"Bangun Nea! Ini kantor bukan rumah kamu sendiri!"
Suara seorang lelaki mengagetkan Nea. Gadis itu mengucek matanya dan menguap. Pandangannya memicing ke arah depan. Nampak sesosok tegap berdiri di hadapannya dengan jas abu gelap. Tatapan mereka bertemu dan Nea tergagap.
Dia?
"Gue ada di mana?"
"Gue? Sadari lokasi dan waktu dengan baik, Nea." Lelaki muda itu melangkah menjauh memasuki ruangan besar di seberang mejanya.
Meja kantor? Komputer? Ada apa ini?
Pippp!
Suara sambungan line memecah kebingungan Nea. Meski ragu, Nea memilih untuk mengangkatnya.
"Saya minta scedule hari ini."
Sambungan terputus, tapi dari suara yang ia dengar, Nea yakin lelaki itu yang meminta. Nea mengedarkan pandangannya. Suasana kantor, meja kerja, pakaian, orang-orang yang berlalu lalang ini, semuanya seakan tak asing.
Nea menemukan sebuah jurnal dan membukanya.
8 Mei 2021
Ada deretan jadwal yang tertulis rapi. Nea bingung tetapi memutuskan beranjak sebelum mendapat teguran lagi. Ia melangkahkan kakinya yang beralaskan heels tujuh sentimeter perlahan menuju ruangan besar di seberangnya.
Tok! Tok!
"Masuk!"
Nea menghela nafas panjang, berusaha meredakan jantungnya yang berdegup tak teratur dan membuka lebar pintu kaca buram itu.
LIONARD SAZNORAN – C.E.O
Nea membulatkan mata ketika membaca papan kayu yang bertuliskan pemilik ruangan tersebut.
Lionard? 2021? Apa aku—
"Kenapa kamu hanya diam? Sudah bosan jadi sekretaris saya?"
"Gue—eh sa-saya tidak bermaksud seperti itu Pak. Ini schedule hari ini …."
Nea menekan dalam semua keingintahuan dan segala pikiran-pikiran yang saat ini berputar. Ia hanya ingin ini semua berjalan cepat dan ia kembali ke mejanya untuk memikirkan ini semua.
"Terimakasih. Saya akan berangkat dengan Dean, personal assistant saya. Kamu tetap di sini saja. Dan saya harap kamu tidak mengulang untuk tidur di jam kerja. Kamu boleh pergi."
Nea mengangguk hormat dan melangkah mundur. Setelah berada di balik pintu, ia bergegas duduk kembali dan mengamati semua yang ada di atas mejanya.
"Gak salah lagi. Ini semua bab awal dari sketsa gue! Ada apa ini? Kenapa gue bisa ngerasain ini semua?"
Mata Nea merebak, siap meneteskan air matanya. Ia menutup wajahnya dan bertumpu di atas meja. Nea berfikir buruk, bagaimana jika ia tak bisa kembali.
"Nea." Suara Lionard membuyarkan lamunannya. Nea mendongak, sisa-sisa air mata memenuhi wajahnya. Dihapusnya kasar agar tidak ada yang curiga.
"Ya Pak. Saya tidak tidur kok. Ha-hanya tadi ada debu. Ya, ada debu jadi kelilipan." Nea berusaha tertawa senatural mungkin. Lion—nama kecil Lionard—menatap tanpa ekspresi namun juga tidak melepas pandangannya. Nea kikuk dan hanya bisa menunduk.
"Kamu boleh pulang. Saya ajukan ijin sakit untukmu. Tidak ada penolakan." Lion melangkah menjauh diikuti oleh Dean untuk melakukan meeting.
Nea tak punya pilihan lain. Ia butuh memahami ini semua. Segera ia membereskan semua perlengkapannya, mencoba memasukkan semua barang yang familiar termasuk handphone yang ada di atas meja.
Sejenak Nea ragu, ke mana ia harus pulang. Untung saja Nea masih mengingat setiap detail sketsanya dulu, 'Nea' adalah seorang sekretaris yang bisa dibilang sukses di sini. Dia punya mobil dan unit apartemen sendiri. Setelah ia yakin, Nea melangkah ke arah basement. Selama ia berjalan, semua sketsa dan pemandangan di depan matanya saat ini berputar. Ia bisa melihat dengan jelas semuanya.
"Tenang Nea. Lo di sini dan di sana punya nama yang sama. Lo nggak usah takut. Lo hanya perlu ikutin semua sketch ini. Ini semua nggak nyata, calm down!" Nea mati-matian menenangkan gejolak batinnya sendiri. Ini tidak nyata, ini hanya sketsa, dua kalimat itu yang selalu ia tanamkan sampai akhirnya dia bisa mengendarai mobil dan pergi ke arah apartemennya.
Nea hanya berjalan dan melakukan kegiatannya seperti robot. Seakan semuanya berjalan mulus seperti apa yang sudah selesai ia sketsakan. Masuk ke unit nya, dengan begitu saja mandi, ke dapur dan berakhir di atas ranjang seperti sekarang. Hanya satu yang ia ragu, memainkan ponsel. Nea berguling, mengamati 'ponsel' yang tergeletak di sampingnya.
"Ini bisa dipakai apa nggak ya? Gue coba aja lah, lagian hape canggih begini belum pernah gue pegang di sana."
Nea membuka situs pencarian. Tidak ada yang istimewa. Lalu ia pindah ke bagian file. Matanya memicing ketika melihat nama file yang terpampang paling atas.
NeaLionFix.docx
Apa ini? Pikir Nea. Ada namanya dan Lion. Apakah ….
Benar!
Nea buru-buru bangkit. Ia tersenyum. Ini adalah sketsa dari bab awal kisah yang ia lukis.
"Berarti gue hanya perlu jalanin semuanya mirip kayak sketsa ini. Di sini gambaran terakhir adalah gue tidur. Dan apa yang akan terjadi besok bisa gue lihat lebih dulu. Aaahhh ya sudahlah. Hanya perlu sampai kolom terakhir dan tuinngg! Gue balik! Hahahahaha."
Nea tertawa, ia memilih untuk tidur meskipun hari masih terang. Jika saat ia bangun nanti sudah berganti hari, maka apa yang ia duga benar, begitu pikirnya. Akhirnya Nea menutup mata, tanpa tahu apakah hari-hari berikutnya akan sama seperti yang ia duga.
***
Bip … bip … bip!
Nea membuka mata perlahan. Mengerjapkan mata di tengah kegelapan.
Brukk
Bugg
"Aww!"
Suara berisik pagi ini berasal dari Nea yang mencoba bangun dan berjalan menuju jendela. Saat ia membuka gorden dan semburat cahaya pagi menerpa wajahnya, ia baru sadar kalau ia belum pulang.
Pemandangan yang tidak pernah ia lihat jika di dunia nyata. Suasana kota Jakarta yang sangat macet di pagi hari dari atas apartemen mewah di pusat kota.
Setelah berdiam diri selama beberapa menit, Nea memutuskan untuk segera siap-siap dan berangkat bekerja lagi. Bertemu boss tampan yang selalu ia harapkan nyata di hidupnya.
Mengendarai mobil yang sama dan jalan seperti dilaluinya kemarin, Nea sampai di kantor dengan selamat. Sepanjang perjalanan menuju lantai atas Lion, seluruh karyawan menyapanya dengan wajah super manis.
"Carper kah?" dengkusnya dalam hati. Menurutnya, mereka adalah ciri-ciri teman kerja yang cari perhatian saja! Coba, kalau ia bukan sekertaris Lion, apa mereka masih ingin menyapanya? Bahkan menawarkan sarapan, tsk!
Sesampainya di lantai khusus CEO, Nea berjalan cepat menuju ruangannya. Kesan pertama yang ia temui adalah karangan bunga sebesar dirinya dan boneka teddy bear yang menyerupainya.
"Woahh!"
Dengan semangat dan bahagia, Nea berjalan cepat yang terkesan melompat-lompat menuju benda itu.
"Dari siapa nih?" tanyanya sambil mencari-cari kartu nama di karangan bunga tersebut. Nihil, tidak ada satupun. "Secret admirer kah?"
Tak ingin memusingkan hal itu, Nea memilih untuk memeluk boneka tersebut dengan erat. "Emm, Bearly? Aku kasih namamu Bearly aja ya? Mau kan?" tanyanya kepada benda mati tersebut.
"Suka?"
Teguran dari arah belakang Nea tersebut membuatnya tersentak. Dengan wajah tidak enak dipandang, Nea terbengong-bengong menatap sang pelaku.
"P-pak Dean?" tanyanya bergumam dan secara perlahan melepaskan pelukannya pada Bearly.
"Dia … untukmu," ujar Dean menunjuk Bearly. "Sudah sehat? Kata Pak Lion, kemarin, kamu sakit."
Bukannya menjawab, Nea hanya mematung. Matanya melebar terkejut, mulutnya mendadak lumpuh dan tidak bisa digerakkan.
"Dean? Perhatian? Mustahil," lirihnya kemudian.
Lantas, Nea menggelengkan kepalanya kuat, berusaha hal itu dapat menghilangkan kejadian baru saja terjadi. Tetapi, saat ia melihat wajah khawatir yang dilayangkan Dean, membuatnya sontak terduduk di lantai. Ia memegangi kepalanya yang spontan pusing.
"Tokoh yang dibuat sebagai manusia super dingin menjadi … perhatian?"
Seperti ada lem yang merekat kuat di kedua matanya, Nea sama sekali tidak bisa membukanya. Dia merasakan tubuhnya terbang diiringi alunan musik yang begitu asing di telinganya.