"Iya, dia pria yang malam itu bersamaku. Pria yang menghabiskan malamnya bersamaku. Pria yang sudah mengambil pertamaku." Loulia menatap Ghava tajam. Membuat tatapan mereka bertemu karena Ghava juga lantas menatap Loulia setelah mendengar apa yang wanita itu katakan.
"Aku sudah tidak perawan," tambah Loulia dengan beberapa penekanan di sana.
Ghava terdiam sembari menatap Loulia di hadapannya. Benar-benar terdiam selayaknya patung yang sama sekali tak bisa bergerak sedikit pun. Meski begitu, Loulia sendiri tak bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran Ghava sekarang. Dia tak tahu apa dan bagaimana Ghava akan merespon apa yang dia katakan. Apakah sebuah kemarahan, kekecewaan atau bahkan hal lainnya? Loulia benar-benar sudah tak perduli lagi. Sekali pun dia akan berakhir di tangan kedua orangtuanya yang mungkin kecewa jika saja Ghava membatalkan pernikahan mereka atau parahnya melaporkan pada orangtuanya apa yang baru saja dikatakan.
"Ayo berangkat sekarang. Orang-orang di butik mungkin sudah menunggu kita berdua," ucap Ghava dengan dirinya yang sudah kembali memegang kemudi.
Wajahnya begitu tenang. Bahkan, nada bicaranya pun terdengar begitu tenang seolah tak ada masalah sedikit pun. Padahal, apa yang Loulia katakan, pengakuannya, itu seharusnya cukup mampu untuk membuat seorang pria terlebih calon suami itu marah, kecewa, kesal, dan sebagainya. Tapi, yang dilakukan Ghava sekarang? Pria itu benar-benar terlihat tenang, seolah hal itu bukanlah masalah besar untuknya. Membuat Loulia tak habis pikir hingga mengerutkan keningnya.
"Kau serius, Ghav?" tanya Loulia masih dengan memperhatikan Ghava yang sudah melajukan mobilnya.
Tak ada jawaban, yang diberikan pertanyaan oleh Loulia hanya terdiam sembari mengangkat kedua bahunya. Nyatanya, Ghava terlihat benar-benar tenang meski hal itu membuat Loulia kesal. Bukan seperti itu respon yang dia bayangkan.
"Ghava, aku berbicara denganmu. Kau serius seperti ini? Kau masih ingin melanjutkan pernikahan ini? Meski aku sudah bukan lagi seorang gadis. Saat aku telah menghabiskan malam pertamaku bersama pria lain?"
Menoleh sejenak pada wanita di sampingnya, Ghava menarik kedua sudut bibirnya. Dia menyunggingkan senyuman tipis untuk merespon apa yang baru saja dikesalkan oleh Loulia.
"Apa masalahnya? Kau bahkan tak tahu apakah aku pernah menghabiskan malam bersama wanita lain atau tidak," ucap Ghava masih dengan senyuman tipis yang dia tunjukan. Sekali lagi, Ghava benar-benar terlihat tenang di tempatnya.
Loulia diam. Dia seperti baru saja dikalahkan hanya dengan kalimat yang Ghava lontarkan. Ghava benar soal itu, dia tak tahu apakah Ghava pernah tidur dengan wanita lain atau tidak, sedangkan Ghava sendiri juga memang sudah sedewasa itu. Ghava memiliki uang, wajah yang tampan, nyaris sempurna. Mustahil jika tak ada wanita yang bersedia membuka kedua kakinya untuk pria itu.
Tidak, bukan itu yang menjadi masalah. Hanya saja, semudah itu untuk Ghava menerima kenyataan jika Loulia telah tidur bersama pria lain?
"Apa yang membuatmu menyetujui pernikahan ini dan tetap mempertahankan semuanya meski aku sudah mengaku seperti itu? Aku tak habis pikir dengamu. Bukankah kau bisa mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku?" Pertanyaan lain kini terlontar dari mulut Loulia. Pertanyaan yang seolah tak ada habisnya.
Ghava terdiam sejenak, senyumannya memudar dengan perlahan. Meski matanya terlihat fokus menatap jalanan yang ada di hadapannya, tapi terlihat jelas dari raut wajah Ghava sekarang jika pria itu tengah tenggelam dalam pikiran yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.
"Orangtuaku. Apalagi kalau bukan itu," ucapnya kemudian.
Loulia diam, kepalanya dia alihkan ke sisi lain. Jawaban yang Ghava berikan terlalu jelas dan mudah dimengerti. Menjadikannya kehilangan pertanyaan lain yang sudah dia siapkan di dalam kepalanya. Jawaban Ghava sudah sangat cukup untuk menjelaskan semuanya. Karena, dia juga memiliki jawaban yang sama jika diberikan pertanyaan seperti itu.
Orangtua yang mengendalikan kehidupan anaknya. Rasanya kalimat itu cukup tepat untuk mereka berdua.
"Berhati-hatilah. Setelah kita menikah kau harus lebih berhati-hati lagi," ucap Ghava dengan lembut. Suaranya begitu rendah, dengan raut wajah yang terlihat semakin serius.
Loulia menolehkan kembali kepalanya pada Ghava. "Apa maksudmu?"
"Kau dan kekasihmu itu. Jangan sembarangan berpelukan di tempat umum seperti tadi. Aku tidak ingin jika orang-orang melihatnya dan membuatku terlihat seperti suami yang tak memiliki harga diri."
"Tunggu, aku masih tidak mengerti. Apa maksudnya?" Loulia membenarkan posisi duduknya. Tubuhnya sedikit dia miringkan demi bisa menghadap pada Ghava di sana.
Bukannya menjawab pertanyaan Loulia, Ghava terlebih dahulu terkekeh dengan pelan. "Kau ini bodoh, ya? Begitu saja tidak paham."
"Bagaimana aku bisa paham kalau tiba-tiba berucap seperti itu?" kesal Loulia dengan bibir yang menggerutu.
"Intinya, aku tidak akan melarangmu berhubungan dengan dia. Aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Kau bebas memiliki kekasih, selama kau bisa berhati-hati. Kita hanya akan terikat status pernikahan saja. Aku tidak akan memaksa untuk membuat kita benar-benar menjadi sepasang suami istri. Kita tahu jika alasan kita berdua menikah adalah orangtua kita," jelas Ghava.
Banyak hal yang ingin sekali Loulia luruskan di sana. Namun, yang dia lakukan sekarang hanyalah terdiam. Dia juga tak mau jika saja dia meluruskan jika Kale bukan kekasihnya, Ghava akan salah paham ke arah lain atau berpikir berbagai hal lainnya. Maka, Loulia lebih memilih untuk diam, tak lagi merespon apa pun terhadap apa yang Ghava jelaskan.
Pernikahan tanpa cinta. Pernikahan yang sangat tidak sempurna. Loulia tak pernah berpikir jika dirinya akan terjebak di dalam kehidupan yang seperti ini. Padahal, hidupnya bukanlah sebuah cerita romansa yang tersebar di internet. Lucu saat dia sekarang mengalami hal yang menggelikan seperti ini.
"Kau sendiri, memiliki kekasih?" tanya Loulia sembari menatap lurus ke depan. Berpura-pura jika dia tak perduli dengan Ghava di sampingnya.
Untuk yang ke sekian kalinya, Ghava menjawab pertanyaan Loulia dengan kekehan ringan. "Apa kau penasaran?"
Loulia lantas mendecak. Kepalanya dia sandarkan pada kursi dan memejamkan matanya di sana. "Tidak. Lupakan pertanyaanku."
Ghava sekali lagi terkekeh. Sebelum akhirnya kembali fokus dengan jalanan di depan sana. Menuruti Loulia untuk melupakan pertanyaan yang wanita itu lontarkan sebelumnya.
Meski sebenarnya, sejak pertanyaan itu diberikan, Ghava sama sekali tak berniat memberikan jawaban. Entah karena memang pertanyaan itu terlalu sulit untuk dijawab, atau memang Ghava yang enggan untuk memberitahu siapa pun jawaban atas pertanyaan itu termasuk pada Loulia.
Tetapi satu hal yang jelas di sini adalah, Ghava yang memang berusaha membatasi urusan pribadi mereka berdua masing-masing. Dia tak ingin mencampuri urusan Loulia dan juga sebaliknya. Pernikahan ini bukanlah pernikahan sempurna yang dipenuhi dengan segala hal yang berkaitan dengan kasih sayang. Pernikahan yang akan mereka lakukan nanti tak lebih dari sekadar formalitas demi membahagiakan kedua orangtua masing-masing.
Benar, setidaknya memang itu yang tengah Ghava tanamkan di dalam benaknya untuk saat ini. Sedikit pembahasan yang mereka berdua lakukan hari ini, anggap saja sebagai sedikit pendekatan agar mereka berdua lebih bisa membedakan urusan bersama dan urusan pribadi. Demi sebuah hubungan pernikahan yang akan terlihat sempurna di mata orang lain, meski pada kenyataannya itu adalah pernikahan yang jauh dari kata sempurna. Sebut saja, imperfect marriage.