Ya sudah. Aku menaiki tangga sambil sebisa mungkin berjingkat diam-diam. Terima kasih, Pak Pelatih Ayah. Aku berhenti di puncak dan merapatkan diri ke dinding di seberang pagar tangga. Aku pelan-pelan mengintip ke balik tembok dan melihat bahwa pintu kamar Tunner tertutup.
Aku tidak ingin dia mendengarku. Sejak insiden di teras, aku menghindari berdua saja dengannya.
Koridor gelap, sedangkan sakelar gaya lama berlapis kuningan berada tepat di samping wajahku. Selagi beradu hidung dengan bayanganku yang pencong di kuningan, aku tidak memencet tombol hitam kecil, sebab aku berpikir sebaiknya tidak mengubah ataupun mengusik apa pun di atas sini. Aku mempertimbangkan untuk kembali ke lantai bawah dan berusaha membujuk Ayah supaya mau bermain denganku lagi, atau mengambek sambil bungkam di samping beliau di sofa.