"Agar punya jiwa yang lembut. Tak hanya akal yang cerdas!" ucap Ibu melanjutkan intonasi Rinai.
"Rinai sayang Ibu." Rinai peluk ia dan bersegara berangkat ke kampus.
***
"Kue spesial untuk Ibu. Perempuan teramah sepanjang rumah,"
"Lho, kok hanya sepanjang rumah?"
"Karena rumah tak pernah terukur luasnya. Tapi di sana kita bisa rasain kedalamannya. Mana rumah yang penuh ramah. Dan mana rumah yang penuh jengah."
"Hah?"
"Iya. Itulah rumah hati. Ibulah rumah terrraamaah," Rinai peluk ia penuh kasih.
"Nak, terimakasih, ya. Kamu satu-satunya anak Ibu yang lembut dan penuh kasih. Dapat darimana sih kata-kata manis itu? Bikin Ibu melting aja."
"Kan emang anak Ibu cuma satu, kan? Yaa dapat warisan dari Ibunya lah. Siapa dulu. Juru Sastra."
"Kamu tuh ya... " ia memeluk Rinai penuh kasih.
Rinai lihat mata Ibunya mulai gerimis. Menitikkan air sedih dan bahagia. Bahagia dan sedih. Namun, tak kan ia biarkan menjadi hujan deras.
"Ibu, jangan sedih,"
"Ibu bahagia, Nak,"