Mobil Drake bergerak perlahan. Ia sengaja mengemudikan dengan hati-hati dan kecepatan lambat, hanya agar punya waktu lebih banyak untuk berbincang dengan gadis di sampingnya.
Beberapa kali pria itu menatap Marion dengan ekor matanya, kemudian menyunggingkan senyum simpul.
"Sudah berapa lama kau menjadi asisten tuan serigala itu, Nona Alsen?" tanya Drake, yang kemudian tertawa menyadari bagaimana dirinya menyebut William. Tentu saja Marion tak mampu menahan rasa geli yang juga menyergap, seolah menggelitik hatinya.
"Ah, maaf. Aku terbiasa memanggilnya seperti itu, karena ia sangat buas. Hanya jika kau tahu maksudku," lanjut pria itu.
Marion mengangguk. "Panggil Marion saja, Tuan Wilmer. Rasanya tak enak jika Anda memanggil nama belakangku."
Mereka terdiam sejenak, membiarkan angan mereka berkelana. Hanya dalam hitungan menit, lalu Marion melanjutkan.
"Entah apakah pikiranku ini sama dengan apa yang Anda maksudkan, tapi ... ya, tuan Reynz sangat buas," imbuh Marion dengan gelak yang tak bisa ia tahan. "Ya, Tuhan ... julukan itu sungguh cocok untuknya. Maaf, Tuan Wilmer, aku sungguh tak bisa menahan diri."
Tenang saja, Drake pun kini tak mampu menahan diri, Marion.
Gadis itu nyatanya tak menyadari bagaimana Drake kini memandanginya dengan tatapan yang tak bisa ia definisikan. Jangankan Marion, Drake sendiri pun tak mampu memahami apa yang ada dalam hatinya sekarang. Kekagumankah? Atau ... persis seperti yang ia duga?
"Mari kita anggap bahwa kita sepemikiran. Apakah kau tidak takut pada pria buas itu?" tanya Drake, masih dengan kelakar yang tampaknya sengaja ia sisipkan di setiap pembahasan mengenai William.
Marion menggeleng. "Tak ada yang bisa menakutiku, Tuan Wilmer."
Drake tertegun sejenak mendengar jawaban Marion. Ia lalu tampak berpikir.
"Hmm ... Marion, bolehkah aku meminta sesuatu? Bagaimana jika kau jangan lagi memanggilku dengan panggilan formal itu? Bisa? Karena kau tidak sedang bekerja denganku."
"Tapi Anda juga bukan temanku, Pak. Anda teman tuan Reynz. Akan tidak sopan jika–"
"Aku memaksa. Bisa, kan?"
Marion berhenti sesaat, kemudian ia mengangguk tanda bahwa dirinya setuju dengan usulan Drake yang tentu saja tak sulit baginya. Hanya itu, kan, yang diminta oleh pria ini?
Marion duduk dengan tenang, dan berusaha tenang meski atmosfer di sekitarnya tiba-tiba berubah seolah ada yang menyelubungi mereka. Entah mengapa, tanpa alasan, bulu kuduk Marion meremang. Beberapa kali ia menoleh pada pria yang masih berkonsentrasi pada kemudi dan jalanan lengang di hadapannya.
Tak ada yang aneh dari pria itu maupun gelagatnya.
Mungkin. Atau apakah Marion sudah terlanjur terpesona dengan apa yang ditampilkan seorang Drake Wilmer?
Sungguh, ini kali pertama Marion begitu terpesona dengan makhluk mars yang muncul di hadapannya. Kemunculan Drake jelas telah menghipnotisnya sejak awal. Namun, Marion tak mengetahui bahwa Drake bahkan lebih terpesona pada gadis itu.
"Uhm ... Tuan Wilmer, maksudku Drake ... apakah kau tidak merasakan ada yang aneh?" tanya Marion yang langsung mendapat respons dari pria itu.
Drake mengerutkan kening. "Aneh bagaimana?"
"Ini belum masuk musim gugur, kan? Tapi tidakkah kau merasa udaranya terlalu dingin?" tanya gadis itu memastikan. Tubuhnya telah menggigil akibat suhu dalam mobil yang tampak menurun drastis.
"Oh, mungkin karena pendinginnya. Aku akan matikan saja."
Drake jelas sudah menon aktifkan pendingin mobil, tetapi setelah berjalan sekian lama tak terasa adanya perubahan yang berarti. Marion tetap saja menggigil.
Drake menepikan mobil, melihat Marion yang menangkupkan kedua tangan di depan dadanya yang sesekali ia gesek-gesekkan demi menghangatkan tubuhnya sendiri. Pria itu melepaskan jasnya, kemudian membungkus tubuh Marion dengan benda itu.
"Apakah lebih baik?" tanya Drake, menatap Marion, cemas.
Gadis itu mengangguk. "Lebih baik. Setidaknya tidak sedingin tadi. Apakah kita bisa segera pulang? Aku tak sabar untuk duduk di depan perapian, atau berendam di air hangat sebentar saja."
Marion meniup kedua tangannya sesekali.
Drake ingin sekali membantu menghangatkan Marion saat ini, sayangnya itu hanya akan membuat Marion semakin menggigil. Bahkan mungkin membeku.
Marion mulai memerhatikan kembali jalan di hadapannya. Sudah mulai memasuki wilayah kediamannya yang ia tandai dari gapura besar bertuliskan Easton Hill. Ia bahkan belum mengatakan apa pun pada Drake mengenai alamatnya, tetapi pria ini sudah tahu harus berbelok ke mana.
"Yang sebelah mana rumahmu?" tanya pria itu, menoleh pada Marion sembari tangannya tetap pada kemudi.
"Di depan, rumah dengan patung cupid dengan air mancur," jawab Marion, berusaha mengulum senyum. Ia tahu, Drake pasti akan bereaksi seperti semua orang yang mengetahui mengenai patung cupid itu.
"Cupid, huh? Kenapa harus cupid?" tanya Drake yang juga tak mampu menahan senyumnya. "Apakah kau sedang menanti cinta sejati?"
Kini Marion tak mampu menahan gelak tawa dari bibirnya. "Wah, gawat! Apakah aku terlihat begitu putus asa karena cinta sejati?"
Drake menggeleng.
"Sama sekali tidak. Aku justru mengira kalau kau sudah memiliki kekasih."
Marion mengerutkan keningnya mendengar pernyataan Drake.
"Mengapa kau bisa berpikir seperti itu? Bukankah terlihat jelas kalau aku masih sendiri?" pancing Marion yang kembali dijawab dengan gelengan Drake.
"Tidak seperti itu yang kulihat, karena kau ... Marion, apakah kau bercanda? Sungguh kau tidak tahu alasanku mengira kau sudah bersama seseorang?" Drake menatap Marion dengan tatapan tak percaya.
Gadis itu menggeleng. "Memangnya karena apa? Sungguh aku tidak tahu."
"Kau tidak lihat bosmu itu? Ah, malang sekali nasib William! Mantra pesonanya ternyata tak berefek terhadapmu."
"Mantra pesona? Kita bicara tentang apa, sih?" tanya Marion, sungguh-sungguh. Baginya Drake dan William sama anehnya karena sering kali memakai bahasa yang tidak dimengerti oleh Marion. Terlebih saat mereka bertemu siang tadi, kedua pria itu berbincang dengan istilah-istilah yang baru pertama kali didengar olehnya.
"Marion, kau adalah wanita pertama yang tidak tampak tergila-gila pada pria itu. Apakah kau ...?"
Marion membulatkan maniknya mendengar pertanyaan Drake yang menggantung.
"Hey! Tentu saja aku menyukai lawan jenis, jika itu yang kau maksudkan! Memang apa hubungannya dengan ketertarikan terhadap tuan Reynz? Memangnya seberapa banyak wanita yang rela menyilangkan kaki di pinggangnya?"
"Banyak. Kau tidak tahu saja. Ia begitu memesona, tidakkah kau lihat itu?"
Marion hanya mengatupkan bibir. "Ya, memang. Tapi ... sifat menyebalkannya jauh lebih mendominasi pesona lainnya," jawab Marion. "Baiklah, Drake, kurasa kita sudah sampai."
Marion hendak turun, tetapi sebelumnya, ia ingin mengucapkan terima kasih pada pria yang telah berbaik hati mengantarnya pulang. Marion menoleh padanya.
"Terima kasih, Drake."
"Sama-sama. Apakah kau tidak ingin menawariku untuk mampir?" tanya Drake.
"Apakah kau berniat untuk mampir?" balas Marion, yang terdengar seperti sebuah pertanyaan yang penuh kebingungan. "Aku bisa siapkan secangkir coklat hangat. Hanya jika kau memang berniat untuk masuk."
"Tidak, Marion. Aku hanya bercanda. Kau pasti lelah, jadi sebaiknya kau beristirahat sekarang."
Marion mengangguk mengerti, kemudian hendak melangkah masuk, tetapi urung karena Drake kembali memanggilnya.
"Bolehkah kalau aku mampir kapan-kapan? Atau ... apakah kau tidak keberatan jika besok aku menjemput dan mengantarmu ke kantor?" tanya Drake, penuh harapan bahwa Marion akan menjawab dengan satu kata 'iya', atau setidaknya hanya dengan anggukan.
Namun, Marion justru kembali mendekat pada jendela di mana Drake menjulurkan kepalanya. Marion memberi isyarat pada pria itu untuk mengulurkan tangan padanya.
Gadis itu mengeluarkan pena dari dalam tasnya, kemudian menuliskan sesuatu pada punggung tangan pria itu. "Kau bisa menghubungiku di sana," ucapnya, kemudian memutar tubuh dan berlalu, meninggalkan Drake yang kini tengah memandangi deretan angka yang tertulis di tangannya.