telah menggrogoti tubuh suaminya tercinta. Tidak, menungsa amung saderma nglakoni. Manusia itu wayang, bukan sang dalang.
"Mbakyu, tadi di jalan ada pengamen lucu," kata Surip Sasawati. "Bahasanya ngawur."
"Ngawur kok lucu."
"Betuk kok, Mbakyu. Bukan menyanyikan lagu dangdut, tapi baca puisi." Sarni Trilili mengernyitkan dahi. Hm. Malamnya, belum ada jam setengah tujuh, ada suara tung-tung-plak tung-plak gong! Surip Sasawati langsung menggamit lengan Sarni Trilili. "Lha itu pengamennya, Mbakyu."
"Bukankah itu suara kendang khas Ledek Konyil yang sudah lama absen?" Sarni Trilili teringat suara gamelan masa lalu. Suara tung-plak tung-plak itu identik dengan suara ledek atau penayub, yang beber menawarkan tarian dan suaranya. Tapi itu dulu, sekarang sudah tak ada. Dahulu rombongan pengamen seperti itu berasal dari daerah 'we.' Tung-plak tung-plak gong! Suara gamelan itu makin dekat.
"Mbakyu, kita lihat, yo. Lucu lho, pangamennya ganteng-ganteng," ajak Surip Sasawati. We lha, kok gantengnya pengamen yang dinilai. Kalau begini bisa ndrawasi buat generasi muda. Tak urung, Sarni Trilili keluar rumah juga. Menuruti Sasawati. Orang-orang dukuh 'ex' sudah keluar semua. Maklum jarang ada tontonan. Film kabe pun boleh dibilang tak pernah berpromosi di sini, tak ayal kalau di daerah ini panen anak balita. Ternyata rombongan itu sudah acting di pelataran rumah Mbah Cengger Wilah. Pekarangannya memang paling luas.
"Mereka anak-anak kuliah, kok." Ada yang nyletuk kaya gitu, tapi entah siapa. Anak kampus, masa sih? Ka-ka-en, masa sih? Mengapa mengamen. Bukankah yang biasa sekolah tinggi itu anak orang berjubel duit? Tung plak-tung plak jer! Sarni Trilili dan Surip Sasawati sudah ikut sikut-sikutan mencari tempat. Ngiikk-ngook….ngik-ngokkk suara gesekan biola. Penari menari di tengah arena, dekat api unggun, memakai topeng sambil memegang kertas kucel. Surip Sasawati tersenyum kecut, tak bisa melihat wajah ganteng penari yang dibelit topeng monyet. Sarni Trilili tertawa dalam hati. Pengamen jantur itu mulai meneriakkan syair-syair Jawa sambil menari-nari.
Lelepah-lelepah pakanane iwak entah
Lelumban lelamising lati
Landep lancip liding
Lumah lemeh, lemeh lumah
Lemes
Lelepah-lelepah pakanane iwak entah
Lelakon oo…lelakon
Lir pakeliran suran
Lamat pangindunge nyi sinden
Lelegon bumi kelairan
Lemahku subur
Lintangku dhuwur
Lelepah-lelepah pakanane iwak entah
Limbung nyi buto ijo
Lambe ndremimil
Lambung perih ngelih
Le thole
Lodoken lenge gangsir
Lebanana kareben ngenthir
Lelepah-lelepah pakanane iwak entah.
Penduduk pun bersorak sorai ramai sekali mendengar geguritan yang kocak itu. Sarni Trilili tertawa-tawa senang. Benar, memang lucu. Sambil tetap menari orang topengan itu mengedarkan topi pandannya yang bulat plus kumal. Lantas uang logam pating klithik jatuh di sana. Tontonan ini memang tidak gratis, tapi murah meriah. Jadi siapa bilang orang desa terpencil tak bisa berapresiasi sastra. Bukankah yang baru saja didendangkan itu karya sastra? Geguritan, ya geguritan. Puisi Jawa!
Pengamen yang menari-nari itu kian berputar kencang, seiring dengan iringan gamelan yang kian ndadi, seperti reog ponorogo. Tiba-tiba saja, seperti gasingan yang baru saja disentakkan dari talinya, orang itu berputar hebat. Lalu jatuh terduduk, lemas. "Wah, apa tidak pusing orang itu!" gumam seseorang. Tampaknya tidak. Sebab tak lama kemudian si penari itu telah berdiri lagi. Matanya nanar memandang seputar sambil mulutnya komat-kamit.
"Ayo, baca puisi mbelingmu lagi!" teriak seseorang tidak sabar.
Jegag-jegug baungan kidul ratan
Jer sekar setaman nyi randa kalpika
Jugrug ketaman wiriding alif
Jaganana tha, nyai
Jangkepe manungsa nora bandha donya
Jeneh sira amemundhi memedi
Jayanen kautaman
Jatining janma amung wenang amarsudi
Ja ngaya nggembol lali
Syair yang memuat point randa atau janda itu dirasa Sarni Trilili nyenges dirinya. Ada rasa sir di hatinya. Sakit, agak sakit. "Kita pulang, Rip."