Chereads / ARCKHAIL / Chapter 1 - Kandidat Tunggal

ARCKHAIL

🇮🇩Eirene_Aether_5671
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Kandidat Tunggal

"Astaga, kenapa harus aku?" gerutu seorang pria di sudut ruangan. Kursi kantor usang tempat dirinya duduk sungguh terasa tak nyaman digunakan.

"Karena kau jurnalis paling bagus di kantor ini. Tulisanmu selalu mengundang banyak perhatian dari para pembaca. Gaya bahasa yang kau gunakan sangatlah fleksibel dan cocok untuk semua kalangan," sanggah seorang wanita yang tengah berada di hadapan si pria. Mereka berdua hanya terpisah sebuah meja kantor yang cukup besar dengan tumpukan berkas di atasnya.

"Tapi, aku tak pernah menulis berita politik sebelumnya. Aku pun sama sekali tak berminat dalam bidang itu. Terlalu banyak resiko yang harus diambil, kalian pun belum tentu berani bertanggung jawab jika seandainya nanti terjadi sesuatu padaku." Pria ini terus saja menggerutu. Ia bersih keras untuk tidak menerima tugas yang diberikan wanita itu yang tak lain adalah atasannya sendiri.

"Sudah kubilang berkali-kali, Karna. Kau tidak akan menulis berita politik. Kau hanya perlu meliput kampanye calon kandidat presiden kita."

"Memangnya siapa yang harus kuliput?"

Si wanita menyodorkan ponsel pintar pribadinya kepada Karna. Di sana, terlihat sebuah judul berita yang pastinya akan mengundang rasa penasaran pembaca. Pria yang ternyata bernama Karna itu hanya meliriknya sekilas. Ia sudah tahu isi berita yang belakangan tengah menjadi perbincangan hangat di segala lapisan masyarakat itu.

"Ya ampun. Dengar, orang ini pasti sudah diliput oleh banyak media. Kita juga punya puluhan jurnalis yang lebih paham soal isu politik. Linda, untuk kesekian kalinya, kukatakan padamu jika aku sungguh tak mau terlibat atau menulis berita apapun soal dia, walau itu hanya sekadar liputan biasa," tegas Karna.

"Sudah kukatakan padamu berkali-kali, ini bisa jadi batu loncatan karirmu di masa depan. Kau tidak akan sukses hanya dengan menulis berita soal kearifan lokal. Orang-orang sudah tak tertarik lagi kepada topik yang kau tulis. Kupikir bakatmu ini akan lebih berguna jika kau mau mengubah konsentrasi bahan menulismu sedikit." Linda masih saja berusaha untuk meyakinkan Karna untuk mengambil tugas ini.

"Cukup sudah, aku sedang malas berdebat. Kau suruh saja orang lain untuk meliput dia."

Hampir saja Karna beranjak dari kursinya ketika Linda mulai mengucapkan kalimat yang langsung membuat hatinya gundah. "Jangan lupakan biaya apartemenmu yang sudah tak kau bayar semenjak tiga bulan yang lalu."

Pandangan Karna langsung tertunduk. Tangannya bergerak spontan mengacak-ngacak rambut kepalanya sendiri yang sedikit gondrong itu. Seketika, ia teringat akan kenyataan pahit yang tengah melanda hidupnya. Kondisi ekonomi adalah satu-satunya hal yang membuatnya masih bertahan di kantor itu untuk tetap setia melakoni pekerjaan sebagai seorang jurnalis.

"Bukannya aku akan mengancammu dengan surat pemecatan. Hanya saja, aku ingin membantumu dan aku bersungguh-sungguh. Karna, kau akan mendapat bayaran mahal untuk ini. Aku sudah melihat kemampuan semua jurnalis di kantor kita. Hanya kau, satu-satunya orang bisa dianggap cocok untuk tugas ini."

Mata Karna melirik ke arah Linda dengan lesu. Sedikit demi sedikit, egonya mulai goyah. "Kau yakin ini hanya liputan biasa, tanpa ada tambahan lain?"

"Tentu saja. Kampanyenya dimulai satu jam lagi. Pergilah ke alun-alun, liput keadaan di sana, dan kembalilah dengan semua bahan yang telah kau dapatkan. Akan lebih baik jika kau ikut menyimak isi kampanye calon presiden kita ini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu di negeri ini, calon presiden hanya akan melawan kotak kosong. Ini adalah sebuah momen yang mungkin akan dicatat dalam sejarah. Apa kau akan melewatkan peristiwa ini begitu saja? Aku yakin, jiwa nasionalismu itu pasti akan berontak."

Karna hanya bisa menghela napas panjang. Kali ini, Linda berhasil membujuknya. Walau sangat berat rasanya jika ia harus merubah salah satu prinsip yang selama ini dipegang teguh, tapi idealisme memang tak pernah bersahabat dengan realita. Mau tak mau ia harus mengambil tugas ini demi uang makan dan tunggakan biaya apartemen yang harus segera dibayar lunas. Jangan sampai bayangannya ketika diusir dari apartemen menjadi kenyataan.

"Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi, ingatlah satu hal. Jangan paksa aku untuk meliput kampanye lain atau menyuruhku menulis berita politik. Jika saja biaya apartemenku sudah lunas, lebih baik aku menulis tentang Reog daripada harus berpanas-panasan menyimak omong kosong."

Karna bangkit dari duduknya dan segera angkat kaki dari ruangan Linda. Seraya menuruni tangga gedung kantornya itu, ia mengenakan kalung tanda pengenal pers milik dirinya. Ketika semua orang telah beralih ke kendaraan roda empat, ia masih setia bersama dengan motor klasik yang telah ia miliki selama lima tahun belakangan. Ia mendapatkannya dari seorang pria tua di sudut kota. Katanya, motor ini sudah tak dipakai lagi. Jadi, Karna hanya membayar mahar yang tak terlalu mahal. Tak lama berselang, ia pun menyusuri jalanan kota yang cukup ramai. Semakin mendekati alun-alun, suasana semakin riuh oleh ratusan orang yang hendak menghadiri kampanye besar itu. Bendera dan spanduk besar memenuhi jalanan. Orang-orang meneriakkan nama sang kandidat sebagai bentuk simpati dan dukungan. Sedangkan Karna, ia tak terlalu peduli dengan semua itu. Jujur saja, ia sama sekali tidak tertarik dengan apapun yang berbau politik. Ujung-ujungnya akan sama saja, kalau tidak gagal ya berhasil duduk di kursi jabatan.

Sesampainya di alun-alun kota, Karna cukup kesulitan untuk menemukan tempat parkir yang pas. Akhirnya, ia pun hanya memarkirkan kendaraannya di depan sebuah ruko yang sedang tutup. Pemiliknya pasti juga tengah berniat menghadiri kampanye. Itu terlihat jelas dari berbagai atribut partai yang mengusung sang kandidat tunggal yang memenuhi sekitar ruko tersebut. Setelah memarkirkan kendaraanya, Karna langsung menyiapkan kamera ponselnya. Di saat jurnalis lain berlomba-lomba memperbarui spesifikasi kamera mereka, ia sudah cukup puas dengan kamera ponselnya. Lagipula, kamera bagus tidak menentukan kualitas foto. Itu tergantung pada sudut pengambilan gambarnya.

Langkah Karna bergerak untuk menyeberangi jalanan yang padat. Kendaraan-kendaraan hanya bergerak merayap dengan sangat lambat. Beberapa di antaranya berjalan tanpa mengindahkan aturan lalu lintas, membuat suasana kian semrawut. Ia sendiri heran, kenapa tak ada satu pun polisi lalu lintas yang terlihat bersiaga di sana? Atau hanya karena ini akhir pekan? Rasanya penegak hukum tidak berlibur hanya karena mereka berangkat ke kantor lima hari dalam seminggu.

Ketika memasuki area alun-alun, suasana kian ramai. Para pengunjung telah memadati tempat itu, menanti wajah sang kandidat naik ke atas panggung yang megah. Karna menyempatkan diri untuk mengambil beberapa foto sebagai dokumentasi. Lantas, setelah itu ia pun menggunakan kalung identitasnya untuk memasuki area khusus yang diperuntukan bagi para wartawan. Ia mengambil posisi yang sekiranya memiliki sudut pengambilan gambar terbaik. Kemudian, yang harus ia lakukan adalah menunggu.

"Semoga saja, aku bisa melakukan tugas ini dengan tenang supaya aku bisa segera enyah dari tempat penuh tipu daya ini."

***