Mobil Reno berhenti tepat di halaman luas rumah Steven dan Andini. Risna memandang rumah yang berdiri megah di depannya. Risna sudah bisa membayangkan sambutan seperti apa yang akan diterimanya. Ia masih ingat saat pertama datang ke rumah itu, hanya Risma yang mendapat pelukan hangat dari Steven dan Andini.
"Ayo turun!" Ajak Reno saat dilihatnya Risna hanya terpaku memandang rumah kakeknya.
"Ris, kamu kenapa?" Tanya Anggita lembut. "Kamu takut pada opa Steven?"
Risna memandang Reno dan Anggita bergantian lalu mengangguk pelan.
"Nggak usah takut. Ada mommy dan Reno disini yang akan melindungi kamu."
"Kok Reno?" Tanya Reno tak suka. Ia sudah hendak mengeluarkan argumennya namun ia batalkan saat dilihatnya tatapan tajam Anggita.
"Kalau bukan kamu yang melindungi istrimu, lalu siapa? Tugas suami adalah menjaga, mengayomi dan menyayangi istri. Jangan hanya taunya menuntut jatah saja," ucap Anggita. "Ris, cuekin aja kalau opa Steven ketus sama kamu."
Tak lama ketiganya sudah berada di dalam rumah Steven yang luas.
"Ya ampun Gita, kamu mau kesini kok nggak bilang-bilang. Kalau tante tau kamu dan Reno akan kesini, pasti tante masak yang istimewa untuk kalian," sambut Andini sambil memeluk Anggita.
Apa yang Risna bayangkan terjadi, Andini memeluk Anggita dan Reno, namun tak mempedulikan dirinya. Namun Risna menekan perasaan sedihnya. Ia tetap mencium punggung tangan Andini dengan takzim.
"Mom, oma, Risna ke kamar dulu untuk ambil barang-barang."
"Ren, sana kamu bantuin istrimu," perintah Anggita. "Mommy masih mau ngobrol sama tante Andini."
Dengan ogah-ogahan Reno mengikuti langkah Risna menuju kamarnya. Di dalam kamar dilihatnya Risna sudah mengeluarkan koper yang tidak terlalu besar dan mulai memilah baju yang akan dibawa. Reno melihat-lihat seisi kamar berwarna putih itu. Tak ada yang istimewa dengan kamar tersebut.
"Mas, kamu istirahat saja dulu sambil menunggu aku membereskan barang-barangku. Nggak banyak kok barang yang akan kubawa."
"Kenapa cuma sedikit?
"Soalnya kamarku disana kan lebih kecil dari kamar ini. Aku nggak mau kamar itu menjadi semakin sempit dengan barang-barangku. Kebetulan barang-barangku memang nggak terlalu banyak."
"Hmm.. biasanya wanita memiliki banyak tas dan sepatu. Tapi kulihat kamu nggak seperti itu," ucap Reno sambil mengamati barang-barang Risna.
"Karena aku hidup jauh dari kedua orang tuaku, aku menjadi terbiasa menahan keinginanku memiliki barang-barang seperti yang mas sebutkan tadi. Aku memiliki barang karena kegunaannya, bukan karena keinginanku."
"Tapi opa Steven orang kaya. Ia pasti mampu memenuhi keinginan cucu-cucunya." Risna hanya tersenyum tipis mendengar ucapan suaminya. "Apakah tebakanku salah?"
"Nggak salah. Opa memang mampu memenuhi kebutuhan cucu-cucunya. Hanya saja aku cukup tahu diri untuk tidak banyak meminta ini itu pada oma dan opa," jawab Risna sambil mengambil frame foto dari atas meja tulisnya.
"Apakah kamu bahagia hidup bersama mereka? Sejak pertama melihatmu, sepertinya kamu tidak pernah sedih. Padahal kalau benar apa yang mommy katakan bahwa mereka tidak menyayangimu, seharusnya kamu merasa sedih."
"Apakah menurut mas Reno aku selalu terlihat bahagia?" Reno mengangguk. "Syukurlah kalau menurut mas Reno aku selalu terlihat bahagia."
"Bahkan aku tak pernah melihatmu bersedih saat aku menghabiskan waktu bersama Sandra. Apakah perasaanmu telah mati?" Tanya Reno sambil merebahkan tubuhnya di ranjang milik Risna. Hidung Reno mencium wangi Risna yang tertinggal di ranjang itu. Ah, sepertinya selera anak kembar sama. Wanginya sama dengan Risma, gadis yang pernah kucium.
"Aku punya perasaan mas, karena aku manusia biasa yang masih punya hati. Hanya saja granny selalu mengajarkanku untuk tidak memperlihatkan kesedihanku kepada orang lain, terutama pada orang-orang yang kusayangi. Hal itu kulakukan agar mereka tak bersedih ataupun merasa bersalah. Sementara mengenai mas Reno dan Sandra, sejak awal mas Reno sudah jelas-jelas mengatakan bahwa mas hanya cinta dia. Jadi aku tak berhak sedih saat mas Reno menghabiskan waktu dengan dia," jawab Risna sambil meneruskan memasukkan barang-barangnya ke dalam koper.
Reno memandangi istrinya tanpa banyak bicara. Apakah ia benar-benar tak sedih? Apakah ia sama sekali tak cemburu?Aah peduli setan dengan perasaannya, dengus Reno kesal.
Tak sampai setengah jam Risna sudah selesai memasukkan barang-barangnya ke dalam koper berukuran sedang. Lalu ia menuju meja tulisnya dan mengambil pasport dan beberapa dokumen serta setumpuk amplop dari dalam laci.
"Apa itu?" Tanya Reno ingin tahu.
"Dokumen dan surat-surat dari mama dan Risma."
"Ooh."
"Ayo mas. Aku sudah selesai," ucap Risna yang sudah siap dengan kopernya.
"Hanya itu barang-barangmu?" Tanya Reno heran.
"Iya mas. Bukankah tadi sudah kukatakan kalau aku tidak mau membawa barang terlalu banyak. Lagipula memang hanya ini barang-barang yang kubawa dari Sidney. Sebagian lagi kutinggal di apartemenku disana."
"Apartemen?" Tanya Reno penasaran. "Kamu punya apartemen?"
"Iya mas. Hanya itu satu-satunya hartaku. Hadiah dari grandpa saat aku masuk kuliah." Satu-satunya properti atas namaku, batin Risna.
"Kamu punya apartemen sendiri, hidup jauh dari keluarga, bagaimana caramu tetap virgin?" Muka Risna memerah saat mendengar pertanyaan itu. Ia masih ingat bagaimana Reno menembus benteng pertahanannya.
"Walau mama papa jauh, mereka selalu mengingatkanku kalau ada Tuhan yang akan selalu mengawasiku. Demikian juga granny dan grandpa. Mungkin aku tidak sefanatik orang-orang di negeri ini, tapi aku selalu ingat kalau zina adalah dosa besar."
"Apakah kamu pernah punya pacar?" Risna menggeleng. "Kenapa nggak pernah pacaran?"
"Nggak kepengen aja. Mau fokus dengan kuliah dulu supaya bisa segera membantu granny dan kedua orang tuaku," jawab Risna sambil duduk membelakangi Reno. "Namun sayang sebelum aku sukses mereka sudah pergi meninggalkanku."
"Hmm.. berarti aku pria beruntung ya."
"Maksudnya?"
"Karena aku pria pertama bagimu dan pria yang berhasil mengambil kesucianmu," jawab Reno lugas sambil mengulas senyum tipis. "Pria yang berhasil menjadikanmu wanita."
Risna terdiam. Ia masih malu mengingat saat ini ia sudah tak perawan lagi. "Mas, ayo keluar. Nggak enak lama-lama di kamar. Mereka pasti sudah menunggu kita."
"Kenapa? Wajar kan pengantin baru berlama-lama di kamar."
Lagi-lagi ucapan Reno berhasil membuat wajah Risna memerah. Reno tersenyum tipis melihat wajah Risna memerah. Hmm ternyata dia benar-benar masih polos.
"Bukannya mas Reno punya janji dengan Sandra?" tanya Risna asal. "Apakah dia nggak akan marah kalau mas Reno tidak menemui dia?"
"Terserah aku kapan mau menemui dia. Sepertinya kamu nggak betah dekat-dekat denganku."
"Aku khawatir Sandra marah dan mengira aku yang menahanmu agar tidak menemui dia. Lagipula aku sudah janji pada mommy untuk ikut ke kantornya."
"Mau ngapain kamu ke kantor mommy?" tanya Reno sambil memainkan boneka beruang yang ada di atas ranjang. "Ini milikmu?"
"Mas lupa kalau mas mengijinkanku bekerja di kantor mommy?" Risna balik bertanya. "Iya itu milikku. Pemberian mama waktu aku ulang tahun ke 8. Tolong bawakan ya mas."
"Aku tidak lupa. Hanya saja apakah perlu kamu buru-buru bekerja sementara kita baru saja menikah?"
"Bukankah mas Reno juga buru-buru pergi 'ke kantor' setelah kita menikah?" Risna sengaja menekankan kata-kata ke kantor. "Itu yang aku katakan kepada keluarga mas Reno saat mereka menanyakan kenapa mas Reno sering pergi sendirian padahal baru saja menikah. Jadi daripada aku terus menerus membohongi keluargamu, lebih baik aku ikut menyibukkan diriku. Demikian juga dengan mas Reno, bisa menyibukkan diri dengan pekerjaanmu."
"Jadi kamu mau membalas perbuatanku?"
"Bukan membalas mas, tapi menghindari kebohongan yang terus menerus. Lagipula dengan segera bekerja di perusahaan mommy membuatku lebih nyaman dan bisa memiliki penghasilan sendiri. Sehingga bila tiba waktunya kita berpisah, aku sudah memiliki tabungan, Selain itu aku tak mau membebani mas Reno."
Reno mendengus kasar mendengar ucapan Risna. Rupanya gadis ini bertekad untuk mandiri dan segera lepas dariku. Baiklah bila memang itu maunya akan kuturuti. Dengan demikian aku bisa segera menikah dengan Sandra, batin Reno.
"Ayolah kita segera meninggalkan rumah ini. Benar ucapanmu, aku harus segera bertemu kekasih hatiku," ucap Reno dingin sambil membawa boneka beruang milik Risna.
Apakah dia tersinggung dengan ucapanku? Aku kan mengatakan hal yang akan terjadi nanti. Toh dia juga yang berencana menikahi kekasihnya, batin Risna.
⭐⭐⭐⭐⭐