Chapter 2 - Bab 2

Lan tidak pernah merasakan sakit seperti ini. Seakan lengan kanannya tengah dihujam benda tajam dan panas. Dia meringis mencoba menahan rasa sakit yang entah datangnya dari mana. Tangan kirinya meremas dengan kuat lengan kanannya, dimana tanda matahari dan api berada. Sementara wajahnya berubah pucat dan mata merah-jingga nya mulai menggelap. Lan memejamkan matanya dengan erat dan berharap rasa panas yang terus saja menusuk lengannya akan berkurang walau hanya sedikit.

Dia masih ingat, dia pernah terluka cukup parah ketika menolong Eric dari binatang buas di masa lalu.  Dengan luka cakaran di dadanya, dia bahkan harus istirahat selama dua minggu. Namun kemudian bekas luka itu menghilang dengan sendirinya. Tapi luka kali ini bahkan tidak ada bekasnya, namun rasa sakit yang dia rasakan sungguh tidak terbayangkan. Nafas Lan mulai berat ketika rasa sakit itu tidak berkurang sedikitpun. Keringat keluar hampir membasahi tubuhnya.

'Kamu akan pergi ke dunia atas?'

Lan membuka matanya dengan cepat ketika tanpa sengaja dia melihat bayangan seseorang yang tengah berdiri membelakangi dirinya dengan singkat. Pria itu tinggi sekitar 187cm dengan rambut panjang sepinggang berwarna kuning pucat. Sementara itu ada sayap di punggungnya berwarna putih bersih.

Lan semakin menekan lengan kanannya, tempat dimana tanda api dan matahari berada. Dia bertanya-tanya tentang apakah malaikat maut akhirnya menyerah dan ingin menjemputnya, hingga dia melihat kilasan yang tidak pernah terjadi di hidupnya.

'Langit telah mengutuk kita.'

Lan berteriak kesakitan ketika suara-suara dingin semakin jelas terdengar di telinganya. Dia tidak tahu suara siapa itu. Bahkan ingatan tertuanya beberapa ratus tahun lalu bukanlah seperti itu. Hanya ada langit biru yang dia lihat ketika pertama kali membuka mata. Lalu mata hitam Maria adalah yang ke dua.

'Kamu akan membayar semua dengan ingatanmu.'

Kini kepalanya serasa dihantam benda berat. Begitu keras hingga Lan merasa kepalanya akan pecah. Dia melepaskan cengkeraman di lengannya dan mulai meremas rambutnya. Air matanya hampir jatuh ketika dia mendongak dan menatap langit-langit kamar mandinya.

'Pilar kehidupan akan mati jika kamu pergi.'

Nafas Lan semakin tersengal ketika  suara lain ikut masuk ke pendengarannya. Dia bertanya-tanya bagaimana bisa suara-suara yang tidak dia kenal itu mencoba membawanya menyelami ingatan yang dia yakini bukanlah miliknya. Namun itu terasa sia-sia, ketika dia bahkan tidak mengingat apapun tentang suara-suara itu. Yang lebih aneh lagi, dia bahkan tidak tahu bagimana dia bisa mendapatkan lambang api dan matahari di lengan kanannya.

"Tuan."

Dusha terlihat khawatir. Dia segera berlari ke arah Lan yang mulai jatuh bersimpuh di lantai kamar mandi. Dia tidak mengerti tentang apa yang terjadi terhadap Lan. Di masalalu, Nori, kakeknya mengajaknya untuk melihat Lan yang sedang beristirahat. Memperlihatkan bagaimana cara untuk menjaga tubuh Lan agar tetap nyaman dengan tidur panjangnya. Mengajarkan bagaimana cara membuat Teh hijau kesukaaan Lan agar dia bisa menghidangkannya untuk Lan ketika sudah bangun nanti. Hari-hari bersama kakeknya di ruang bawah tanah, Dusha tidak melewatkan satu hal pun tentang tuannya.

Namun Nori tidak pernah berkata tentang apa yang terjadi kepada Lan hari ini. Kakeknya hanya mengatakan tentang apa saja yang harus dia lakukan ketika Lan bangun dari tidurnya panjangnya. Lan tidak pernah kesakitan seperti hari ini.

"Tuan? Apa ada yang salah?"

Dusha meraih tubuh Lan yang telah tersungkur di atas lantai dingin. Diantara rasa paniknya dia mengingat semua apapun yang dikatakan oleh Nori. Dia bertanya-tanya apa ada yang terlewati, namun seberapa dia berpikir keras, dia tidak menemukan jawaban.

Dusha meletakkan tangan kanan Lan di atas bahunya dan mencoba untuk berdiri. Dia bersyukur meskipun tubuh Lan lumayan besar namun tenaganya jauh lebih kuat daripada pria itu. Dengan langkah yang agak sempoyongan Dusha membawa tubuh Lan keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ranjang. Dan kemudian dia membaringkan tubuh yang pingsan itu di atas Ranjang.

Diantara rasa panik itu, tiba-tiba Dusha teringat sesuatu. Dia segera memejamkan mata dan mengucapkan sesuatu layaknya sebuah mantra. Tidak lama kemudian seseorang datang di hadapannya secara tiba-tiba.

"Maaf mengganggu waktu Anda," Ucap Dusha. Dia membungkuk sebentar seakan dia tengah menyambut orang itu.

"Berani-beraninya kamu memanggilku disaat aku sedang sibuk." Itu suara seorang pria yang terdengar agak dingin dan dipenuhi amarah.

Dusha tahu jika pria itu tidak suka jika seseorang membuatnya meninggalkan hal yang sedang dia kerjakan. Tapi dia bisa apa jika itu menyangkut tentang Lan?

"Ampuni kelancangan saya." Dusha menunduk dan tidak berani menatap mata merah di hadapannya, "Tuan Lan telah bangun," lanjutnya sembari mempersilahkan orang itu agar berjalan mendekati tubuh Lan yang tengah pingsan. Dia menceritakan segala hal yang dia lihat ketika Lan pertama kali membuka matanya setelah tidur panjang. Dia tidak melewatkan hal sekecil apapun tentang kejadian hari ini. Tidak terkecuali tentang bagaimana garis melingkar di lengan Lan kembali memudar.

Pria itu menatap lengan kanan Lan setelah sampai di samping ranjang. Dia menyentuh lengan Lan dan menariknya dengan pelan. Sekali lagi dia memperhatikan tanda di lengan itu dan melihat dua garis di sana tidak lagi setebal dulu seperti ketika pertama kali Lan mendapatkan tanda itu.

Pria itu terlihat memikirkan sesuatu hingga kedua alisnya seakan tertaut. Bencana akan segera datang. Dia harus mempercepat rencananya, jika tidak maka semua usahanya akan sia-sia.

"Perjanjian telah sampai pada batas." Pria itu melepas tangan Lan dengan kasar, dia agak marah melihat itu, "bagaimanapun juga aku harus mendapatkan 'Ingatan Raph' sebelum pria ini benar-benar kembali pada jati dirinya. "

Pria itu kembali terdiam. Dia telah mendapatkan pecahan jiwa Raphael 'Penyesalan' dan tinggal menunggu waktu untuk menangkap dua jiwa manusia yang lepas dari pohon kehidupan. Sementara pecahan yang lain 'Berkah' telah ada di dekatnya. Hanya butuh sedikit kesabaran untuk segera mengambil semua dan menyatukannya. Akan sangat merepotkan jika dia harus kembali ke tempat itu demi mengejar 'Ingatan Raph'. Bagaimanapun rencananya telah berjalan sempurna. Dia tidak mau semuanya hancur berantakan hanya karena satu kesalahan. Dia tidak mau jika pada akhirnya Lan lepas dari genggamannya dan kembali ke tanah asalnya. Pria itu benar-benar membenci tanah kehancuran. Terlebih jika harus melihat wajah orang itu.

"Awasi baik-baik dia," ucap Pria itu sebelum akhirnya menghilang dengan cepat.

Dusha menunduk sejenak sembari berkata, "Ya, Tuanku."

.

.

.

Ketika Lan terbangun, Dusha tidak ada di sampingnya. Pria itu pergi setelah memakaikan baju untuknya. Dia merintih dan mencoba untuk bangun. Dia dapat merasakan rasa berat di kepalanya masih belum berkurang. Dia menyamankan tubuhnya dan duduk di atas kasur. Mata merah-jingga-nya telah kembali terang seperti sebelumnya. Dia menyentuh kepalanya sekali lagi dan berharap bahwa rasa berat itu akan berkurang walau hanya sedikit.

Lan melihat sekeliling. Hari telah kembali gelap ketika dia melihat tidak ada cahaya yang masuk melalui tirai jendela yang tertutup. Lan bergerak ke samping ranjang dan menurunkan kedua kakinya. Dia meringis ketika merasakan lantai di bawah kakinya terasa dingin, lalu buru-buru mengangkat kakinya. Sekali lagi dia memperhatikan sekeliling untuk mencari alas kaki yang bisa dia pakai. Namun apa yang dia lakukan hanyalah sia-sia. Tidak ada apapun di kamarnya selain meja di samping ranjang dan lemari besar tidak jauh dari hadapannya.

Lan menarik nafas dan bersiap untuk turun dari kasurnya. Dia terdiam sejenak dan memastikan bahwa kedua kalinya memang telah kuat untuk berjalan sendirian. Bagaimana pun juga dia telah tertidur lebih dari biasanya. Perlahan, kaki panjang itu melangkah meninggalkan ranjang dan mencapai pintu kamarnya. Lan merasa lapar, namun dia tidak tahu bagaimana caranya memanggil pria yang dia lihat saat pertama kali bangun. Dia bahkan belum sempat menanyakan nama pria itu.

Dengan pelan Lan berjalan mencari dapur. Itu adalah rumah yang dibangun oleh generasi ketiga dari keturunan Eric. Dia telah menempatinya lebih dari 300 tahun. Tidak mungkin baginya lupa dimana tempat itu berada meskipun dia telah tertidur hampir 100 tahun. Kecuali jika seseorang telah membangun ulang rumah besar itu.

Lan berjalan pelan melewati setiap koridor di lantai satu. Dia berbelok ketika telah mencapai arah selatan. Dapur berada tidak jauh dari belokan selanjutnya.

Lan berhenti berjalan ketika telah sampai di depan pintu dapur. Dia menghela nafas pendek sebelum akhirnya menekan pintu di depannya agar terbuka. Dia berjalan ke dalam hanya untuk mendapati benda-benda asing di hadapannya. Dia nampak bingung ketika melihat dapurnya jauh berbeda dari terakhir kali dia tinggalkan. Banyak barang-barang baru yang tidak dia ketahui namanya. Dia bertanya-tanya dimana dia akan menemukan buah kesukaannya. Dia benar-benar membutuhkan berry saat ini juga. Dan juga pria semalam yang bersamanya.

Lan berjalan lebih ke dalam. Matanya memperhatikan benda kotak besar yang tidak jauh dari meja untuk memasak. Dia menggeleng, Berry tidak mungkin di simpan disana. Jadi, dia berjalan ke arah lain dimana meja penuh buah diletakkan. Dia tersenyum melihat itu.

Dia berhenti tepat di samping meja dan mulai mencari dimana Berry berada. Dia bertanya-tanya mengapa pria yang bersama dirinya semalaman bisa lupa menyiapkan makanan untuknya. Dia hanya membutuhkan Berry, bukankah itu hal yang sederhana?

Ada banyak buah di meja itu, namun Lan tidak melihat satupun berry. Lan kembali memilah buah-buahan itu. Dia meletakkan kembali apel yang dia angkat. Oh tidak ada Berry di bawahnya. Lan mendesah kecewa.

"Akhirnya pencuri tertangkap."

Lan menoleh ke belakang hanya untuk mendapati seseorang memukul wajahnya dengan tongkat. Tubuhnya yang belum pulih sepenuhnya langsung ambruk ke lantai. Rasanya, kali ini dia merasa benar-benar sial. Terlambat bangun, merasakan sakit yang menyiksa di lengannya. Tidak ada Nori dan tidak juga dengan Berry.

Apakah ini pertanda hidupnya kali ini akan sial? Lan hanya bisa membathin ketika kesadarannya semakin berkurang.