Uhukk
Mendangar tuturnya, aku sontak batuk, tapi sebenarnya tidak.
"Hei... Tenang. Ini minum dulu." Kinan mengambilkan segelas teh hangat yang sudah Ibunya buatkan untukku.
"Pelan-pelan... Sstt tenang."
"Makasih."
"Hum? Kaget, yah?"
"Entah."
"Gimana?"
"Gimana apanya?"
"Kamu mau kita lebih dekat? Bukan sekedar teman."
"Nan? Kamu serius mengatakan hal itu?"
"Apa aku terlihat tak serius? Sedang bercanda?"
Kinan meraih tanganku. Seraya meyakinkanku.
"Aku serius, Tania. Kamu mau? Ijinkan aku menjagamu lebih baik. Aku sayang kamu."
Malam itu. Malam yang begitu berharga bagiku. Kinan, akhirnya mengungkapkan perasaannya. Aku tak tahu. Ya, aku sampai tak tahu bagaimana lagi aku harus memposisikan diri.
Apakah aku harus senang? Apakah aku harus sedih? Apakah aku harus memposisikan diri begitu bahagia? Namun, tak bisa dipungkiri keraguan itu muncul.
"Nan... Maaf," ucapku perlahan.
"Kenapa?"
"Bukannya kamu sudah punya pacar?"
"Hah? Sejak kapan? Emang aku pernah bilang gitu?"