"Apakah kau bersedia untuk menepi sebentar, wahai Kapten Antz?" tanya Rendevis ketika dirinya bertemu dengan serombongan semut merah yang tengah melintas di jalan yang sama dengannya.
"Selamat Siang, Jenderal Rendevis. Dengan senang hati, Jenderal." Panglima Semut Merah segera memberi aba-aba pada pasukannya untuk menepi, memberi jalan pasukan yang dipimpin Rendevis untuk melewati jalan setapak itu.
Rendevis mengangkat tangan kanannya ke atas, memberi aba-aba agar pasukannya kembali berjalan meneruskan perjalanan mereka. Rendevis sendiri berdiri berdampingan dengan Panglima Semut Merah.
"Hendak pergi kemanakah Jenderal kali ini?" Panglima Semut Merah, Kapten Antz menatap Rendevis dengan tatapan penuh kekaguman. Jenderal besar yang terkenal dengan kepiawaiannya memainkan pedang, busur panah, dan semua alat perang lainnya. Keahliannya menunggang kuda pun di atas rata-rata. Pria itu mampu menundukkan seekor kuda liar hanya dengan satu sentuhan.
Rendevis menatap balik Kapten Antz. "Bukan untuk berperang, hanya patroli rutin."
"Patroli rutin? Mengapa membawa pasukan sebanyak ini?" gumam Kapten Antz.
"Ngomong-ngomong, Jenderalmu kemana? Mengapa beberapa hari ini aku tidak pernah melihatnya?" Rendevis mengedarkan matanya mencari sosok yang ia sebut barusan.
Kapten Antz menundukkan kepala sejenak. "Beliau sedang sakit. Mungkin akan ada pergantian pimpinan, mengingat usia beliau sudah tidak layak lagi untuk memanggul tanggung jawab sebesar ini."
Rendevis mengangguk-anggukkan kepala, memahami situasi yang sedang berlangsung di kerajaan semut saat ini. "Baiklah. Aku harus meneruskan perjalananku. Sampaikan salamku pada Jenderal Antez."
Kapten Antz mengubah posisinya menjadi sikap sempurna dan memberikan penghormatan pada Rendevis sebelum pria itu beranjak pergi dari hadapannya.
"Aku percaya, suatu saat kita akan berada dalam medan peretempuran yang sama, Jenderal," ucap Kapten Antz sebelum pria kharismatik itu memutar tubuhnya.
Rendevis tersenyum. "Berharaplah kedamaian akan selalu menyertai kita. Jika keadaan memburuk, maka harapanmu akan menjadi kenyataan." Pria itu lalu melanjutkan perjalanannya, mengawal pasukannya dari belakang sebelum akhirnya berdiri di barisan terdepan.
Ketika perjalanan mereka sudah mencapai jarak lima kilometer, Rendevis mendadak menghentikan langkahnya tepat di sebuah pohon yang tampak seperti pohon Oak besar. Ia memicingkan matanya, seolah ada yang sedang berjalan ke arahnya dari kejauhan.
Komandan pasukan, Fardemis berjalan mendekat ke arah Rendevis. "Jenderal, haruskah saya mengistirahatkan para prajurit?" tanyanya ketika langkahnya berhenti tepat di samping pimpinannya itu.
Rendevis menganggukkan kepalanya, menyetujui usulan anak buahnya. Pria itu lantas melangkah, mendekati pohon oak yang sudah berusia dua setengah abad itu. Ia tampak berbincang dengan seseorang yang tak terlihat.
"Apakabar, Oubtree?" Pria itu tampak tersenyum, tangannya terangkat menjabat tangan seorang pria berambut pendek dengan kumis lebat menutupi dagunya.
"Kabar baik, Rendevis."
"Kabar baik?" Rendevis memundurkan kepalanya sedikit ke belakang, ia meragukan ucapan sahabatnya itu. "Jika memang kabar baik, mengapa dirimu begitu tergesa mendatangiku? Lihatlah! Keringat membanjiri keningmu." Rendevis menunjuk ke arah kening Oubtree.
Percakapan yang dilakukan Rendevis sama sekali tidak dimengerti pasukannya, termasuk Fardemis yang berdiri tepat di belakang Sang Jenderal. Mereka hanya melihat pemimpin mereka berbicara dengan seseorang yang tidak bisa mereka lihat, namun mendengar percakapan itu tanpa mengerti isinya.
Oubtree tersenyum kecut. Ia benar-benar telah keliru karena sudah meremehkan kemampuan sahabatnya itu dalam membaca bahasa tubuh lawan bicaranya. Oubtree menarik nafas panjang dan seperti tidak ikhlas, ia menghembuskan nafasnya pelan-pelan.
"Kau tahu?"
"Tahu apa? Kau kan belum mengatakan apa-apa padaku."
"Tsk. Kau ini!" Oubtree mendengus kesal. Wajahnya berubah menjadi sangat serius. "Panglima Angin baru saja mengirimkan berita padaku, jika akan ada pertemuan empat jenderal besar masing-masing kerajaan elemen kehidupan."
Tubuh Rendevis menegang. Tidak akan ada pertemuan empat jenderal besar dari empat kerajaan, jika keadaan baik-baik saja.
"Siapa kali ini yang membuat ulah?" Rendevis memasang wajah datar. Ia tidak ingin sahabatnya mengetahui arti sebenarnya dari pertemuan itu.
"Aku tidak tahu pasti, tapi aku dengar mereka sedang berdiskusi untuk membuat kesepakatan denganmu."
"Kesepakatan? Kesepakatan apa?" Rendevis mengernyitkan keningnya.
"Tahukah kau jika dirimu itu menjadi rebutan pemimpin-pemimpin kerajaan di wilayah utara?" Oubtree merasa sangat gemas dengan sahabat beda dunianya itu.
Rendevis terkejut luar biasa. Aku? Jadi rebutan raja-raja? Memangnya aku siapa? Rendevis bertanya-tanya dalam hati. Pria itu diam.
"Jangan suka berbicara sembarangan!" bentak Rendevis. Ia sangat benci seseorang yang suka menyebarkan berita bohong.
Oubtree mengacak-acak rambutnya yang cepak. Ia sudah berulang kali mengingatkan sahabatnya itu, jika sahabatnya itu menjadi incaran hampir semua kerajaan di wilayah utara. Keberadaannya begitu menarik para pemimpin yang berambisi untuk menguasai dunia. Namun, Oubtree tampaknya tidak perlu merasa khawatir yang berlebih. Kenyataan jika Rendevis tidak menaruh keinginan berlebih dalam hidupnya adalah jawaban telak bagi pemimpin-pemimpin rakus itu.
Rendevis sama sekali tidak tertarik pada dunia. Baginya kedamaian dunia tempatnya berpijak adalah hal terpenting dalam hidupnya. Mengabdi sebagai penjaga perbatasan wilayah utara dan selatan adalah hal yang sudah lebih dari cukup untuknya. Tidak ada yang dapat mengalihkannya ke tempat atau keinginan yang lain.
"Aku hanya memperingatkanmu saja, Jenderal. Kau harus selalu berhati-hati dan bersikap waspada. Mereka yang sudah gelap mata akan menggunakan segala cara untuk membujukmu agar bersedia bergabung dengan mereka. Belum lagi dari dunia sihir, kawanan peri pun tampaknya berminat untuk mengikatmu dalam barisan mereka," ucap Oubtree panjang lebar sembari mengunyah ujung rumput yang ia cabut di dekat kakinya.
Tiba-tiba tepukan di pundak Rendevis membuat pria itu menoleh ke belakang, diikuti hilangnya Oubtree dari hadapannya.
"Ada apa?" Rendevis menatap Fardemis dengan tatapan tidak suka. Ia paling tidak suka jika saat ia sedang berbicara dengan seseorang atau apa pun tidak peduli itu hewan, tumbuhan atau bangsa dari alam lain, diganggu. Baginya, itu sudah melanggar prinsipnya, tidak menghormati lawan bicaranya, sekalipun dirinya sedang berdebat hebat dengan lawan bicaranya itu.
"Jenderal, bukankah di sana sudah masuk wilayah selatan?" Fardemis menunjuk ke arah batu hitam besar yang membentang satu kilometer di depan mereka. Batu itu dijadikan sebagai tanda batas berakhirnya wilayah utara, melangkah satu langkah ke depan maka mereka sudah masuk ke wilayah selatan.
Rendevis meneguk air liurnya sendiri. Kedatangan Oubtree sudah membuatnya mengabaikan tanda batas itu. Dirinya nyaris membawa pasukannya ke medan pertempuran hanya karena tidak memperhatikan rambu batas wilayah di depannya.
Sayangnya, Rendevis terlambat menyadarinya. Derap laju pasukan berkuda terdengar di depannya, membuatnya segera mengangkat tangan kanan memberi aba-aba pasukannya untuk segera siaga dan waspada.
"Mengapa kau baru mengatakannya sekarang?" Rendevis melirik Fardemis penuh amarah. "Bagaimana aku menyelesaikannya jika sudah seperti ini, huh?!"
Suara hunusan pedang terdengar, mendatangkan desiran tersendiri dalam diri masing-masing prajurit bawahan Fardemis. Mereka saling melempar tatapan dengan wajah gugup. Apakah mereka akan dibantai di sini?