Rahsa mengangguk.
"Minum dulu, Rah..."
Rahsa seperti dengan Ibunya. Begitu amat diperhatikan Rinai.
"Tunggu bentar, yah. Tak kasihkan dulu mangkoknya." Rinai pamit ke penjual cuanki. Mengembalikan mangkoknya.
"Mau nambah minumnya nggak?" Tanya Rinai.
"Gausah, Ri. Ini udah cukup."
"Ok. Oh, ya kamu mau bilang apa?"
"Ehm, tapi kamu jangan marah yah?"
"Emang aku pernah sama kamu, Rah?"
Rahsa menggeleng.
"Ini pertanyaan absurd sepanjang kamu bertanya, Rah. Rasanya ingin ketawa."
"Aku serius, Ri..."
"Iya, sok. Mau ngomong apa? Hum?" Rinai meletakkan gelas es jeruknya.
"Sebenernya aku lagi ada masalah sama Anindya."
"Hah? Karena apa? Kok bisa?"
"Karena kamu, Ri."
"Hum?"
"Iya. Karena kamu."
"Coba kamu ceritain dulu deh. Biar aku nggak bingung, Rah."
Rahsa menghela napas panjang. Seakan mencari ruang paling teduh di halaman hatinya sendiri. Menyiapkan kunci untuk membuka, dan berteduh di dalamnya. Pun, bekal yang kiranya entah sampai berapa lama.