"Merinding bagaimana? Padahal di situ ada anak kecil yang melambai ke kita. Dia menyuruh kita ke sana," jelas Surya.
"Coba deh dilihat lagi!"
Tepat ketika melihat di sebuah pohon tersebut, dia tidak menemukan satu orang pun. Kedua matanya mengedarkan pandangan untuk mencari anak laki-laki tadi. Namun, sampai saat ini pun dia tidak menemukan satu orang pun. Di dalam kebun maupun di pinggir sungai hanya ada dua orang saja.
"Tuh kan nggak ada siapa-siapa," kata Anes.
Satu hal yang terlintas di pikiran Surya, yaitu makhluk ghaib. Dia segera berbenah untuk meninggalkan tempat tersebut sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Cukup aneh karena hal ghaib tersebut terjadi di waktu pagi hari yang tentunya langit sudah terlihat cerah dengan menampakkan sedikit sinar kuning dari matahari.
"Loh, kenapa malah mau beres-beres? Ikan yang kita pancing belum banyak banget loh."
"Sudahlah, Nes, lebih baik kita pulang saja. Hari ini kita harus lebih irit agar ikan bisa dimakan untuk makan siang dan makan malam," ujar Surya. Padahal sebenarnya dia juga sedikit merasakan getaran hebat di bagian tubuhnya. Seakan ada sesuatu yang memang harus benar-benar dihindari.
Bukan hanya Surya saja. Melihat bagaimana tingkah Surya sedikit membuat Anes semakin merasa merinding. Dia pun ikut berbenah agar bisa cepat meninggalkan tempat tersebut.
"Ayo, kita pulang!" Ajak Surya langsung melangkahkan kaki diikuti Anes yang berada di samping kanan Surya.
Hasil pancingan mereka pada pagi hari ini bisa dikatakan sedikit. Surya hanya seperempat wadah dan dan Anes hanya setengah wadah saja. Mereka tidak perduli lagi karena yang ada di dipikiran mereka hanyalah rasa takut.
"Kak, jalannya bisa pelan-pelan nggak?" Tanya Anes.
"Nggak bisa, Nes. Kita harus cepat-cepat keluar dari sini."
Tak lama kemudian, mereka akhirnya bisa keluar. Surya bisa bernapas lega. Tubuhnya sedikit bersandar di tembok rumah milik seseorang untuk sedikit mengatur napasnya. Begitupun yang dilakukan Anes, apalagi Anes membawa ikan lebih dari Surya yang tubuhnya juga terlihat lebih kecil tentu tenaganya juga beda.
"Capek banget ya, Kak. Harusnya kita tukeran wadah, Kakak yang bawa punyaku, huft."
"Iya deh iya."
"Nih!"
Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke rumah. Langit sudah mulai memperlihatkan panas matahari tanda hari semakin siang. Apalagi jarak ke rumahnya cukup jauh. Mereka harus bolak-balik dengan jalan kaki.
Tiba-tiba sandal yang dipakai Anes rusak karena dia tersandung batu kecil. "Aduh!"
"Anes!" Pekik Surya.
Ikan yang dibawa Anes ikut terjatuh dan berserakan di jalanan. Sebagai Kakak, Surya langsung menghampiri untuk menolongnya. Lutut Anes sedikit berdarah karena celana yang tadi dipakainya hanya seukuran di atas lutut. Mungkin karena tidak tertutup kain. Setidaknya kalau tertutup masih bisa ada kemungkinan aman.
"Kamu gimana sih, Nes? Kenapa harus jatuh?"
"Ya mana aku tahu."
"Sini bangun." Surya mengulurkan tangan kanannya untuk membantu Anes.
"Bukannya tanya keadaan malah ngomel-ngomel!" Ketus Anes agak kesal. Di balik rasa perhatian dalam diri Surya, ada hal menyebalkan pula.
"Loh ini kan sudah aku bantu."
"Telat."
"Hm, cewek memang maha benar."
"Ya sudah sih nggak apa-apa, memang pada dasarnya benar kalau Kakak sewot!"
Surya hanya diam tidak melayani omelan Anes. Dia tahu kalau Anes lagi kesal pasti akan ngomel-ngomel terus dan akan diam kalau tidak direspon. Bagi Surya, mendengar omelan Anes membuatnya sedikit pusing saja karena memenuhi gendang telinganya. Melayani Anes ngomel sama halnya mencari gara-gara yang tidak akan ada habisnya.
Surya sadar bahwa Anes adalah anak kecil, tapi jangan salah karena dia adalah anak yang berbakti dan bahkan bisa dibilang anak yang paling cekatan, terutama dalam hal kebersihan. Anes perlu diacungi jempol. Selama ini, dia selalu mencucikan baju milik keluarganya tiap hari. Sebab, ibunya tidak pernah sekalipun mengurus kebersihan rumah, sedangkan Anes adalah orang yang paling anti dengan yang namanya tempat kotor.
"Huft!" Surya hanya menghela napas untuk menghindari rasa kesalnya.
"Nah, gini dong!"
Tanpa kata apapun, Surya memutuskan untuk memunguti ikan-ikan yang berserakan, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju ke rumah diikuti Anes yang berada di belakangnya. Anes pun mengembungkan kedua pipinya. Rasanya ingin menjitak kepala Surya, tapi dia sadar bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan karena tidak sopan.
Tanpa terasa perjalanan mereka telah sampai di depan rumah. Di sana sudah ada Ayah nya yang sedang duduk manis sambil menyesap rokok. Melihat hal itu membuat Anes dan Surya merasa muak.
Mereka berdua memang anak kecil, tapi mereka memiliki hati. Ayahnya diperlakukan seperti raja dan telah merampas hak-hak anak untuk bahagia. Namun, mereka juga sadar bahwa seburuk-buruk ayahnya tidak pernah yang namanya kasar tangan, justru malah ibunyalah yang suka main tangan. Setidaknya walaupun tempramental tidak terlalu membuat anaknya merasakan tekanan batin.
"Kalian dari mana?" Tanya Sholeh lalu menyesap rokok. Asap rokok tersebut mengebul di depan Anes membuatnya mengibaskan tangan berkali-kali untuk menghindari asap tersebut, sedangkan Sholeh hanya diam saja dan bahkan mengulangi perbuatannya berkali-kali.
Surya menghela napas lalu menjawab, "Dari cari lauk, mau apa lagi kalau di rumah saja? Pasti ujung-ujungnya juga laper."
Sholeh hanya menganggukkan kepala saja. Dia memalingkan muka menatap pohon yang ada di depannya. Tidak perlu memperpanjang masalah karena dia tahu bahwa anaknya sedang kesal.
"Nggak tahu diri banget," gumam Surya ketika melewati Sholeh.
Bukan berarti Sholeh tidak mendengar, tapi karena Sholeh memang sengaja tidak mau memperpanjang masalah selagi perut terisi dan uang terus berjalan. Ucapan maupun makian dari anak hanya akan dianggap angin lalu saja. Namun, akan beda cerita ketika yang mencaci adalah orang dewasa maupun istrinya.
"Kehidupan kita miris sekali ya, Kak," ucap Anes yang sedang meracik bumbu untuk dihaluskan menggunakan cobek, sedangkan Surya sedang membersihkan ikan dari sisik dan kotoran yang ada di dalam perut ikan.
Bisa dibilang bahwa mereka cukup lelah dan wajar kalau mereka kesal kepada ayahnya yang malah enak-enakan di rumah. Mereka seringkali menganggap ayahnya sebagai beban keluarga. Bayangkan saja, mereka pergi pagi dan pulang jalan kaki dalam jarak tempuh cukup jauh, lalu mencari hal-hal yang digunakan untuk makan dan yang terakhir memasaknya sendiri.
Meskipun mereka anak kecil, tapi mereka sadar bahwa diri mereka masih tanggung jawab sepenuhnya oleh orang tua. Namun, takdir berkata lain. Tekanan batinlah yang sering mereka rasakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang bisa dan tahu bagaimana jika berada di dalam posisi tersebut.
"Kak, kita ini sudah miskin dan dapat orang tua yang sama-sama tempramental. Ibu galak dan kasar banget, sedangkan Ayah suka ngamuk kalau laper nggak ada makanan dan ingin judi kalau nggak ada uang."