"Aku selama ini banyak bikin kamu marah dan kesel."
"Bukankah karena hal ini kamu bertanya seperti itu?"
"Nan... bukan gitu maksudnya."
"Lalu? Bukankah itu faktanya?"
"Aku banyak membuat kesalahan padamu. Bahkan, aku sendiri belum mampu menjelaskan alasan semuanya."
"Nan... bukan itu maksudku."
"Aku tahu kamu memendam marah kan? Pertemuan kita kali ini juga seperti mimpi. Sejak malam hujan itu, ucapan yang kau kirimkan itu."
"Ya, sejak saat itu sebenarnya aku sudah membunuh harapanku sendiri padamu. Aku merasa menjadi laki-laki paling bersalah di dunia."
"Betapa bodohnya aku tak bisa menjaga perasaanmu yang begitu tulusnya?"
"Nan.... udah. Aku sudah maafin, ko. Yang penting kita sudah baikan kan?"
"Baikan? Benarkah itu?"
"Aku masih menganggap ini seperti mimpi. Yang sewaktu aku bangun nanti, ini bisa hilang dalam sekejap mata."
"Nan.... kamu mau pergi?"
Kinan kembali menengok ke arahku. Tersenyum kecil lalu kembali menatap ke depan.