Tunner tidak menanggapi kedua orangtua kami, juga tidak bersuara. Dia tidak ber-huek-huek atau kejang-kejang spontan seperti orang pada umumnya ketika muntah. Tubuhnya masih duduk tegap sambil lulut menahan tidak memuntahkannya kembali.
Muntahan tertumpah begitu saja dari mulutnya seperti keran yang dibuka. Muntahan itu sehijau rumput musim semi dan pasta bekas kunyah kelihatan kering janggal, sekental makanan anjing tumbuk.
Kakakku memperhatikan Ayah terus sementara muntahan mengisi piringnya, sebagian luber dari tepi piring ke meja. Begitu muntahannya habis, Tunner mengusap mulutnya dengan lengan baju. "Tidak, Angel. Kau tidak boleh memakai topiku." Dia kedengaran seperti bukan Tunner. Suaranya lebih rendah, bernada dewasa dan menggeram. "Bisa-bisa kau merusaknya. Atau menulariku dengan macam-macam." Dia tertawa.
Ayah: "Tunner ...."