Baru saja ia dikejutkan kehadiran Rahsa di depan matanya. Sekarang, perasaan itu, kembali harus ia simpan dalam-dalam. Entah sampai kapan, ia jadi penabung rahasia paling ulung atas segala perasaannya. Bergantian wajah cemas mengingat Ibunya, ada satu pertanyaan yang muncul bergantian. Memutar sepanjang kayuhan sepedanya. "Apa kamu akan kembali, Ri?" "Cuaca mana yang akan mempertemukan kita tanpa kecewa?" "Pada sebelum hujan turun atau segala terik mentari, Ri?"
***
"Saat marah, seseorang tak boleh membuat puisi." Kata Sapardi. Agar ada jarak antara realita dan luapan emosi diri—Sebab itu perlu jeda.
Ehm... atau barangkali, memang muaranya sama—dalam segala tindak apapun perlu ketenangan. Entah bicara atas nama keadilan, kepedulian, atau tanpa atas nama apapun. Ada titik ketenangan tersendiri—meski luapan emosi marah pun—akan jadi marah yang elegan. Bagaimana membentuknya?