[Selesaikan cerita Record of Fatamorgana tanpa terbunuhnya Allya Var Azgares]
Aku menatap kosong kalimat itu, dan mengingat sosok villain di cerita novel Record Of Fatamorgana.
Allya 'Leviathan Queen'
"Lifa?? Kau bercandakan?" aku bertanya, menganggap bahwa misi ini hanya lelucon belaka.
Sepertinya tidak, mengingat Lifa tidak menjawab pertanyaanku. Aku mencoba duduk diam dan memikirkan langkah berikutnya.
Lucas. itu nama tubuh ini. Aku tidak tahu jika tubuh ini punya identitas sebagai warga desa ini, Atau aku tiba tiba 'muncul' digubuk setelah kejadian kebaran di desa DuskWallow.
Karena tidak ada suara 'Ding!' dan tulisan Lifa lagi didepan mataku. Aku mencoba berdiri.
"Oke sepertinya aku bisa berjalan. Meskipun agak sakit karena luka bakar ini..." aku berdiri dan berjalan sambil agak menyeret langkah kakiku.
Saat aku keluar dari gubuk itu, aku bisa menengok lebih banyak rumah yang kondisinya sama dengan rumah yang aku lihat tadi.
Semua terbakar dan hanya ada sisa reruntuhan.
Lusinan mayat warga juga ada di bawah reruntuhan. Sebagian besar tersisa tulang yang matang dan daging yang sudah meleleh.
Dan setelah kucoba untuk melihat dengan skill observasi, Kebanyakan warga desa yang meninggal terkena serangan senjata tajam. Buka karena api.
"Bandit ?.. Tapi jika bandit pasti akan lebih sedikit mayat lagi..." Mengingat bandit di novel juga menangkap warga desa untuk dijual sebagai budak.
"Apakah ini ulah monster...." aku bergumam sambil melihat ke arah bukit dan hutan yang ada di belakang desa.
"Bukan... kalau monster pasti tidak ada mayat...." mengingat monster suka dengan daging manusia.
Dan posisi mayat penduduk desa aneh. Kemungkinan besar pelaku pembantaian desa ini ingin menyembunyikan aktivitas mereka. Mengumpulkan mayat penduduk desa dan membakar di rumah penduduk desa masing masing.
Setelah aku melihat bukit. aku mencoba keluar dari desa ini. Kurangnya informasi membuatku ingin segera keluar dari desa. Dan Lifa juga tidak memberiku petunjuk..
"Disini berbahaya.." aku menengok ke arah keluar desa. hutan. bukit. Dan pohon.
Aku memejamkan mataku dan menelan ludah, menyiapkan dan membulatkan tekadku.
"Pertama air... aku butuh air." Untuk membersihkan luka dan tentu saja untuk minum. Di area desa tentu saja tidak ada yang tersisa.
"Aku juga tidak ingin aku terkena infeksi karena luka bakar ini.. haha" aku melihat luka bakar di kaki dan tanganku.
Aku lanjut berjalan pelan. Melihat beberapa lagi rumah dan mayat yang kondisinya sama. Setelah di rumah pojok aku berbelok kemudian aku melihat dikejauhan, sekitar 50 meter, ada dua batang setengah pilar yang kemungkinan sisa dari gerbang desa. Lengkap dengan pagar kayu kecil yang sudah roboh.
"Oke.. sepertinya itu jalan keluar desa... dan melihat jalurnya kebawah semoga aku bisa menemukan sungai atau sumber air...." bisikku.
Aku berjalan setapak dengan setapak. Sambil mengaktifkan observasi ke pilar untuk memastikan jika itu memang gerbang desa. Saat sudah kelihatan agak dekat, suara yang familiar muncul kembali.
[Ding!]
[Gerbang desa DuskWillow]
"Hmm jaraknya tidak boleh lebih dari 20 meter ?" pikirku sambil membayangkan jauhnya gerbang desa dengan diriku. Aku melihat kedekat gerbang desa ada sisa sisa keranjang berserakan.
Berjalan lebih dekat lagi aku menoleh ke arah sisa pagar. Ada batang kayu dengan ujung tajam. Yang untungnya tidak terbakar.
Aku mengambilnya, panjangnya sekitar dua meter. 60 cm lebih tinggi daripada badanku.
"Oke sepertinya aku bisa membawanya." aku mengambil dan mencoba mengangkatnya dengan satu tangan.
"Tidak terlalu berat dan aku bisa membawanya sebagai tongkat... dan senjata." Aku berjalan dan menumpu langkahku dengan tongkat ini. "Jadi ingat waktu pramuka dulu....haha"
Aku berlanjut melangkah keluar desa, berhati-hati dan melewati jalan setapak yang agak menurun.
Disebelah kiri dan kanan hanya ada semak semak dan pohon. "Sepertinya desa Duskwallow mengandalkan perburuan untuk sumber penghasilan para warganya..." Aku memikirkan itu sambil berharap tidak ada macan atau hewan buas yang bisa membunuhku. Dan monster! aku sedang berada di dunia fantasi...
Aku terus dan terus berjalan.....
Aku terus berjalan sampai tiba-tiba ada bunyi sayu terdengar suara gemercik air.
"Akhirnya..." aku bernapas lega. Aku melanjutkan menuju suara itu sambil berhati hati. Tanah dan rumput perlahan-lahan berubah menjadi batu-batu kecil. Setelah lima menit berjalan. Aku bisa mendengar suara air dengan jelas.
"Oke dibalik pohon-pohon bambu ini..." aku mengitari pohon bambu dan melihat sungai, dan tidak jauh di hulu ada air terjun kecil. Aku menginjak sedikit tanah lembut mirip lumpur, menandakan jika ini sudah termasuk area sungai.
"Syukurlah bukan sungai yang deras.." sungai yang kulihat dipenuhi dengan batu kecil dan beberapa batu gunung besar. Jernih dan tidak begitu dalam.
Aku mendekati sungai. Dan kemudian melepaskan pakaian karung goniku. "Mengingat matahari masih terlihat tidak tinggi seperti ini..." semoga masih pagi.
Aku mengambil air dengan tanganku. Dan minum sedikit demi sedikit.
Aku kemudian melihat ke arah air. Melihat muka Lucas-diriku.
Yang kulihat bukan wajahku yang asli.
Mataku berubah menjadi orange kekuning-kuningan dan rambutku yang pendek menjadi warna hitam dengan ujung rambut berwarna merah. Wajahku termasuk tampan untuk ukuran anak tujuh tahun. Pasti bisa menjadi aktor cilik kalau aku memang punya wajah seperti ini.
Aku merenung, Jika peri Faye La Morgana yang membuat tubuhku, apa aku mirip dengan protagonis ? Karena di cerita ditulis bahwa protagonis itu tampan dan berani. -ehem disukai oleh Morgana. Bukan suka secara romantis. Tapi diceritakan Morgana suka dengan bentuk(?) wajahnya. Entahlah aku tak tahu selera para peri. Lagipula di novel tidak ada illustrasi karakternya....
Well Protagonist Privilege.
Aku mengedipkan mataku, kembali fokus ke iris yang kupunya. "Aku benar benar di dunia fantasi.... warna mata ini...." tatapku di pantulan air. Melihat warna iris orange yang seperti Amber.
Aku membasuh muka. Lanjut dengan mencuci sisa abu yang ada di pakaianku. Dengan seksama juga membersihkan kotoran di luka bakarku.
Setelah selesai, kujemur pakaianku di batu besar yang terpapar cahaya matahari.
"Oke semoga cepat kering... sambil menunggu itu." Ayo kita cari makan!
.
.
.
.
"Sial..." sambil aku memakai pakaianku yang sudah kering.
Ditanganku ada tongkat yang ujungnya basah dan dipenuhi lumpur.
"Disini tidak ada IKAN ! lebih tepatnya ada ! Tapi terlalu cepat untuk ditangkap!" sebalku.
Kalian tau ? jika dicerita transmigrasi ada tokoh utama yang tiba tiba bisa bertarung atau berburu dihutan ? Tiba tiba jenius dan memiliki reflek yang setara dengan superman ? SAYANGNYA TIDAK DENGANKU !
Oke tenang diriku... tenang.
"Ugh aku terlalu gampang emosi tiba tiba" Apa ini efek tubuh anak kecil ? Ugh. Jadi kecil lagi cukup menyebalkan.
Aku mengerutkan dahiku dan memijat keningku sambil mengumpat. Memutuskan jika aku memang tidak bisa menangkap ikan.
Aku menoleh ke arah bawah batu besar didepanku, ada lumut dan sambil mengamati sesuatu yang bersembunyi di balik bayangan.
Aku bisa makan itu...Ada segerombolan siput dengan cangkang coklat. Ukurannya sebesar kepalan tanganku. Lebih besar dari yang ada di bumi.
Bekicot.
"Ukurannya ada 3 yang besar. Dan warnanya sama dengan yang ada di bumi." Apa ini hukuman karena aku pernah makan sate bekicot ?
Aku mengambil tiga siput dengan ukuran terbesar, meninggalkan lusinan siput yang kecil. "Sayangnya tidak ada kepiting kecil.. kepiting sungai.. hmm"
Aku siapkan ranting dan beberapa batu. Aku menatanya sedemekian rupa menjadi kompor kecil. Menyalakan api dengan gesekan memutar kebawah di atas serbuk kayu dan meletakkan batang yang agak besar di atasnya.
Aku kembali ke sungai sambil membawa bekicot. Kukeluarkan hewan tersebut dari cangkangnya dan sebisa mungkin kubersihkan.
Setelah selesai aku kembali pinggir sungai dan mencoba memanggangnya. Aku menunggu sampai matang, dan memakan siput ini.
"Oke..." aku menggigit kecil, dan mencoba menelan Bekicot Barberque..."Ugh hambar.... dan aneh.." ada butiran pasir yang ikut termakan. Tapi masih bisa dicerna. Sepertinya..
Setelah memakan tiga siput itu, perutku lumayan terisi. Aku memikirkan apa langkah selanjutnya. Mencoba keluar dari hutan atau mencoba menyusuri sunga ini. Sampai-
"Hei nak!" teriak seseorang dibelakangku.
Aku menoleh dan melihat laki laki muda keluar dari balik pohon bambu. Rambutnya pendek, namun dengan poni yang agak panjang dan berwarna hitam pekat. Dia memakai armor penuh, seperti armor knight tanpa helm. Di belakangnya ada hewan aneh dengan desain dan tipe armor yang sama, lengkap dengan pelana menempel di punggung.
Di pinggang laki laki itu kulihat pedang.
"Senjata!" lihatku dan dengan sigap menyodorkan tongkatku. Aku tahu jika tongkat ini tak bisa melindungiku, tapi aku bersiap untuk apapun.
Di dalam hati aku mengaktifkan skillku.
'Observation'
[Ding!]
[
Nama : Mathias Van Valier
Tittle : Knight . Member of the "Order of Black Sun"
Race : Human
Age : 20
Rank : 3rd Tier [EMOTION TIER UNLOCKED : EMOTION ORDER]
Skill : Fire Magis [B], Royal Swordmanship[A+], Riding[B],..etc
Note : Salah satu knight dari order of black sun. Sedang mejalankan misi dari Head Knight.
]