Winona tertegun mendapati pria berketurunan Tionghoa itu mendekatinya. Ia sampai menempatkan kedua tangan pada tempat tidur. Histeris, ia menggeretakkan gigi dan menggeleng.
"E-enggak! Enggak! Siapa kamu?!"
"Ini aku, Sayang. Setiawan, pacarmu."
"Enggak! Aku di mana!!"
Oh, seperti di sinetron, kan? Adegan seorang protagonis wanita, tersadar dengan amnesia, langsung histeris, over-dramatis. Katanya adegan seperti itu amat tidak realistis. Tapi … semenjak Winona dianggap sebagai Natasha, ini menjadi semakin menarik, setidaknya sedikit realistis.
"Tenang, Sayang." Setiawan menepuk bahu Winona, atau sekarang Natasha. "Kamu adalah Natasha Ahmad, putri dari Kusnadi Ahmad dan Sarasvati Ahmad. Kamu adalah seorang sosialita muda, usiamu 24 tahun, dan kamu adalah pewaris perusahaan Vinewa Group. Kamu adalah calon CEO perusahaan, Sayang!"
Sampai tanpa jeda napas sedikitpun, seperti kumur-kumur bicaranya.
Ya, aku Natasha Ahmad. Pasti tertebak kalau keluargaku kaya raya.
Winona tetap menggeleng dan bersikukuh. "Enggak! Enggak! Aku bukan Natasha Ahmad! Aku Winona." Panik, ledakan ingatannya langsung memicunya untuk melontarkan setiap kata terpendam. "Aku bukan orang yang kamu pikirkan! Aku cuma anak yang dijadiin pembantu sama keluargaku sendiri. Aku disuruh nikah sama orang mesum, terus aku kabur, terus—" Pause, ingatannya seperti terhenti, lupa apa yang terjadi, dan— "—aku berada di rumah sakit ini, terus kamu nganggap aku pacarmu."
Wow, aku kagum dengan kembaranku, baru sebentar sadar, dia langsung ingat. Sesuatu yang jarang ditemui di dunia nyata, menurutku.
"Cerita kamu bertele-tele begitu, sayang. Kamu bukan orang itu. Kamu Natasha, pacarku." Setiawan sama sekali tidak mau mengerti. Ia mengusap-usap punggung Winona. "Sudah, sudah."
Suara geberakan pintu pun memicu keduanya menoleh ke kiri. Kedua orangtua Natasha, lebih tepatnya orangtuaku, langsung berlari masuk menghampiri "putri"-nya yang panik dan terbaring di kasur.
"Natasha!!" sahut ibuku, Sarasvati Ahmad, wanita bergaun biru, berambut panjang diikat kucir ke belakang dan berbando motif sequin ungu dan pink. Tanpa ba-bi-bu, ia mengikat tubuh Winona. "Astaga! Kamu bikin Ibu khawatir, Nak!"
"A-aduh, aduh!" sahut Winona merasa tulang punggungnya tertekan lengan Sarasvati.
"Aduh, Bu. Hati-hati. Anak kita baru aja sadar," ujar Kusnadi, pria berambut plontos, beralis melengkung tipis, berkulit sawo matang, dan berkemeja hijau sampai menampakkan tubuh tegapnya.
Menatap kedua orangtuanya, maksudku orangtuaku, maaf, kepanikan Winona sedikit tertekan oleh kelegaan. Ia berpikir, mungkin mereka bisa menerima cerita sebenarnya.
Sisi positifnya, pelukan Sarasvati padanya terasa hangat, sangat hangat. Baru kali ini ia mendapat perlakuan seperti itu dari orang asing. Tidak seperti saat ia di rumah, Wilhelmina, si ibu tiri, selalu membentak dan menyiksanya bertubi-tubi, setiap hari.
Sebelum ia membuka mulut, ibuku mengusap rambut "anak"-nya itu sembari menyuruh Setiawan menekan tombol bel pemanggil dokter.
***
"Syukurlah kamu baik-baik saja, Natasha."
Seorang dokter berambut tipis, bukan plontos seperti ayahku, setidaknya ada sedikit jambul ke depan, berkepala mendekati oval, beralis tebal, dan tentunya belum afdol jika tidak dilengkapi dengan jas putih bersih, tanda pengenal nama, dan stetoskop.
Akhirnya, Winona kembali bercerita, berharap kali ini sang dokter dan Sarasvati, dan Kusnadi percaya, sangat percaya.
"Aku bukan Natasha Ahmad. Aku Winona." Intonasi dan kecepatannya hampir sama seperti saat ia bercerita pada Setiawan. "Aku bahkan enggak tahu siapa Natasha Ahmad. Aku kabur dari rumah karena ibu tiri dan saudari tiriku maksa aku nikah sama cowok mesum. Terus … tiba-tiba aja aku … ada di sini, dan semuanya yang ada di sini anggap aku Natasha Ahmad. Aku bukan Natasha Ahmad."
Ya, kali ini, Winona sampai meneteskan air mata. Mungkin karena ingat sering sekali tersiksa di rumah. Setiap rasa sakit secara fisik, setiap omelan dan jeritan terhadapnya, dan juga segala kerja paksa yang telah ia lakukan demi melayani kedua penghuni rumah itu.
Ia tidak ingin semua lebih repot lagi, terlebih, semua orang menganggap dirinya sebagai diriku. Aku mengerti, dia tidak mau semua orang sampai repot karena hal sepele ini, hal "salah identitas".
"Oh," ucap sang dokter, iba dengan ceritanya. Akan tetapi, bibirnya yang sudah menjalar ke bawah justru menjalar ke atas, menonjolkan giginya. "Kamu kayaknya keseringan nonton sinetron deh, sinetron yang tokoh utamanya gadis miskin tidak berdaya menghadapi ibu tiri dan saudari tirinya. Enggak heran, orangtuamu bilang kamu kabur dari rumah selama tiga hari, terus kamu ketabrak truk, dan—"
"Dokter!" jerit Sarasvati.
"Ah, maaf, maaf." Sang dokter mengangkat tangannya menahan tawa. "Habisnya ceritanya bertele-tele. Dari yang saya simpulkan untuk sementara, dia mengalami amnesia, tapi … saya tidak menyangka amnesianya sampai bikin cerita aneh seperti di sinetron."
Seperti di sinetron, kan? Benar.
"Baik, paling tidak pelan-pelan aja kenalin lagi kehidupannya yang dulu. Lama-kelamaan, ingatannya pasti kembali. Pelan-pelan aja."
Sarasvati mengangguk dan membuang napas lega. "Baik, Dok. Terima kasih banyak. Apa Natasha bisa pulang hari ini?"
"Paling cepat besok. Kita saja nanti. Kalau kondisinya membaik, dia bisa pulang dan perlahan mengenali kembali kehidupannya yang dulu. Selamat pagi."
Sang dokter pun akhirnya angkat kaki setelah hormat pada keluarga pemilik Vinewa Group.
Pasti kalian berpikir, dokter macam apa itu?
"Semuanya akan baik-baik saja, Sayang."
Oh iya, aku lupa. Setiawan, sebagai pacarku, berusaha menenangkan Winona. Ia memegang tangan kanannya yang sedikit halus dan mengusap-usapnya. Kelembutan punggung tanganku, maksudku punggung tangan saudari kembarku, menjadi penyembuh rindu antara kami.
"Kamu akan baik-baik saja, Sayang."
***
Sehari kemudian. Keluarga Ahmad membawa Winona keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah, rumahku. Bersama pacarku juga, Setiawan. Mau tahu mereka pulang naik apa? Mobil Lexus LX 570 Sport berwarna putih. Mobil keluargaku mewah, sangat mewah, dan juga ada sopir yang mengendarainya, jadi tidak perlu repot-repot. Ini adalah salah satu mobil sports milik keluargaku.
Mobil sports itu melewati gerbang yang terbuka menjadi dua secara otomatis. Rumah bercat putih berpilar enam dan memiliki dua lantai berada di depan mata. Jika melihat dari dekat, saat mobil berbelok untuk berhenti di sebelah kiri rumah, keindahan halaman depan rumah mulai dari jalan berporselen diiringi oleh semak dan rumput kecil menambah estetika pada mata.
Winona berdecak kagum dalam hati, memang enak menjadi orang kaya seperti Natasha Ahmad, memiliki rumah mewah seperti ini merupakan salah satunya, lalu memiliki banyak mobil sports yang terlihat di garasi sebelah kanan rumah, dan memiliki seorang sopir pribadi.
Sopir pribadi turut melayani, membukakan pintu bagi penumpangnya. Winona hanya tersenyum kagum saat keluar dari mobil, didampingi oeh kedua orangtua dan pacarku. Ia merasa seperti seorang putri raja. Memang seharusnya begitu, Winona, menikmati jadi orang kaya itu gampang kok.
"Ah, Mbak Natasha!" sambut seorang pembantu wanita berambut panjang agak wavy ke bawah dan bertubuh gemuk menghampiri setelah keluar dari pintu utama rumah itu. Dia adalah Bi Asri, pembantu keluargaku. "Alhamdulillah Mbak Natasha enggak apa-apa. Bi Asri teh khawatir pisan udah lima hari enggak bawa kabar. Enggak bawa hape lagi."
"Bi Asri, pelan dong," sambut Sarasvati, "kata dokter Natasha lagi hilang ingatan."
"Ah." Bi Asri cukup tertegun, sampai menepuk kedua bahu hingga tangan anak sang majikan. "Mbak Natasha, ingat Bibi, kan? Ini Bi Asri, yang sering bersihin kamar Mbak."
Winona hanya diam, berpura-pura tidak ingat. Tunggu, dia memang tidak tahu Bi Asri, jadi secara teknis, mereka berdua tidak pernah ketemu dong.
"Udah, mending kita masuk aja," ucap Kusnadi, "udah bikinin makanan kesukaan Natasha, Bi?"
"Udah, Mas." Bi Asri mengangguk hormat mendampingi keluarga itu. "Eh, ada Mas Setiawan juga. Ayo pada masuk."
***
Meja makan persegi panjang terbuat dari kaca warna hitam semakin memicu kekaguman Winona melonjak. Ia sudah duduk di salah satu kursi busa putih berpunggung biru. Lampu kristal putih berbentuk seperti kue pernikahan terbalik juga memancarkan keotentikan ruang makan bagi masyarakat kelas atas.
Bi Asri sudah menaruh hidangan di hadapan masing-masing penghuni meja makan. Sarasvati dan Kusnadi duduk di hadapan Winona mulai melahap hidangan tersebut, menerapkan table manner untuk kalangan orang kaya.
"Sumpah, Bi Asri. Kakap filet bumbu kuning buatan Bibi enak banget!" seru Setiawan yang duduk di sebelahnya.
Winona masih malu-malu meratapi sepiring nasi dan sepotong kakap filet bumbu kuning tersaji tepat di depannya. Sendok dan garpu masih belum tersentuh. Menatap makanan orang kaya seperti ini saja menyayat hatinya lebih dalam lagi, sudah lama ia tidak makan makanan layak. Selama ini, ia jarang makan sebagai budak ibu tiri dan anak tiri di rumahnya.
"Eh? Kok belum dimakan?" Sarasvati menegurnya halus. "Ini makanan kesukaan kamu lho."
Perlahan, ia menyentuh sendok menggunakan tangan kanan. Sendok yang terbuat dari porselen itu mulus ketika mencapai kulit jarinya. Ia perlahan mengambilnya bersama dengan garpu.
Pertama, ia mengamati cara makan seluruh penghuni meja makan. Tangan kanan memegang sendok dan tangan kiri memegang garpu, tanpa memicu bunyi sama sekali ketika mencapai makanan dan piring.
Ia mulai menyentuhkan garpu dan sendok pada kakap filet bumbu kuning terlebih dahulu, memotongnya perlahan. Teksturnya lembut dari luar ke dalam, bumbu kuning di atasnya juga menggugah selera.
Ia mengangkat sesendok potongan kakap mendekati mulutnya. Putih halus, matang merata. Ia memasukkan potongan ikan itu ke dalam mulutnya.
Ledakan bumbu kuning bersama lembutnya daging kakap langsung meledak di lidah menjadi lumeran rasa. Sampai tercengang, Winona sudah lama tidak merasakan makanan selezat ini. Ia sampai meneteskan air mata lho.
"Lho, kamu kenapa, Sayang?" tanya Setiawan.
Winona menggeleng. "A-aku … kangen masakan kayak gini."
"Nah gitu dong," puji Sarasvati, "di luar kamu enggak bakal ketemu sama makanan seenak buatan Bi Asri, Sayang."
Winona, kamu menikmati makanan kesukaanku. Makannya yang lahap ya. Oh, kamu makannya pelan, tapi menikmati banget.
Tak terasa, ia menghabiskan makanannya, sungguh nikmat merasakan bumbu kuning mewah beserta kakap matang lembut merata.
"Bi Asri," ibuku memanggil, "antar Natasha ke kamar ya. Dia butuh istirahat."
"Baik, Bu." Bi Asri mematuhi dan menghampiri Winona. "Mbak."
Winona bangkit dari kursinya, berbalik mengikuti Bi Asri menuju sebuah tangga spiral di dekat pintu keluar rumah. Tangga spiral, melihatnya saja sudah menambah kekaguman Winona.
"Pelan-pelan ya, Mbak," bujuk Bi Asri saat mereka berbelok dan mengambil langkah pertama menaiki tangga.
Winona menaiki tangga itu perlahan dan memegang gagang tangga di sebelah kirinya. Aku tahu, ini kali pertama ia menaiki tangga jenis spiral seperti ini. Perlahan, ia menapakkan kaki pada setiap anak tangga, berbelok mengikuti arah tangga, sambil melihat ke kanan, masih saja berdecak kagum terpana pada jendela hampir setembok di dekat tangga.
"Hati-hati, Sayang!" Ia dapat mendengar sahutan Setiawan. "Aku cinta kamu!"
Setelah melewati anak tangga terakhir, dinding berjajakan foto keluargaku menyambut di hadapannya, hiasan lampu kristal, dan nuansa keemasan, dari setiap sudutnya, memberi kesan mewah, sangat mewah. Ya, dia sudah sampai di lantai dua rumahku.
Bi Asri mengantarnya belok kiri menuju pintu kamarku dan membukakannya untuk Winona.
"Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi aja."
"I-iya."
"Bibi ambil hape Mbak dulu ya. Mbak masuk aja dulu."
Winona melewati pintu kamar itu. Begitu memasukinya, ia seakan menemukan sebuah dunia baru. Bukan dunia lain lho.
Berbeda dari kamarnya yang hanya memiliki matras tipis beserta meja untuk menyetrika, pemandangan kamar itu membuat otaknya mau meledak. Warna crème pada keseluruhan interior seperti menyatu pada setiap perabotan. Jendela bergorden abu terang di dekat ssebuah kursi empuk di depan mata, chandelier di langit-langit, karpet empuk di sekeliling kamar, di sebelah kiri ada sofa, meja, dan bantalan sofa yang berwarna senada. Lalu tempat tidur empuk di sisi kanan lengkap dengan headband, tiga buah bantal, dan selimut. Di dekat tempat tidur, ada pula laci berlampu meja dan di sebelah kirinya, kiri tempat tidur, ada lemari pakaian besar.
Winona sampai memutar tubuhnya seperti menari balet hanya untuk menatapi kamarku, seluruh suasana kamarku. Kegembiraan membuat wajahnya berseri-seri sampai ia merobohkan tubuhnya ke tempat tidurku.
Empuk, jauh lebih empuk daripada tempat tidurnya berupa matras tipis. Ia membayangkan kamarku seperti sebuah kamar hotel, sebuah hotel bintang lima kali ya?
Tidak ingin berlama-lama terlena dengan empuknya tempat tidur, ia bangkit dan membuka lemari pakaian di kirinya. Lihatlah berbagai koleksi pakaianku! Koleksi gaun mewah berderet dan telah bergelantungan di gantung baju alias hanger. Ia menyentuh satu per satu gaun itu, warna-warni, lembut dan halus, dan mewah. Beberapa dari gaun itu adalah jenis haute couture, seperti berbulu, berat, dan tebal.
Saat ia mencapai bagian bawah dari sebuah gaun haute couture merah blaze, gaun favoritku tentunya, tangannya menyentuh sebuah permukaan lurus dan halus, ia tahu bukan permukaan kayu lemari pakaian itu.
Ia menarik sudut permukaan itu dan mengambil sebuah kotak berbungkus busa warna biru. Tidak heran permukaan itu lebih empuk daripada permukaan kayu.
Begitu menatapnya selama setidaknya setengah menit, ia mengangkat tutup dari kotak itu ke atas, mengungkapkan sebuah buku diary, diary-ku, bersampul kulit warna ungu dan bergaris spiderweb putih.
Ia menghela napas, mungkin dia akan tahu sebuah petunjuk tentang diriku. Ia membuka risleting di sisi buku itu dan membukanya dari halaman pertama.
Halaman pertama, ia menemukan sobekan halaman diary yang telah terlipa menjadi dua. Ia membuka lipatan itu dan memperhatikan bahwa itu adlaah tulisan tanganku.
Winona,
Jika kamu membuka diary-ku dan menemukan surat ini, kamu sudah berada di rumahku dengan selamat. Maafkan aku jika tiba-tiba saja orangtuaku menganggap dirimu adalah aku, tapi kamu harus tetap berpura-pura menjadi diriku, Natasha Ahmad, saudari kembarmu, seorang sosialita, anak dari pendiri Vinewa Group, pewaris dan future CEO perusahaan itu, dan juga pacar Setiawan Lhong, CEO dari Vinewa Pay Digital, anak perusahaan Vinewa Group.
Aku tidak perlu memberitahu darimana aku tahu kalau kamu adalah saudari kembarku. Semuanya tertulis di surat di kertas kuning yang sudah dilipat beberapa kali, di halaman terakhir. Begitu kamu membuka dan membacanya, kamu akan tahu kehidupan kita adalah sebuah kebohongan.
Saudari kembarmu,
Natasha Ahmad
"Na-Natasha Ahmad … anak dari pendiri Vinewa Group … adalah saudari kembarku?"
Matanya kembali berkaca-kaca, sebuah euforia beserta penyangkalan pada saat bersamaan masuk ke dalam benaknya, saling berbentrokan. Saudari kembarku ini amat gembira ia telah mengetahui diriku adalah saudarinya.
Tubuhnya sedikit gemetar, akibat dua perasaan berbentrokan di hatinya. Kepalanya seperti tersayat kilat, jantungnya juga berdegup lebih cepat, seluruh telapak tangannya mulai berkeringat. Reaksi setelah membaca surat dariku memicu dirinya penuh kesegaran kembali. Natasha Ahmad yang kaya raya adalah saudari kembarnya.
Tapi … begitu mencapai kalimat terakhir surat itu, kehidupan kita adalah sebuah kebohongan, euforia yang masuk ke dalam otaknya berhenti mengalir. Kini penyangkalan lebih cepat mencapai nadinya.
"A-apa maksudnya ini? E-e-enggak!"
Winona cepat-cepat memutarbalikkan halaman sampai halaman terakhir dan mengambil sebuah kertas berwarna kuning sesuai perintahku, sudah terlipat menjadi bentuk bujursangkar kurang lebih lima kali lima centimeter. Ia buru-buru membuka lipatan itu dan mengubah bentuk kertas itu menjadi selembar kertas setara buku tulis.
Lagi-lagi ia berfokus pada setiap kata, kalimat, dan frasa dari surat itu.
Natasha sayang,
Semoga kamu baik-baik saja, sehat sentosa. Tapi, maafkan saya, aku harus memberitahumu bahwa kehidupanmu adalah sebuah kepalsuan.
Keluarga Ahmad, keluarga yang membesarkanmu selama ini, pemilik Vinewa Group, adalah orang-orang jahat. Mereka adalah PEMBUNUH.
"A-apa?" Winona sampai tidak percaya, menutup mulutnya. Lebih afdol lagi kalau kamera zoom in ke dia dan ditambah suara jeng jeng jeng.
Maaf ya, Winona. Kasihan sekali kamu. Sepertinya kehidupan bahagiamu cepat sekali berakhir.