Bilahnya masih berkobar, tak henti kedua pedang besar itu ia putar-putarkan laksana menantang. Menyadari segenap musuh di hadapannya kini tinggal ampas yang dengan mudah bisa dihanguskan, semakin beringas Silbi mulai bersiap memberi serangan balasan. Mengepul uap hitam kala salah satu perisainya ia majukan sebagai benteng yang menutupi sosok Randra, terasa energi panas sedang terpusat di satu titik. Tak luput di sisi kanan kirinya, terhunus dua pedang yang menyala-nyala siap menghunjamkan apinya ke depan.
Hawa panas semakin menjadi-jadi memanggang seisi Istana Pusat, mungkin hanya akan ada dua pilihan terkait tempat ini, hangus terbakar atau hancur lebur? Tercerai berainya Pasukan Bartham yang sudah tak tertolong lagi tentu tak bisa diharapkan. Ellenia yang tanpa rasa takut pun tak ada bedanya dengan cecunguk sekarang, mendapati Tombak Astrapara miliknya di pentalkan dengan mudah cukup untuk membuatnya tak berkutik.
"Ini akan semakin menarik," gumam Silbi terkesan merendahkan.
Asap-asap tipis masih keluar dari mata tombak Astrapara, seakan hangus akibat ulah Silbi beberapa saat yang lalu, sejenak ia pandangi senjata andalannya sebelum akhirnya dengan mantap memutuskan untuk kembali bangkit. Masih menjalar, api yang membakar lengannya tampak tak ia hiraukan. Entah kebodohan apa lagi yang akan dilakukan Ellenia untuk menghadapi sosok di hadapannya? Atau ia sedang membawa sebuah rencana sekarang? Hanya saja, seorang diri menghadapi Randra yang berada dalam pengaruh Silbi tak ubahnya dengan bunuh diri sekarang, sangat mustahil mengingat lengannya juga sedang terluka. Sementara kerumunan yang meninggalkan Istana Pusat semakin jauh meninggalkannya dalam kesendirian, tak diketahui pula ke mana raibnya Sang Raja di situasi seperti ini? Satu-satunya yang bisa ia andalkan hanyalah keyakinannya.
GRRRRHHHH !!! GRRRRAAAKKKK !!! ZRUUOOHHH !!!
Rengkah diiringi getaran singkat, lidah-lidah api mencuat keluar dari dalam tanah dari tempat Randra berpijak. Keyakinannya seakan menguat, ia bahkan tak sempat terperanjat dengan apa yang muncul di hadapannya barusan.
"Kau yakin akan ini?" tanya Yyira memastikan.
"Ya, meski aku tak tahu apa ini? Tapi ini sepertinya setingkat dengan Perintah Api yang kita keluarkan."
ZRAAAKKKKK!!!!
Perbincangan Ellenia dikagetkan dengan perisai hitam yang tiba-tiba melesat menerjang ke arahnya. Untungnya ia sama sekali tak mengalihkan pandangannya ke tempat lain dan masih sempat menghindar meski terhempas hawa panas akibat serangan barusan.
ZZZZLLLLLAAAAAARRRRR!!!
Kobaran api keluar dari terjangan perisai yang langsung memenuhi udara di sekitarnya, bara-bara kecil berhamburan, semakin merambat api itu membakar pepohonan yang hangus tak tersisa. Sekumpulan mayat beserta puing Istana Pusat yang berjatuhan pun tak luput dari nyala merahnya. Seakan memang bersedia melahap setiap objek di sekitarnya, terdengar pula bebunyian dari puluhan jasad itu seolah ranting yang terbakar. Tentu sudah tamat riwayat Ellenia jika hantaman perisai tersebut sempat mengenainya.
"Untuk ukuran makhluk rendahan kau lumayan tanggap," ejek Silbi.
Bisa disimpulkan sikap gadis ini mulai geram, terdengar dari gemeretak giginya yang tertahan, tanpa basa-basi ia keluarkan sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan. Tak terhitung berapa kali ia membawanya ke medan perang? Tapi baru kali ini ia mendapati adanya kejanggalan, semacam aura yang bangkit diiringi hawa hangat terasa dari sapu tangan yang berada dalam genggamannya. Matanya memerhatikan Randra yang kini berbalik menatap kosong ke arahnya, pedang pendek yang masih terselip di pinggangnya pun lantas diambilnya seraya maju perlahan.
"Bersiaplah Yyira, aku merasa ini bisa dimanfaatkan sebagai Perintah Api, fokuskan perhatianmu pada penyelarasan," ucap Ellenia mengambil posisi bersiap.
"Yang benar saja? Bukankah aku yang mengajarimu teknik itu?" balas Yyira seolah paham apa yang seharusnya ia lakukan.
"Membosankan!" seru Silbi.
Ancang-ancang rasanya tak lagi diperlukan kala sosok Randra tiba-tiba melesat ke depan. Maju menantang Sang Kapten Pasukan Pengintai itu dengan lengan yang terbakar siap menghadapinya. Sapu tangan dalam genggamannya pun mulai bereaksi, semakin erat kedua tangannya yang menggenggam pedang. Tanpa ragu ia melompat ke udara berniat menebas Randra dari atas.
"Perintah Api! Pelepasan."
ZRRAAASSSHHH!
CTAANNGGG!
Bersamaan dengan Randra yang menangkis tebasan Ellenia, percikan api muncul dari bilah yang menggores perisai Silbi. Hawa hangat mulai terasa menyebar dari tebasan tersebut, selagi Ellenia mencoba menyeimbangkan posisinya di udara, entah kenapa dirinya merasa hawa hangat ini tiba-tiba memanas dengan cepat? Seakan api menemukan keberadaan benda yang bisa ia bakar.
ZRAK! ZRAK! ZRUUAAKKKK!
Belum habis dirinya menyadari keanehan dari serangan yang baru saja ia lancarkan, terbakar dirinya dalam kobaran api bersama Randra. Hanya hitungan detik kobaran itu melahap keduanya sebelum akhirnya lenyap seolah tak pernah ada, huruf-huruf aneh yang mulai bermunculan turut memaksa gadis ini melompat menghindar. Seakan bereaksi dengan apa yang dibawa Randra, huruf-huruf berwarna merah juga muncul dari balik jubah hitamnya.
"Apa ini? Pola huruf ini seperti tulisan kuno, apa kau tahu sesuatu, Yyira?" tanya Ellenia yang masih waspada menghunuskan pedangnya.
"Bisa saja dugaanku salah, tapi ini seperti 'Lodra'," balas Yyira seolah mengetahui sesuatu.
"Lodra? Ini seperti Mantra," gumam Ellenia memperhatikan Randra yang mulai mundur beberapa langkah ke belakang.
Merah terang, berderet membentuk rangkaian kalimat yang entah apa bacaannya? Hanya saja, huruf-huruf ini bertebaran di sekitar Randra seakan mengunci pergerakannya.
"Keparat! Lagi-lagi seperti ini," umpat Silbi mulai geram.
Selain sapu tangan Ellenia, Kitab Sacantra yang di bawa pemuda ini mungkin juga menjadi penyebab kemunculan sekumpulan huruf aneh tersebut. Gelap yang menyelimuti Bartham perlahan memudar seiring kemunculan kalimat-kalimat aneh yang semakin banyak beterbangan, pekat yang membayangi seakan paham jika sudah tiba waktunya menepi. Tampak pula oleh Ellenia kala percikan-percikan api muncul setiap kali huruf-huruf aneh ini mengenai tubuh Randra. Semakin rapat, semakin terkunci pergerakan Pemuda Montrea ini terkurung ditengah-tengah untaian kalimat yang membelenggunya. Baru saja sekumpulan huruf itu terkumpul menutupi dirinya...
ZLAARR!
Nyala redup muncul begitu saja, tak begitu merah seperti api milik Silbi, uniknya terdapat corak kekuningan pada api yang tiba-tiba membakar tubuh Randra. Keempat tangan Silbi perlahan musnah terbawa angin layaknya bayangan yang diterpa cahaya. Gerincing bunyi juga terdengar dari rantai yang melilit kedua tangan Randra, mengendur perlahan lengkungan besi itu seraya kembali masuk ke dalam bayangan Si Pemuda. Nafasnya mulai teratur, untuk sesaat Ellenia berhak merasa lega atas usahanya. Meski ia tak tahu teknik macam apa yang baru saja ia keluarkan? Setidaknya melihat Randra yang mulai tenang sudah cukup untuk sekarang.
Rasanya ingin terpejam saat ini juga, hawa hangat yang begitu menghanyutkan, begitu tenteram, seolah secuil kedamaian sedang hadir di hadapannya. Tanpa sadar mulai melangkah dirinya mendekati Randra yang tampak terhuyung, mungkin ia juga tak menyadari lengannya yang terbakar telah berhasil Yyira pulihkan. Api merah kekuningan mulai padam bersamaan kembalinya mentari pagi yang menjulang di cakrawala Bartham, terasa dingin tubuh pemuda ini kala Ellenia mencoba membopongnya, mungkin ia juga tak sempat berpikir ke mana lenyapnya api aneh yang membakar Randra barusan?.
"Dasar! Setelah segala kekacauan dan kerusakan yang kau perbuat, pasti akan ada masalah besar di Bartham," gerutu Ellenia.
Meski menggerutu, sama sekali tak ada sorot kemarahan dari matanya, cukuplah baginya perasaan lega atas berakhirnya kekacauan yang sudah terjadi. Setiap kali ia melempar pandangan ke sekeliling, hanya kehancuran dari sisa-sisa pertarungan itulah yang tampak dalam pelupuk matanya. Agak jauh dari Istana Pusat Ellenia membawa Randra menepi, menyenderkan tubuh Pemuda Montrea ini pada batang pepohonan yang hangus. Dari kejauhan, mayat-mayat yang terbakar itu masih sempat ia pandangi beberapa saat.
GGRRRHHH! GGRRRHHH! GGRRRHHH! GRRRRAAAGGGHHH!!!
Masih dalam perenungan, sontak terperanjat bangkit dirinya menyadari langit di atasnya bergetar hebat. Baru kali ini Ellenia menyaksikan sebuah retakan muncul di antara langit dan bumi, semakin retakan itu muncul, semakin besar pula getaran yang di rasanya. Meski tanah tak ikut bergetar, namun kehadiran guncangan ini benar-benar terasa mengganggu.
JDAAAANNNGGG!!!
Terbuka! Kilauan emas muncul dari dalam retakan yang melebar, gerbang bundar berukuran raksasa itu tanpa sungkan langsung menampakkan isinya. Di penuhi akan awan-awan kecil yang mulai keluar.
"Astaga! Apa lagi sekarang? Yyira, benda macam apa ini?" tanya Ellenia tanpa mengalihkan pandangan dari gerbang tersebut.
"Cukup mengejutkan, itu salah satu dari Gerbang Empat Alam, dari hitam corak batuan di pintu emasnya memang tak salah lagi, itu Gerbang Niantra!" jelas Yyira.
Melebar matanya mendengar penjelasan Yyira, mematung sosoknya seorang diri tanpa satu pasukan pun yang menemani. Bisa ia rasakan, betapa kecilnya ia di bawah naungan kemegahan portal tersebut. Kenapa Gerbang Niantra terbuka di sini? Apa yang akan Para Raksasa lakukan di Alam Montrea? Dan segudang pertanyaan lain mulai hadir mengusik benak Ellenia. Meredam amarah Randra saja sudah cukup melelahkan baginya, dan sekarang ia harus disibukkan dengan Gerbang Niantra yang belum jelas tujuan dari kemunculannya. Bukan tanpa sebab, sejarah keberingasan dari Para Raksasa yang merupakan Ras Petarung itu sudah diketahui seisi Montrea. Jika mereka turun dan langsung mengamuk sekarang, mungkin kehancuran Bartham sudah tak bisa dihindari. Sementara Randra masih tak sadarkan diri, di sampingnya agak ragu tangan Sang Gadis mencoba menghunuskan pedang sekedar berjaga-jaga.