"Kau tidak bersalah, Daffin," akhirnya dengan suarah lirih, Aarav berkata. "Semua sudah terjadi, tak akan bisa diperbaiki. Hanya aku ingin bertanya, bisakah kamu melupakan Olivia dan anakmu yang Olivia kandung?"
"Tidak, Aarav."
"Kenapa?"
"Aku akan terus dikejar oleh perasaan dosa dan bersalah. Aku mohon, Aarav. Aku mohon kepadamu. Jika kamu mau menghukumku, hukumlah. Hajar aku sepuas hatimu, asalkan jangan kamu suruh aku meninggalkan Olivia dan anakku yang masih dalam kandungannya."
Semakin luluh lantah hati Aarav mendengar pengakuan temannya. Pantaskah dia bersikeras untuk memperebutkan sesuat yang sudah jelas tak akan bisa di raih. Mungkin dia bisa, tapi dia harus mengorbankan Daffin membujang dan senantiasa dikejar oleh dosa-dosanya.
"Itu bukan hakku. Semua terserah Olivia dan kedua orang tuanya. Kamu toh tahu, aku memang belum resmi menjadi suaminya, karena kami belum terikat perkawinan."