"Awas lo!!"
"Ssstt tenang, tenang. Jangan terpancing emosi. Masih inget saat ayahmu meninggal? Karena emosi!"
"Aku sudah capek dengan semua ini!! Berhenti ganggu kehidupan saya!!"
"Gimana, Tuan? Masih betah dengan pilihannya? Hahaha. Mudah, bukan? Tinggalkan Mala atau..."
Ardi terdiam. Menahan emosinya. Teringat setiap gelagatnya.
"Anda begitu tumbuh besar, Ardi. Tampan, seperti Ayahmu. Tapi sayang, tetap saja kamu anaknya beliau. Anda harus siap dengan semua ini. Anda tinggal menyerahkan istrimu."
"Saya bisa carikan yang lebih cantik darinya."
"Apa maksudmu?! Hah!? Mau menghina lagi? Belum puas!? Kurang ajar!! Dimana kamu, hah!? Kita selesaikan!!" Ardi menggertak.
"Sstt ... tenang, Tuan. Tenang. Jangan emosi. Saya hanya mau tetap silaturrahmi. Berhubung langsung, belum bisa. Jadi lewat telepon saja. Hahaha." Gelagatnya.
"Penawaran saya tetap sama. Gimana?! Sebelum saya mulai melakukan aksi. Pikirkanlah!"
"Kurang ajar!!"
"Ssstt sudah saya bilang. Tenang, Tuan. Tenang."