"Aaargh!" Kulit tubuhnya berubah merah. Wajahnya memanjang seperti moncong anjing. Tumbuh bulu-bulu di sekujur tubuh. Muncul telinga yang memanjang lancip di kepalanya dan ekor berbulu kemerahan.
"Auuu!" Terdengar lengkingan serigala dari bibirnya di bawah cahaya bulan purnama.
***
"Hei, Nak. Kamu tidak mau ikut denganku ke ladang gandum?"
Raff tidur dengan posisi tertelungkup. Ia berbalik saat ayahnya membangunkannya. Dengan wajah mengantuk, ia mengusap mata dan menguap.
"Apa tidak terlalu pagi?"
"Ini sudah jam delapan, Raff."
"Oh, baiklah."
Raff beranjak dari ranjangnya, menuju wastafel. Ia mencuci wajah, lalu menggosok gigi. Ayahnya—Clell—keluar dari kamarnya untuk sarapan.
Sudah ada Sassaba—ibunya—sedang menyiapkan sarapan untuk mereka. Sarapan roti hasil buatan tangan Sassaba, mengolah gandum menjadi tepung. Roti buatannya begitu harum dan menggugah selera.
Raff keluar dari kamarnya setelah selesai berpakaian. Celana jeans biru dan kemeja lusuh kotak-kotak merupakan seragamnya saat berangkat ke ladang.
"Kamu baik-baik saja, Raff?" tanya Sassaba, tampak khawatir.
"Jangan khawatir, Mom."
"Kamu terlihat lelah?" Sassaba mendekati anak lelaki satu-satunya itu.
Clell turut memperhatikan. "Dia akan genap berusia 21?"
"Ya, hari ini. Kenapa?"
"Astaga! Kita melupakan itu!" Clell mendekati Raff. "Kamu bermimpi?"
Raff menatap mata kedua orang tuanya yang terlihat begitu khawatir. Kemudian ia mengangguk dan mencoba menjelaskan, "Itu hanya mimpi. Jangan khawatir."
"Kamu merasakan lelah saat ini?" tanya Clell lagi.
"Yeaaah, sedikit kram di pundak dan kakiku," sahutnya sembari menggerakkan bahu sebelah kanan.
Clell dan Sassaba saling berpandangan. Ternyata anak lelaki mereka telah mengalami transformasi tadi malam. Mereka melupakannya, padahal Clell telah mempersiapkan segalanya.
"Lupakan ladang gandum, Raff. Kamu harus bersiap ke Wolfreen City."
"Ayo, Sayang!" Sassaba membantu Raff memilih pakaiannya.
Raff hanya patuh. Dengan alis bertaut dan dahi berkerut, ia kebingungan. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa orang tuanya begitu memedulikan mimpinya. Hanya saja, ia tidak berani bertanya.
Sassaba mengeluarkan pakaian berwarna putih dengan kerah berenda yang terkesan kuno. Celana panjang beludru hitam yang mengerucut pada kakinya. Tidak ketinggalan rompi hitam berbahan beludru yang tidak kalah anehnya.
"Tunggu, Mom! Apa aku harus memakai itu?" Wajahnya menyengir, menandakan ketidaksukaan.
"Ya, kenapa?"
"Oh, aku tidak mau!" Raff duduk pada ranjang dengan bibir mengerucut dan melipat tangannya di dada.
Clell yang telah selesai menyiapkan peralatan, mengintip di balik pintu. Ia juga tidak menyukai pakaian itu dahulu. Maka, ia memutuskan untuk masuk.
"Pakai saja jeans dan kemeja bersih seperti biasanya." Clell sangat memahami Raff.
"Thanks, Dad."
Clell mengedipkan sebelah matanya, lalu pergi untuk menyiapkan mobil. Mereka akan berangkat ke Wolfreen City, tempat yang Raff tidak ketahui.
***
"Wow ... indah sekali." Raff terkagum-kagum ketika mereka memasuki wilayah Wolfreen City.
Suatu wilayah hutan rimba dengan pohon yang tinggi dan rapat. Raff mengira bahwa makin masuk ke dalam hutan, mereka akan turun dari mobil karena jalanan yang sulit. Ternyata ia salah.
Ada areal terbuka di kedalaman hutan. Akses jalan cukup untuk satu mobil hingga melebar saat memasuki perkotaannya. Benar-benar kota. Ada jalanan beraspal dan gedung-gedung yang terbuat dari pohon.
"Selamat datang di kota leluhur, Raff." Clell memarkir mobil di depan salah satu pohon sangat besar yang menjulang tinggi.
"Hei! Clell, kamu membawa Raff?" sapa seorang bertubuh gemuk dengan wajah memerah sama seperti rambut ikalnya.
"Ya, tentu. Kemarin malam dia bertransformasi dan aku tidak mengetahuinya."
"Oh, wow! Kamu bertransformasi sendiri?" tanya pria yang bernama Ivailo itu.
"Eh ... sejujurnya aku tidak tahu apa itu transformasi," sahut Raff sopan.
"Well, memang tidak semua mengalaminya saat sadar."
Clell dan Sassaba tertawa kecil membalas kelakar Ivailo.
"Ayo, kuantar menemui tetua," ajak Ivailo usai terbahak-bahak.
Raff berucap dalam hati. Memangnya apa yang lucu?
Saat memasuki bangunan yang terbuat dari pohon besar tersebut, Raff tercengang ketika melihat kemewahan di dalamnya. Ada lampu kristal besar di tengah ruangan yang menyerupai lobi hotel. Ada tangga dengan pegangan berukir emas dengan karpet merah hingga ke puncak tangga. Seorang berjanggut putih, tetapi terlihat masih begitu gagah, berdiri di sana.
"Hai, Clell!" seru Alarick, menyambut kedatangan mereka. "Aku sudah tahu tujuanmu kemari, setelah lima puluh tahun lamanya."
Raff menatap ayahnya, ia terlihat bingung. Sassaba hanya tersenyum sembari melirik ke arahnya. Raff bergumam, "Kenapa mereka terlihat begitu bahagia?"
Alarick turun, lalu mendekat ke arah Raff. Ia mengulurkan tangan kekarnya. "Selamat, anakku. Kamu akan kuhadiahi kekuatan. Pergunakanlah untuk membantu manusia lemah."
Alarick terlihat menggumamkan sesuatu sembari menutup matanya. Lalu, merentangkan kedua lengan hingga mengenai dada Raff. Dorongan dari kedua telapak tangan Alarick membuatnya mundur beberapa langkah. Lalu, terbatuk hebat hingga memuntahkan darah berwarna merah kecokelatan.
Setelahnya, tubuh Raff merasa lebih segar. Ia merasa lebih bugar dari sebelumnya. Bobot tubuhnya seperti berkurang, ia merasa begitu ringan.
"Berlarilah!" titah Alarick, membuka jalan untuk Raff berlari.
Raff patuh. Ia berlari sangat kencang, meninggalkan kedua orang tuanya. Ia tidak peduli apa pun lagi. Hatinya ikut merasa ringan seiring laju larinya.
***
Sudah satu minggu sejak kepergian mereka ke Wolfreen City, Raff merasa jauh lebih bertenaga. Ia bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya. Clell terlihat turut bangga melihat perubahan anaknya tersebut.
Hanya Sassaba yang terlihat biasa saja. Baik Raff telah memiliki kekuatan atau belum, ia tetap menyayangi Raff sepenuh hati, sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah.
Hingga suatu kali, penduduk Desa Rye didatangi oleh para bandit yang meminta uang keamanan yang tinggi kepada para petani maupun pedagang. Jumlah mereka banyak, sehingga penduduk desa tidak berani melawan. Mereka juga bersenjata api.
Raff muak dengan perilaku semena-mena mereka. Suatu malam, ia bertransformasi menjadi manusia serigala merah. Lalu, menghajar para bandit tersebut.
Raff kewalahan ketika menghadapi banyak orang. Saat ia terjepit, muncul manusia serigala lainnya. Bulu hitamnya berkilat, matanya menatap tajam mangsanya.
Para bandit tersebut kocar-kacir saat menghadapi dua manusia serigala ganas. Yang berbulu merah sangat lincah dan cepat, bahkan peluru dari senjata api mereka bisa dihindarinya. Yang berbulu hitam sangat kuat, sekali cabikkan cakarnya mampu merenggut nyawa seorang manusia.
"Kamu keren sekali, Dad."
"Kamu juga, Raff. Ayo, kita harus kembali sebelum fajar tiba. Ibumu pasti sangat khawatir."
"Besok kita lakukan lagi?"
"Yeah, selama bandit itu berani memasuki desa kita."
Raff terkekeh-kekeh sambil berjalan beriringan mengikuti langkah ayahnya. Mereka kembali ke kediaman mereka di tengah ladang gandum. Kediaman yang cukup tersembunyi dari manusia. Walaupun begitu, mereka tetap berbaur selayaknya manusia biasa.
Setiba di depan pintu rumah, Sassaba tengah meringkuk kesakitan. Ada pisau perak di perutnya, darah merah kehitaman mengalir dari luka bekas tusukan pisau tersebut. Clell berlari menghampiri istrinya. Ia bersimpuh, memegangi bahu Sassaba, lalu merebahkan kepalanya di pangkuan. Raff turut bersimpuh di sebelah ibunya.
"Apa yang terjadi, Mom?"
Bersambung