Mata mereka semakin dekat. Ia tak ingin membuat kecewa dan kawatir berlebihan. Meskipun ia tak tahu, apakah pernikahannya itu benar-benar akan membawa cinta sejatinya.
Bunga-bunga yang masih terpajang di dinding ruangan sekitarnya turut jadi saksi betapa berbunganya sepasang kekasih yang sedang memadu kasih itu.
"Aku menyayangimu, Anggun."
"Aku juga mencintaimu, Mas."
"Meskipun... pernikahan ini terasa tiba-tiba dan tak terduga." Mereka berdua sudah saling mendekatkan wajah. Namun, Anggun menjedakannya. Menarik wajahnya kembali.
"Tunggu, Mas. Apa itu Aldi?"
"Ya. Aku lihat dia memerhatikan kita. Makanya aku cari ruangan umum, tapi sepi."
Entah kenapa, tiba-tiba Aldi bisa lewat di sana, padahal tadi sepertinya sudah terlihat pergi. Apakah dia sengaja mengincar mereka berdua? Apakah ada rencana jahat yang akan dia lakukan? Entahlah.
"Aku sengaja memancingnya apakah dia akan terus memerhatikan kita."
"Mulai sekarang kamu sudah jadi istriku. Aku janji akan menjagamu. Meskipun mungkin di luar nanti, aku tak sehangat ini. Tapi dalam diriku, aku tulus menyangimu, Sayangku."
Anggun tersipu dengan ucapan Ali. Setengah kegelisahannya pun hilang, mengingat kecemasannya apakah Ali akan menjadi suami yang menyebalkan atau tidak.
Nyatanya, saat itu ia membuktikan. Ali, suaminya kini akan menjaganya penuh kasih. Ali sekarang, bukanlah cowok kanebo kering. Justru laki-laki kharismatik, berwibawa, dan cukup romantis.
Aldi masih melihat Ali dan Anggun berduaan. Kecemburuan kian terlihat dari wajahnya.
"Kamu tahu kan Aldi juga mengagumimu?" tanya Ali.
"Dulu, sebenernya aku tak tahu. Aku hanya berusaha baik ke semua orang. Tapi Nike yang memberitahuku tentang Aldi," tutur Anggun.
"Sampai kemudian, kita pernah saling menyukai, Mas. Maafkan aku. Aku baru ceritakan ini padamu."
"Hum?"
"Iya. Aku dan Aldi bahkan pernah hampir akan menikah, tapi dia mengkhianatiku menjelang hari pernikahan tiba. Aku yang sudah tahu kelakuannya itu, tak sampai hati merelakan diri menikah dengan laki-laki pengkhianat sepertinya, Mas!"
"Aku mungkin bisa memaafkan laki-laki dengan kesalahan apapun, tapi tidak dengan sikap laki-laki yang tak bisa tegas dengan dirinya sendiri untuk menjaga satu nama di hatinya."
"Kamu tak masalah dengan masa laluku, Mas?"
"Ssst. Udah, jangan sedih, ya. Sini." Ali meraih kepala Anggun perlahan dengan lembutnya. Menaruhnya di dalam dekapan hangatnya.
"Apapun itu, itu sudah berjalan. Aku jadi penasaran, apa yang membuatmu percaya padaku, Sayang? Apakah aku terlihat tampan? Memesona?"
"Ish!" Anggun mencubit pinggang suaminya.
"Aw! Ditanya serius juga."
"Lagian kamu. Kepedean."
"Ya terus apa? Kenapa?"
"Uhmm apa yaah. Entahlah pertama, aku yakin sama pilihan Ibu. Sejak dulu, ibuku tak pernah menyarankan satu nama laki-lakipun, ia tipikal yang membebaskan anaknya memilih."
"Jadi, aku menjalani pernikahan itu pun, meskipun awalnya lewat perkenalan dari ibuku, tapi entah kenapa aku merasa yakin. Bahkan, sangat yakin dan terasa tenangnya."
"Oh ya? Ibumu keren."
"Ya. Makanya merasa ada yang sedikit aneh, begitu Ibu menyarankan satu nama laki-laki dan ternyata itulah kamu. Ibuku pasti mempertimbangkan banyak hal sebelumnya. Entah, bagaimana. Tapi aku percaya."
"Begitukah? Tidakkah aku yang dulu seperti kanebo kering katamu terlintas begitu mendengar namaku, setelah sekian lama kita tak berjumpa?"
"Uhm, iya juga ya? Kok aku gak kepikiran? Entahlah. Mungkin memang ini jodohnya."
"Tenang atau menyesal?"
Anggun tersenyum. Tersipu malu.
"Sudah. Gak perlu jawab. Aku sudah tahu."
"Makasih, Mas." Anggun mendekap hangat suaminya. Kian erat.
"Ok. Mulai sekarang harus lebih menjaga diri, ya? Aku memang bukan laki-laki sempurna di dunia ini yang punya banyak kelebihan."
"Tapi... sebagai suamimu, aku bertanggung jawab atas apapun yang menimpamu kini. Jadi aku minta tolong, jaga diri saat aku tak di sampingmu, ya? Terutama sama Aldi. Entah kenapa aku punya firasat buruk tentangnya."
"Pokoknya lebih hati-hati dengan Aldi. Kalau ada yang mencurigakan di kampus nanti, atau dimanapun segera kabari aku. Ok?"
Anggun memang masih menjalani semester akhir di kampusnya.
"Iya, Mas." Ucap Anggun tersenyum.
Mereka berdua beradu pandang. Saling mendekatkan wajah. Kepercayaan, menjadi satu kalimat yang kian tertanam di mata masing-masing.
Mata mereka semakin dekat. Ia tak ingin membuat kecewa dan kawatir berlebihan. Meskipun ia tak tahu, apakah pernikahannya itu benar-benar akan membawa cinta sejatinya. Namun, kepercayaan dan keyakinan mulai semakin tumbuh.
Bunga-bunga yang masih terpajang di dinding ruangan sekitarnya, kini turut jadi saksi lagi betapa berbunganya sepasang kekasih yang sedang memadu kasih itu.
"Aku menyayangimu, Sayang."
"Aku juga mencintaimu, Mas."
Mereka berdua kembali saling berdekapan mesra. Sementara, Aldi bermuka masam dan terlihat mengepalkan tangan.
"Awas saja kamu, Ali! Aku akan membalaskan semua ini!"
***
Apa kau pernah membayangkan bagaimana rasanya menjalani kehidupan setelah ijab qabul diucapkan?
Pagi itu, Anggun terbangun. Matanya setengah terbelalak melihat sosok laki-laki ada di sampingnya. Ia pun refleks kaget begitu saja.
"Hah?!"
"Kenapa, Anggun?"
"Ehm, enggak. Nggakpapa. Aku kaget aja."
"Kamu lucu juga ternyata."
"Udah ah, aku mau mandi!"
"Gak mau skalian gitu?"
"Ish!"
"Heh! Katanya mandi bareng suami istri itu dianjurkan lo."
"Udah deh, gausah mancing! Kamu nanti setelah aku. Aku mesti berangkat kuliah cepet, nih. Dosennya galak!"
"Ya ya ya...," ucap Ali pasrah.
Itu adalah pagi pertama yang Ali rasakan dengan status berbeda; ya, kini ia adalah suami dari seorang perempuan bernama Anggun.
Tak pernah menduga sebelumnya, ia akan mengalami hal seperti ini. Rahasia atas keyakinan Ali pun belum terlalu terungkap kenapa ia sampai mau memutuskan untuk menikah dengan Anggun.
Bagaimanapun, Ali adalah Ali. Laki-laki yang terkenal bagi Anggun adalah sosok angkuh dan keras kepala. Cowok kanebo kering. Bagaimana bisa ia memutuskan untuk menikah begitu saja? Apakah benar karena kepercayaan pada Ibunya?
Ali pergi ke dapur. Setelah mencuci wajahnya, ia menyiapkan teh hangat dicampur madu untuk ia dan istrinya. Ditaruhnya kembali di meja kamar. Rutinitas itu sudah ia lakukan ketika masih serumah dengan Ibunya.
Bedanya kali ini ia tak meminumnya langsung. Ia biarkan di atas meja. Melihat hangat asap dari air hangat menguap ke udara.
Beberapa saat kemudian, Anggun keluar.
"Lagi ngapain duduk begitu? Pagi-pagi jangan ngelamun tau!" ledek Anggun dan duduk di sampingnya begitu saja.
"Kamu cantik," celetuk Ali.
"Pagi-pagi jangan ngegombal. Gak lucu tau. Udah sana mandi!"
"Ternyata bener ya, orang cantik juga galak."
"Mas...," ucap Anggun seraya menahan kesalnya.
"Haha... Bercanda. Eh, aku suka dipanggil itu. Kamu keliatan manis jadinya."
"Terus mesti kupanggil apa biar gak manis?"
"Uhm? Sayang mungkin?"
"Ihhh!"
Sebuah cubitan melayang begitu saja ke pinggang Ali.
"Aww!"
"Makanya udah sana mandi!"
"Ssst... Ini minum dulu. Keburu dingin."
Ali mengambil gelas berisi minuman yang dicampur madu buatannya.
"Apa ini, Mas?"
"Minuman madu. Biasa aku minum saat perut kosong. Cobain deh. Emang kamu gak pernah coba."
"Uhm... Enggak sih."
"Baca mulu sih!"
"Aku cobain, ya."
Ali mengangguk sambil memandang wajah Anggun yang lembut, "Gimana?"