Chereads / Suamimu Supir Kantoran / Chapter 3 - bab 3 ada yang berbeda dari nurlela

Chapter 3 - bab 3 ada yang berbeda dari nurlela

Seperti biasa pulang kerja aku minta istri ku buatkan kopi, tak pernah sekalipun dia menolak apa yang aku minta, aku memang tipe suami yang ingin selalu di layani istri, untung nya Nurlela istriku selalu cekatan dan tak pernah berlama lama mengerjakan yang aku minta, kadang sebelum aku minta pun dia yang dahulu menawari ku .

Sangat beruntung aku mempunyai istri dia, walau pun cerewet dan suara yang selalu lantang tapi aku tak menjadi masalah karena apa yang dia katakan memang benar, dan aku sebagai orang Medan sudah terbiasa dengan nada yang tinggi.

Tapi memang salah nya di aku, penghasilan ku pas pasan, malah bisa di bilang kurang.

Aku celingukan di rumah, kok sepi gak ada Nurlela, anak anak pun tak ada, mana rumah tak di kunci, kemana Nurlela, biasanya selalu ada kalau aku pulang kerja.

Terpaksa aku buat sendiri kopi, sambil menunggu air mendidih, aku hubungi Nurlela, nada memanggil tapi tak dia angkat, ku ulangi lagi.

Sama.

Nurlela tak menerima panggilan telepon ku.

Air sudah mendidih, ku seduh kopi aku duduk di kursi makan di dapur ku, karena memang cuka ini tempat pavorit kami di rumah jadul ini.

Tring!

Ada pesan masuk, aku membuka nya.

{ Bang aku ada perlu dulu, anak anak aku titip di rumah mbak Yani, mungkin pulang agak malam}

Pesan dari Nurlela.

Tak biasa nya dia pergi tanpa pamit, setidak nya dia bisa memberi tahuku lewat pesan.

Memang perlu apa dia, sampe bilang pulang agak malam.

{ Pergi ke mana kamu Nur} kirim.

Lama ku menunggu balasan istriku, tetap sunyi.

Ku sulut sebatang rokok, ku sesep dalam dalam.

Aku mencoba menghubungi Nurlela tetap tak di angkat, ku ulang lagi masih sama tak dia angkat.

Fikiran ku melayang tak karuan, kemana Nurlela pergi, sampai dia titip kan anak anak ke tempat kakak nya

Aku pun malas kalau harus menjemput mereka di sana.

Ya sudah lah, aku lebih baik mandi dulu, nanti aku tanya langsung sama Nurlela kalau dia pulang.

Aku ngeloyor ke kamar mandi.

"Bang! Bang!" Ku dengar suara istriku lantang dari depan, tapi tak ku dengar suara anak anak, mungkin dia belum menjemput nya.

"Ya Nur, Abang di sini" jawab ku keras, istri ku menuju dapur, melihat ku baru selesai mandi.

"Katanya pulang malam, kok sudah sampai sekarang?" Tanya ku sinis.

"Lok Abang ngomong nya begitu, harus nya seneng dong aku pulang cepet" Nurlela seperti biasa tak mau kalah dan selalu ada saja jawaban nya.

"Kamu kan tadi kirim pesan sama Abang, bilang nya begitu" aku tak mau kalah kali ini.

"Mana anak anak bang!" Nurlela memandang ke sekeliling rumah, tak di temukan Deri anak ku yang sulung, atau pun si bungsu Mimi.

"Abang belum jemput mereka ya!" Tanya Nurlela dia memandang tajam ke arah ku.

Aku menggeleng.

Lagian siapa yang suruh jemput, apa dia minta padaku unjuk jemput mereka, batin ku geram.

"Bang!" Nurlela bertanya dengan suara keras

"Emang Nur nyuruh abang jemput mereka? Nur tadi cuma ngasih tau abang, anak anak di tenpat mbak Yani" bela ku.

"Ya udah abang jemput sana!" Pinta Nurlela, dia beranjak ke kamar.

Dengan terpaksa aku mengeluarkan motor ku, menjemput anak anak di tempat kakak ipar ku.

Sepanjang jalan aku memang masih kepikiran, kemana Nurlela tadi pergi, biasanya kan dia tak pernah kemana mana, cuma pake dasteran, tadi aku lihat dia pakai baju gaya, modis lah pokoknya, dia cantik aku lihat.

Ada rasa cemburu tiba tiba dalam hatiku, jangan jangan Nurlela.

Aku menghentikan motor ku mendadak, karena ngelamun tadi,  jadi rumah mbak Yani kelewat.

"

Bu! Ibu!" Suara panggilan Deri dan Mimi hampir berbarengan, nyari emaknya.

Aku melangkah masuk ke dalam, biasa ke tempat favorit ku, dapur.

Masih ada sisa kopi di atas meja, aku meneguk nya lalu ku sulut sebatang rokok.

Nurlela keluar dari kamar, menyambut Deri dan Mimi, di suruhnya  kedua bocah itu untuk berganti pakaian, lalu mereka pun menclok depan tv, nonton acara kesayangan mereka.

"Nur, tadi emang dari mana, kok gak pamit dulu sama abang?" Tanya ku , Nurlela selonjoran dekat si bungsu, dia menoleh ke arah ku

" Nur- Nur ada perlu sama temen bang" jawab istriku agak gugup.

"Teman siapa? Sejak kapan kamu punya temen, abang gak pernah liat ada temen Nur kemari, paling gak tetangga dekat aja yang suka datang, kalau gak Nur ke tempat mbak Yani" desak ku, mataku melihat curiga.

Nurlela terdiam, dia berdiri menghampiriku, duduk di samping ku

"Jangan keras keras bang ngomongnya, nanti kedengaran anak anak" suara Nur terdengar seperti berbisik.

Gak salah dia meminta suara ku pelan, sedang kan dia sehari hari ngomong lantang lebih tepatnya teriak teriak.

"Emang abang sekeras apa sih?" Tanya ku heran.

"Barusan abang nanya nanya suara nya kenceng" bela Nurlela.

"Ya udah abang pelan nih suaranya, abang nanya Nur tadi pergi ketemu siapa?"

" Temen bang"

" Temen yang mana?"

" Nur kenal dari aplikasi bang, dia mau ngajak usaha bareng sama Nur"

Deug! Aplikasi?

"Maksud Nur, teman baru?" Selidik ku curiga.

Dia mengangguk lalu menyalakan kompor, seperti nya dia mau bikin telor ceplok buat menu makan malam.

Benar dugaan ku, dia goreng telor beberapa, pastu nuat ku dan anak anak.

Nasib nasib, tanggal tua dimasakin cuma telor ceplok lagi telor ceplok lagi.

"Temen nya perempuan apa laki Nur " tanya ku memandang dia menyiapkan makan malam kami.

"Perempuan bang, masa laki laki, emang Abang ngizinin aku punya temen laki laki, terus ketemuan sama dia" bibir Nur mencibir, menyendokkan nasi untuk ku.

Aku menikmati makan malam tanpa banyak bicara, ku lihat Nurlela menyuapi anak anak.

Aku mengunyah perlahan makanan ku, sambil fikiran menerawang jauh.

Terngiang apa yang istriku ucapakan tadi.

Dia ada kenalan baru di aplikasi ngajak usaha.

Wah harus hati hati nih. Walau pun kenalan baru dia perempuan.

Kalau Nurlela sudah bisa cari teman,

Nanti lupa kewajiban nya, sibuk sama teman baru nya, kalau seandainya dia ada kenalan laki laki, terus Nurlela selingkuh.

Waduh!

Aku memukul jidat ku, sampe Nurlela menengok ke arah ku.

"Kenapa bang, telornya ke asinan ya?" Tanya Nurlela mengambilkan ku air minum.

"Gak Nur" aku menghabiskan sisa makan ku cepat.

"Tadi Abang mukul jidat?" Tanya nya.

" Eh .. eh ... abang nepuk nyamuk" jawab ku asal.

Nurlela kelihatan nya puas dengan jawaban ku, dia masih sibuk menyuapin kedua anak anak ku.

Selesai makan aku memilih duduk di depan rumah, menyulut rokok sambil menggulirkan ponsel ku di sebuah aplikasi.

Ingin menyuruh Nurlela membuat kan kopi, tapi  ku urungkan niatku, aku tak mau mendengar ocehan nya yang lantang. Walau pun pasti dia membuat kan nya juga.

Dengan malas aku ke dapur membuat kopi ku sendiri.

Anak anak masih nonton depan tv, dan ku lihat Nurlela jongkok mencuci piring, tak tega sebenarnya melihat posisi dia, berjongkok ria membersihkan piring piring kotor.

Ah, kapan bisa ku buat kan wastafel biar dia nyaman berdiri membersihkan piring kotor.

"Bang! Kapan dong kamar mandi di benerin, tak kasian apa liat aku capek gini, air nyapet lambat ngalir nya" aku terkejut mendengar suara dia.

Seperti nya dia sepikiran dengan ku, ngebenerin kamar mandi plus tempat cuci piring.

Kukira istriku ini tak sadar bila aku ada di dapur, menjerang air untuk kopi. Nyatanya dia tahu juga aku di dapur, di mana ada kesempatan pasti lah dia nyerocos lantang berbicara padaku.

"Entahlah Nur",  jawab ku lemas.

"Abang cuma gitu gitu terus jawab nya, usaha dong bang!"

Entah lah Nur, Abang cuma supir, gajih kecil, batin ku dalam hati.

Cepat cepat ku buat kopi dan gegas ku tinggalkan Nurlela, membawa cangkir kopi ku ke teras depan.

Terlihat Mimi sudah tergolek tidur di samping kakaknya, sedang anak sulung ku Deri,  ku lihat matanya pun sudah sayu karena ngantuk, tapi bocah  itu seperti memaksakan ingin terus melihat film kesukaan nya.

"Bang! Gak bisa abang cari pinjaman buat benerin nih rumah"  baru ku teguk kopi panas ku, Nurlela sudah ada di dekat ku, sudah selesai rupanya dia membersihkan piring piring kotor nya di dapur.

Aku menarik nafas berat.

Menggaruk kepala yang tak terasa gatal.

"Bang, jawab dong kok diam?" Tanya Nurlela, suara nya melengking.

Dia memindahkan anak anak kedalam kamar rupanya Deri pun sudah pulas, tapi masih terdengar suara lengkingan nya.

Apa yang harus aku jawab, memang benar benar untuk saat ini tak ada solusi untuk aku mendapat uang tambahan.

Untuk pinjam lagi ke kantor pun belum bisa aku lakukan, pinjaman ku untuk membeli rumah standar ini saja belum lunas aku bayar.

Aku terus berfikir memutar otak, mencari uang tambahan atau mencari pinjaman.

Aku tak melihat Nurlela keluar kamar,  mungkin dia sudah ikut dengan anak anak tertidur, tapi bukan kebiasaan Nur tidur masih jam jam seperti saat ini.

Dia selalu tidur bila sudah menemani ku ngopi, sambil pastinya terus bercerita kebutuhan dan keinginan.

Namanya juga perempuan.

Dan seperti biasa aku hanya akan menjadi pendengar yang baik untuk istriku yang cerewet ini.

Tapi malam ini ada yang berbeda dari Nurlela, dia meninggalkan ku tidur.

Karena perempuan yang ku nikahi itu tak keluar kamar lagi.

***