Chereads / Bukan Sekadar Sultan / Chapter 10 - 10 - Sebuah Perkelahian

Chapter 10 - 10 - Sebuah Perkelahian

"Serius. Aku gak kenal dia siapa, Nit. Kamu percaya kan?"

"Iya, Nggun. Aku percaya kok. Aku akan membantumu siapa yang melakukan ini," jawab Anita bersiap membantunya.

"Ok. Sekarang kamu buka instagram dulu, dan ubah pengaturan tagnya. Setidaknya, biar foto itu tak ada di instagrammu lagi."

"Tapi... bukannya malah nimbulin curiga, Nit?"

"Ehm iya juga. Gimana, ya?"

Tiba-tiba, Ali datang ke kantin dan melihat istrinya begitu kalut. Pelan-pelan, ia mendekatinya.

"Kenapa?" tanya Ali mengagetkan Anggun.

"Ini. Ada yang memfitnahku," ucap Anggun seraya menyodorkan ponsel berisi foto itu.

"Kamu kenal dengan orang ini?" tanya Ali.

"Tidak. Sama sekali tidak mengenalnya."

"Kamu yakin?"

"Kamu tak percaya padaku?"

"Bukan. Aku hanya coba memastikan ingatanmu. Biar kubantu membantunya."

"Coba pikirkan... barangkali kamu pernah selintas melihatnya, Sayang."

Anggun terdiam sejenak. Teman-temannya yang semula antusias bergembira, tiba-tiba senyap seketika. Beberapa mulai berpamitan dari Anggun.

"Nggun, kami duluan ke kelas, ya. Thanks!"

"Oh iya. Sama-sama."

"Aku juga duluan ya, Nggun!" seru lainnya.

Tinggallah Anggun, Anita, Ali, dan salah seorang yang semula tak ada di sana. Teman sekelas yang tadi tak mau diajak ke kantin.

"Gimana, Ali?" tanya Anita.

"Tenang dulu. Aku yakin kamu gak melakukannya. Tapi kita coba tenang dulu. Yah?"

Laki-laki teman sekelas Anggun itu melihat kekawatiran Anggun dari jauh. Matanya memerhatikan dengan cermat apa yang dikawatirkan mereka bertiga.

Ali mengarahkan pandangannya ke sekitarnya. Dia melihat laki-laki asing yang cukup mencurigakan. Begitu ia melihatnya, laki-laki itu berpura menutup dengan topi dan mengalihkan pandangannya.

"Sayang... " Panggil Ali.

"Hum?"

"Kita bicarakan di luar, yah. Jangan di sini. Ok?" ajak Ali.

"Kamu mau ikut, Nit?"

"Ouh... aku? Kayaknya menyusul. Ada yang perlu kukerjain. Gapapa kan?"

"Gapapa, Nit. Thanks, ya."

Alu meraih tangan Anggun lembut. Mereka berjalan beriringan. Laki-laki asing teman sekalas Anggun yang cukup mencurigakan itu kembali membututi mereka berdua. Entah apa yang sebenarnya dia akan lakukan.

Ia terus berjalan mengendap-endap. Sesekali berjalan cepat dan sembunyi. Seperti seorang penguntit yang siap menyerang targetnya.

"Ada seseorang yang membuntuti kita. Kamu pura-pura tenang saja, yah?" bisik Ali di telinga Anggun.

"Hah? Siapa?" tanya Anggun cemas.

"Aku gak tahu. Tapi aku sudah curiga sejak di kantin. Dan... dia masih mengikuti dia. Kamu tenang, ya? Pegangan." Tegas Ali.

Ali memegang erat tangan Anggun. Mereka terus berjalan. Sesekali berlari kecil menuju suatu ruangan tak jauh dari taman. Ruangan itu adalah basecamp biasa Ali dan teman-teman mahasiswa filsafat sekelasnya dulu beristirahat.

"Emang nggakpapa aku kesini?" tanya Anggun.

"Ndakpapa. Oh ya, kamu ada kelas?"

"Kebetulan tadi di grup dosen gak masuk. Ada tugas sih."

"Gapapa kan kalau ditinggal bentar?"

"Iya, aku juga ingin segera cari tahu siapa pelakunya," ucap Anggun cemas.

"Hallo, Ali... cie gandengan sama istrinya. Cuit cuit." Ledek salah seorang yang keluar dari basecamp itu.

"Berisik lu ah!"

"Haha... udah kosong tuh. Tapi jangan lupa dikunci. Ntar ada jomblo yang liat kasian lo," ledek orang itu.

"Apaan lu! Dahlah sana!"

Ali meyakinkan Anggun untuk masuk basecamp itu. Ia menutup pintu dan menguncinya.

"Ali... kita mau apa?"

"Ssst... emang kamu mau apa? Hum?" Ali mendekatkan kepalanya ke wajah Anggun.

"Uhmm... gatau." Anggun tersipu malu. Terlihat salah tingkah.

"Duduk, yah. Bentar... biar aku bersihkan. Maklum. Banyak temen yang ngrokok. Jadi ada bekas abu."

"Ndakpapa, ko."

"Nah, udah. Silakan duduk Tuan Puteri."

"Ali... kita mau apa kesini?"

"Mau bercinta," celetuk Alu.

"Bercinta di Basecamp?" tanya Anggun seperti bocah lugu.

"Haha... kalau iya kenapa?" ledek Ali makin menggoda istrinya.

"Sini... duduk jangan jauh-jauh. Kita kan sudah halal," ucap Ali membuat perasaan Anggun tiba-tiba berdegup jantungnya tak karuan.

"Detak jantungmu. Kedengaran," ucap Ali.

"Ih. Gausah bilang."

"Haha... deg-degan?"

"Huum." Anggun tersipu malu sembari menutup wajahnya di depan suaminya tercinta.

"Nyamanlah."

"Aku cuma pengin kamu tenang. Melihatku tadi sangat cemas, aku tak bisa diam. Makanya aku ajak ke sini."

"Terima kasih sudah menjagaku," tutur Anggun.

"Sudah kewajibanku menjagamu, Sayang."

"Uhm, aku jadi inget sesuatu."

"Apa?"

"Bukannya semalam kamu bilang pengin manggil aku dengan panggilan yang berbeda? Tapi aku baru ingat, kamu belum manggil aku apapun selain sayang."

"Kamu pinter nagih, ya."

"Bukan gitu. Aku cuma keinget aja si."

"Ssst... iya, ndakpapa. Apa yah?"

"Kamu pengin dipanggil apa?"

"Apapun dari filsufku, aku terima."

"Apa?"

"Hum?"

"Tadi manggil apa?"

"Filsuf?"

"Sejak kapan manggil itu?"

"Sejak... tadi? Katanya kamu emang suka banget sama filsafat?"

"Bukannya teman-temanmu juga memanggil itu? Itu nama bekenmu kan?"

"Atau... cucu socrates?"

"Ssst...." Alu mendekatkan telunjuknya di bibir Anggun. Menyuruhnya diam saja.

Setidaknya, itulah yang akan Ali bawa dalam cuaca kehidupan pernikahannya. Meskipun Ali terkenal sangat jutek pada siapapun, termasuk mahasiswi yang menggemarinya, tapi begitu berbeda dengan istrinya. Anggun pun makin merasa dicintai dan tiap hari.

"Kamu bahagia, Sayang?" Ucap Ali.

Tak ada jawaban dari Anggun.

"Kamu bahagia, istriku?" Kembali, Ali melayangkan pertanyaannnya.

Beberapa saat kemudian, setelah melihat Anggun tenang, Ali beranjak sejenak. Ia masih mengkawatirkan laki-laki yang tadi menguntitnya sejak di kantin.

"Sayang... tunggu di sini bentar, yah?"

Anggun menganggukkan kepala.

Tak lama kemudian, suara gaduh terdengar.

Plaaak!! Buggg!!

Ali langsung memukul mulut pria bertubuh tinggi dan bertopi hitam itu.

"Mas, sebenernya ini ada apa?" Anggun bertanya.

"Sayang... kamu masuk dulu yah. Nanti aku jelasin."

"Tapi..." Anggun malah mendekati.

"Kenapa dia, Mas?"

Laki-laki itu mencoba meraih tangan Anggun. Namun, Ali segera menepisnya. Ditambah memukulnya kembali.

Plaaak!!

"Mau apa kau? Kurang ajar!!"

"Haha... aku cuma ingin menyentuh tangannya yang pernah menolongku."

"Siapa sebenernya dia, Mas?"

"Apa aku mengenalnya?"

"Ndak, Sayang. Kamu ndak kenal. Tolong, masuk, ya. Biar Mas yang urusin. Kamu kembali ke dalam dulu."

"Tapi..."

Ali menganggukan kepala. Memberi isyarat memohon pada Anggun.

"Iya, Mas. Aku ke dalam."

Anggun berjalan dengan rasa penasaran.

"Sebenernya dia siapa? Kenapa Mas Ali sampai begitu marah??" Anggun berkutat dengan cemasnya di dalam base camp.

"Sudah kubilang, pergi, kau dari sini!!"

"Cepat!!"

"Haha... tenang, Ali. Lihatlah apa yang terjadi ke depan!" ancamnya.

"Kalau ndak... aku akan segera mendapatkan yang kau punya." Laki-laki bertopi hitam itu berbicara sambil meringis. Menahan sakit di wajahnya.

Napasnya tersengal. Darah keluar dari mulutnya.

"Cepat pergi!!"

"Haha... baik. Tunggu kedatanganku besok. Sampaikan salamku dengan Anggun."

Buggg!!

Sebuah pukulan mengenal kembali kepala laki-laki itu.

"Sudah kubilang, jangan kurang ajar!"

"Kalau merasa hidupmu sudah pernah ditolongnya. Apa begini caramu berterimakasih, hah?!"

"Haha... aku hanya mencintainya."

Buggg!!

Ali tak segan memukulnya kembali.

"Cepat pergi!! Enyah kau dari sini!!"

Tergopoh, laki-laki bertopi hitam itu menjauhkan diri.

Ali memastikannya ia pergi.

"Ya Tuhan... apalagi ini? Apa yang harus aku katakan sekarang pada Anggun?"

"Mas, gimana? Sudah selesai?" Tanya Anggun.