"Sur!" Tegur Siti ketika melewati Surya.
Siti diam mengamati salah satu putranya. Semakin hari, Siti merasakan keanehan. Apalagi kalau di waktu malam dan pagi hari. Bahkan seringkali terlihat di luar nalar manusia.
Tidak ada respon dari Surya membuat Siti kesal. Dia menggunakan sapu yang sedang dipegangnya untuk dipukulkan di kepala Surya. Caranya cukup berhasil hingga membuat Surya meringis kesakitan. Surya pun menatap ibunya dengan tatapan bingung.
"Ngapain saja kamu?" Tanya Siti.
"Nggak ngapa-ngapain, Bu," jawab Surya santai, meskipun dalam hatinya takut karena Siti memegang senjata menggunakan sapu. Biasanya kalau tidak tangan kosong, pasti akan ada sasaran lagi. Buktinya saja tadi Surya dipukul.
Tidak heran bagi Surya kalau Siti suka menggunakan kekerasan. Baik dimanapun itu tempatnya selagi dia sudah emosi pasti akan dilampiaskan. Terkadang saja Surya merasa malu terhadap teman-temannya karena perbuatan Siti. Padahal Surya berharap bahwa Siti bisa berbuat bijaksana dalam hal mendidik anak, bukan malah seenaknya sendiri.
Kalau dihajar ataupun dimarahi di depan umum akan memberikan kesan tidak baik bagi Surya di depan teman-temannya. Namun, itu semua tidak disadari oleh Siti. Dia hanya memikirkan kepuasan batinnya saja tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Kedua mata Siti melotot ke arah Surya. Bentuknya benar-benar bulat sempurna karena pada dasarnya bentuk mata Siti saja sudah bulat dan lebar. Napasnya terlihat agak tersengal-sengal seperti menahan sesuatu. Genggaman pada sapu juga terlihat semakin erat. Tidak salah lagi, Surya yakin bahwa emosi Siti sedang memuncak.
"Ada apa sih, Bu?" Tanya Surya ikut kesal. Tiap kali berhadapan dengan Siti, emosinya selalu ingin ikut naik. Sebab, Siti tidak pernah mengerti dirinya dan seringkali berbuat kasar. Surya hanya ingin diperlakukan halus seperti hubungan anak dan ibu pada umumnya.
"Kamu ini bagaimana sih? Tiap hari tingkahnya semakin aneh, kamu itu harus sadar dan jangan hanya mengikuti suasana lingkungan saja!" Tegur Siti.
"Bagaimana aku nggak aneh, Bu, kalau tiap hari hidupku dikelilingi oleh hantu dan aku nggak bisa membedakan mana yang hantu dan mana yang manusia. Lagian ini kan juga karena aku gandeng mayit, coba kalau aku lahir normal tanpa status tersebut. Kenapa sih kakak ataupun adik harus mati secara berurutan? Aku juga capek dan menderita kalau seperti ini terus, Bu!" Keluh Surya sedikit meninggikan suaranya. Dia juga ingin dimengerti, bukan malah diomelin terus tiap hari. Sebagai seorang anak juga butuh kasih sayang dan perhatian lebih dari orang tua.
Ini kali pertama Siti mendengar keluh kesah Surya cukup dengan emosi. Biasanya dia tidak pernah berbicara dengan nada tinggi jika di depan dirinya. Ada dua rasa yang Siti rasakan, yaitu rasa kesal dan rasa iba. Dia merasa kesal karena dari sikap Surya seperti orang yang tidak memiliki sopan santun dan dia merasa iba karena dia tahu bahwa Surya menderita dengan status tersebut. Namun, Siti juga tidak mengerti karena itu takdir yang menimpa keluarganya.
Siti menghela napas untuk mengurangi rasa kesal dan egonya. Mau bagaimanapun dia adalah orang tua dan dibutuhkan sebagai tempat sandaran anak. Ada kalanya dia memiliki hubungan erat dengan seorang anak. Dia juga sadar bahwa selama ini dirinya lebih dominan memiliki sikap kasar kepada anak-anaknya. Itupun karena dia merasa lelah dan tidak bisa mengontrol emosi. Hidupnya terlalu banyak tuntutan dan siksaan dari suaminya, tapi pelampiasannya malah kepada anak-anaknya.
"Dengar baik-baik ya, Ibu nggak tahu dan kalaupun bisa memilih, maka Ibu nggak ingin ada anak Ibu yang meninggal. Ibu juga kangen sama mereka," kata Siti berusaha untuk tegar menerima kenyataan.
Kematian pasti akan menjemput seseorang, hanya saja waktunya yang beda. Oleh karena itu, Siti tidak bisa membentak Surya soal kematian. Bicara mengenai hal tersebut membuat tubuhnya merinding mengingat bahwa umurnya semakin tua.
Di lain sisi, dia juga semakin merasakan bahwa yang menyayangi dirinya adalah anaknya sendiri, bukan suami. Padahal pada umumnya suami lah yang malah lebih perhatian. Namun, suami Siti justru malah semakin menyakiti tiap hari. Bawaannya makan hati tanpa ada jeda. Belum lagi soal kekerasan fisik yang diterimanya.
Kalau dipikir-pikir menjalin hubungan suami istri dengan Sholeh tidak ada untungnya, tapi malah dirinya dijadikan seperti sapi perah, terutama jika uang hasil kerjanya malah dicuri oleh Sholeh. Masalahnya Siti tidak berani melawan Sholeh hanya karena takut menjadi istri durhaka. Dia memang terlalu bodoh soal cinta. Buktinya harga dirinya saja sudah tidak dipikirkan demi kebahagiaan suaminya.
Surya diam sambil kembali meratapi nasibnya. Dia duduk lesu di atas tanah sambil bersandar di pagar rumah. Tiba-tiba air matanya berhasil lolos membasahi kedua pipi.
"Kenapa ya takdir hidup kita seperti ini, Bu?" Tanya Surya.
"Ibu tidak tahu, Ibu hanya sebagai manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Jadi, kalau ditanya soal nasib yang tidak bisa dirubah, maka Ibu nggak bisa banyak berkata karena takdir yang tidak dapat dirubah akan mengalahkan segalanya," jawab Siti.
"Aku tahu kalau itu, cuma akhir-akhir ini aku sering mimpi ditemani dua anak kecil. Mereka berdua seperti mengenal dan menyayangi diriku, tapi aku tidak tahu siapa mereka."
Siti langsung terkejut dan dia sangat antusias terhadap kalimat yang baru saja diucapkan oleh Surya. Raut wajahnya kini berubah binar seakan akan mendapatkan suatu hal baik. Bisa dikatakan bahwa dia sangat antusias.
"Kenapa, Bu?" Tanya Surya merasa tidak nyaman terhadap respon Siti. Biasanya juga karena Siti ada maunya pasti dia akan drama. Bahkan bisa dikatakan bahwa sikapnya lebih manis dari biasanya yang suka membentak-bentak.
Sebenarnya bukan hanya Siti saja yang drama sikap baik hanya demi mendapatkan sesuatu, tapi hampir semua orang akan melakukan hal tersebut jika ada maunya terhadap orang lain. Jadi, hidup ini realistis saja bahwa setiap perbuatan pasti ada timbal balik, meskipun itu tidak dikatakan secara langsung. Manusia pasti akan berharap, terutama dalam keadaan kesusahan. Orang yang sedang susah hatinya juga mudah tersinggung, seperti halnya Surya dan Anes yang selalu dibully oleh teman-teman sekolahnya dulu.
Siti menghela napas lalu dia berkata, "Ibu ingin sekali bertemu dengan anak-anak Ibu yang sudah mati, tapi sayangnya Ibu tidak punya kemampuan bisa melihat hal gaib. Andai ya kalau Ibu punya."
"Memangnya Ibu kira mudah sekali punya kemampuan seperti itu? Justru aku malah tersiksa dan hampir gila. Masih mending kalau hampir, teman-temanku menganggap diriku gila. Ibu nggak tahu apa yang aku rasakan karena Ibu sibuk kerja dari pagi hingga petang. Aku terkadang capek dengan keadaan seperti ini, Bu. Aku ingin diperhatikan seperti anak pada umumnya, Bu!" Ujar Surya.
"Jaga mulut kamu ya! Kamu pikir Ibu nggak perhatian sama kamu? Kamu pikir kita mau makan pakai apa kalau Ibu nggak kerja? Ngandelin Ayah kamu? Dia hanya makan, tidur, dan marah-marah saja kalau nggak ada makanan dan uang. Ibu juga capek kalau seperti ini terus!" Bentak Siti.
Prang!
Suara piring jatuh hingga menggelinding tepat di depan Siti. Untung saja piring tersebut terbuat dari bahan besi, sehingga aman tidak bisa pecah. Siti dan Surya menatap ke arah sumber jatuhnya piring tersebut.
"Apa kamu lihat-lihat? Jaga mulut kamu ya, dasar orang perhitungan!"