Hari telah berganti. Kini langit memperlihatkan kegelapan dengan gemerlap cahaya bintang dan bulan. Kedua mata Surya menatap ke arah bintang tersebut sambil memeluk lututnya. Dia duduk menyendiri di belakang rumah, padahal cuaca cukup dingin.
Seperti biasa, suasana Desa Ngasem akan gelap gulita ketika di malam hari. Hanya ada cahaya kecil di tiap rumah, terutama daerah tempat tinggal Surya yang memang keadaan ekonominya tidak seperti di daerah perkotaan. Semua masih serba tradisional.
Tidak ada sedikitpun rasa takut dalam diri Surya, meskipun dirinya hanya sendirian. Menyendiri adalah salah satu cara bagi Surya untuk menghilangkan rasa lelah dari segala kegiatan maupun masalah ketika siang hari tadi. Andai tidak menyendiri, maka Surya malah merasakan ada yang aneh dengan dirinya sendiri tanpa tahu jawaban dari keanehan tersebut. Setidaknya dengan cara menyendiri bisa membuat Surya berpikir untuk mencari jawaban dan jalan keluar.
"Kenapa ya makin hari aku makin aneh? Padahal aku takut kalau nanti aku nggak punya teman atau bahkan benar-benar jadi gila," kata Surya sambil mengetuk-ngetuk lututnya. Dia menatap kerikil-kerikil kecil yang ada di depannya.
Banyak sekali pikiran dan permasalahan yang bersarang di kepalanya, tapi dia sendiri tidak tahu mulai dari mana harus menyelesaikannya. Mulai dari tidur tidak nyenyak hingga dirinya dianggap gila karena sering berbicara sendiri. Belum lagi konflik bersama teman sebayanya. Rasanya dia ingin menyerah dan mengakhiri hidup, tapi dia sendiri belum yakin akan keinginannya ketika sedang putus asa tersebut.
"Aku ini sudah bodoh malah cobaannya terlihat seperti orang yang semakin terlihat bodoh, huft!" Keluh Surya lalu bersandar di batang pohon mangga.
Di belakang rumahnya terdapat pohon mangga berukuran cukup besar dengan daun cukup lebat. Di samping pohon mangga ada pohon waru. Padahal pohon waru dipercayai oleh warga Desa Ngasem bahwa pohon tersebut ada penjaganya, terutama tiap malam. Namun, kali ini Surya benar-benar merasakan biasa saja seperti tidak ada yang aneh. Hanya ada sekumpulan nyamuk yang menyerang dirinya.
"Ya Tuhan, aku ingin banget hidup normal tidak menjadi orang aneh secara tiba-tiba. Kalaupun aku sudah nggak bisa normal, berikanlah petunjukmu agar diriku bisa mengerti mana yang hantu dan mana yang manusia," kata Surya.
"Aku bisa membantumu," sahut seorang laki-laki yang tiba-tiba duduk di sebelah Surya.
"Astaga!" Pekik Surya sambil mengelus dada.
Tentu saja kehadiran laki-laki tersebut membuat Surya terkejut dan bahkan hampir saja terpeleset di sungaii karena sebelah pohon mangga dan pohon waru adalah sungai kecil. Posisi Surya duduk tepat di pinggir sungai. Dia memutar bola matanya malas lalu menghela napas.
"Ngapain sih kamu muncul terus? Macam nggak ada kerjaan saja!" Ketus Surya.
Dia agak kesal kepada Toni mengingat kehadirannya membuat Surya dianggap gila oleh teman-temannya ataupun saudara kandungnya sendiri. Raut wajah Surya saja terlihat kesal dengan ditandai kerutan dibagian alis, pipinya menggembung, dan bibirnya mengerucut. Dia memutuskan untuk memalingkan muka.
"Aku memang nggak ada kerjaan karena aku sudah mati, paling nunggu giliran panggilan saja," kata Toni lalu terkekeh pelan.
Toni duduk di sebelah kanan Surya dengan posisi seperti Surya, yaitu duduk sambil memeluk lutut dengan tatapan mata menatap aliran air yang mengalir di depannya. Gelembung-gelembung kecil juga bermunculan di air yang disebabkan ada ikan yang sengaja memunculkan tubuh maupun mulutnya di permukaan air dalam durasi yang sangat singkat. Toni tidak marah terhadap respon yang diberikan oleh Surya untuk dirinya. Lagi pula hidup dirinya dan Surya sudah sangat beda jauh.
Tidak ada respon lagi dari Toni membuat Surya bingung, pasalnya Toni lebih sering banyak ngobrol ketika sedang penasaran terhadap suatu hal. Surya pun menatap wajah tenang Toni dari samping. Nampak bibirnya yang terlihat semakin pucat agak ungu dengan warna wajah kuning pucat. Semakin mengamati raut wajah Toni, maka semakin membuat tubuh Surya terasa merinding. Padahal sebelum ada Toni datang, dia tidak merasakan hal janggal ataupun rasa takut. Malah semuanya terasa baik-baik saja seperti waktu normal pada umumnya.
"Ton!" Panggil Surya.
Tanpa menjawab, Toni hanya menatap Surya datar dengan alis sebagai kanannya terangkat ke atas sebagai tanda pertanyaan. Bukannya mengungkapkan apa yang dipikirkan, tapi malah bibir Surya sulit digerakkan. Dia benar-benar merasakan ketakutan. Namun, dia tetap berusaha untuk melawan rasa takut tersebut.
Menunggu jawaban yang tak kunjung terucap dari bibir Surya membuat Toni memutuskan untuk angkat bicara. "Kenapa?"
Surya hanya menggelengkan kepala dengan cepat. Rasanya dia ingin berontak, tapi semuanya terasa seperti terkunci. Toni yang menyadari perubahan tubuh Surya pun langsung mengerti maksud dan solusi yang harus dirinya lakukan.
Pada saat itu juga bibir Toni berkomat-kamit membaca suatu mantra. Setelah itu, dia menatap sorot mata Surya. Ketika sorot mata mereka berdua bertemu, Toni langsung memetik jari tepat di depan Surya.
"Silahkan ngomong saja kalau memang ada perlu yang mau diomongin!" Suruh Toni.
"Hah?"
"Bagaimana rasanya? Apakah sekarang sudah bisa ngomong lagi?" Tanya Toni lalu terkekeh. Senyuman di bibirnya itu terlihat cukup menyebalkan karena terlihat seperti orang yang sedang merendahkan orang lain.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" Tanya Surya sangat penasaran.
"Hahaha, aku kan sudah bilang kalau aku ini sudah mati. Jadi, dunia kamu pun aku pasti tahu, tapi sebaliknya malah kamu tidak bisa sepenuhnya tahu bagaimana duniaku," jawab Toni.
Surya sedikit merasa lega ketika bibirnya sudah bisa digerakkan lagi dan melihat Toni sudah bisa tersenyum. Setidaknya Toni bisa terlihat hidup dan tidak menyeramkan, meskipun dia sudah mati. Kini tangan Surya meraba-raba bibirnya sendiri untuk memastikan bahwa semuanya sudah kembali normal.
"Bibirnya nggak akan kenapa-napa dan nggak usah bingung, aman kok."
"Bukan gitu, Ton. Aku tuh cuma heran saja," sangga Surya.
"Heran kenapa lagi sih? Padahal sudah aku jelaskan dan bantu dari ikatan makhluk gaib jahat loh. Tadi itu kamu hampir saja diserang, makanya bibir kamu tertutup secara tiba-tiba."
Detik itu juga kedua mata Surya membulat sempurna. "Makhluk gaib jahat?"
"Iya, lagian aku sudah bilang kan kalau kamu nggak bisa sepenuhnya melihat apa yang ada di dunia gaib."
Surya menganggukan kepala berkali-kali tanda paham. Dia tidak bisa meninggalkan sesuatu yang sudah sudah melekat di tubuhnya, termasuk masalah saat ini. Dia mengernyitkan dahinya ketika kebingungan masih menyerang dirinya.
"Bagaimana itu bisa terjadi? Padahal aku bisa lihat kamu dan apa bedanya sama teman-teman kamu yang katanya sudah mati dan tentunya pasti sama kan?" Tanya Surya sedikit meninggikan nada bicaranya.
"Beda, sangat beda jauh. Kalau kamu ingin tahu, silahkan mati dulu agar lebih mudah masuk ke duniaku."
Surya menghela napas lalu bertanya, "Nggak ada pilihan lain selain mati apa? Aku masih ingin hidup di dunia ini dan soal mati itu terasa konyol di pendengaranku."