Tak ada yang tahu waktu akan menyajikan nasibnya seperti apa. Anggun, cewek urakan yang dikagumi dan dibenci Ali bersamaan. Apakah keduanya setelah sekian tahun, akan kembali berjumpa? Kalaupun berjumpa, takdir seperti apa yang akan mempertemukannya?
Bagaimana jika itu malah bicara yang tak sama sekali terduga? Dalam pernikahan, misalnya? Entah karena apa, Anggun tumbuh dengan kisah cinta yang tragis. Untungnya, masih ada Ibunya di sampingnya yang selalu menemaninya.
"Anggun sangat sayang padanya."
"Namun apa? Menjelang hari pernikahan, Bu. Ia tiba-tiba pergi begitu saja. Anggun bisa apa? Apa Anggun mau mengutuknya?"
"Dan yang kedua, Ibu juga masih ingat bukan? Bapak juga mulai menerimanya dengan baik. Pun Ibu yang selalu mendukung Anggun juga. Namun, apa? Dia malah main di belakang Anggun."
"Anggun sangat drop. Depresi kala itu. Anggun sempat berpikir apakah Anggun tak layak menikah? Apa Anggun sangat pantas disakiti?"
"Anggun berusaha jalani hidup, layaknya orang yang diberi motivasi dan mimpi-mimpi. Apa motivasi dan mimpi itu? Sesederhana aku tak mungkin membuat Bapak dan Ibu bersedih melihatku terpuruk."
"Aku tak ingin Bapak dan Ibu bertambah sedih melihatku kehilangan harapan hidup."
"Sampai suatu hari menyedihkan itu datang. Ternyata, Tuhan juga mengambil Bapak dari kehidupanku. Tepat saat Anggun percaya bahwa segala duka bisa bersanding dengan bahagia."
"Anggun masih sangat ingat pesan Bapak dulu. Dengan wajah tersenyum. Terlihat begitu ceria, beliau berpesan ingin melihat Anggun menikah dan hidup bahagia."
"Bukankah itu sederhana, Bu?"
Ibunya memeluk Anggun seketika. Air mata Anggun tak terbendung lagi.
"Nak... Ibu tahu kamu anak yang berbakti. Ceria seperti Bapakmu. Namun, kalau dengan pesan Bapakmu kamu melakukan ini, Ibu yakin Bapak juga akan menanyakan hal yang sama dengan Ibu."
"Ibu cuma tak ingin melihatmu berduka kesekian kalinya."
"Ya. Anggun tahu. Tapi Anggun tak melakukan ini karena Bapak. Tidak sepenuhnya. Ibu masih ingat juga kan? Gimana kondisiku saat kembali mempercayai seorang laki-laki?"
"Kembali jatuh cinta, menyimpan nama, kenangan dan segala dukanya. Sebagaimana sepasang kekasih yang memadu cinta. Ibu ingat kan laki-laki itu?"
"Sudah, Nak. Tak usah dilanjutkan. Ibu mengerti sekarang." Ibunya menepuk-nepuk pelan pundak Anggun. Memastikan dan menenangkan hati anaknya.
"Tidak. Anggun cuma ingin melanjutkan cerita itu. Meskipun pahit. Anggun yakin bisa menceritakannya kembali."
"Di hari pernikahan. Ya. Rencana pernikahan ketiga, tapi belum dikehendaki Tuhan juga. Bedanya, ini bagian paling menyakitkan. Namun, setelah Anggun pikir juga cara Tuhan membahagiakanku."
"Hum?"
"Ya. Memang saat itu dia menghianatiku begitu miris. Namun, bukankah itu baik? Setidaknya Tuhan masih menjagaku untuk tak berlama-lama menjadi istri laki-laki tak setia sepertinya. Padahal, saat aku di masa SMA, dialah laki-laki yang kukagumi, Bu. Aldi, namanya."
"Ya. Seharusnya aku bahagia kan, Bu?" Anggun berkaca-kaca mengucapkannya. Bulir mata memang tak jatuh kembali. Namun, Ibunya seperti bisa merasakan betapa hati anaknya sangat pilu.
"Anggun sudah berusaha menerimanya. Namun, dengan cara inilah Anggun berusaha membalut itu semua. Anggun tak ingin menyimpan nama laki-laki sebelum pernikahan itu benar-benar terjadi."
"Setidaknya, kalaupun hal itu terulang kembali, aku tak punya ingatan banyak tentangnya. Karena aku tak pernah menyimpan namanya."
"Dalam waktu sekarang ini, aku lebih takut menyimpan daripada merelakan, Bu."
"Ibu mengerti kan sekarang?" Anggun merebahkan tubuhnya di pangkuan Ibu.
"Ssst... sudah, Nak. Ibu mengerti. Maafkan Ibu membuatmu menangis."
"Ibu tak perlu meminta maaf. Anggun masih beruntung masih ada Ibu yang bisa dengarkan keluh dan duka Anggun."
"Anggun yang minta maaf belum bisa menunaikan pesan Bapak."
"Sudah, Nak. Bapak di sana pasti bahagia, kalau melihat putrinya bahagia. Semoga keputusan yang kamu buat ini, bisa jadi jalan bahagiamu, Sayang."
"Aamiin. Terima kasih sudah mengerti, Bu." Anggun memejamkan mata di pangkuan Ibunya. Seperti anak kecil yang sangat merindukan kasih sayangnya.
Dalam benaknya sebenarnya bertanya-tanya, "Apa benar ini keputusan yang akan membahagiakanku?" "Apa yakin aku bisa menikah dan mencintai orang yang bahkan tak ingin kusimpan namanya sama sekali? Entah kenapa sekarang aku merasa yakin dan ragu dalam satu waktu."
***
Dua bulan kemudian...
Hari itu tiba. Hari dimana penantian jadi hal yang harus dilakukan. Apakah hari itu juga dinantikan kedua orang itu?
"Sejak aku bertemu dengannya, hanya kebencian yang kurasa, dalam sekian bulan, takdir memerjalankanku menikah dengannya. Ya Rabb, apakah ini yang terbaik? Terlebih, memori lama yang kuingat darinya hanyalah kanebo? Ya, cowok kanebo itu."
"Nak... kamu sudah siap?"
"Iya, Bu."
"Nike dimana?"
"Tadi dia di belakang, Bu. Mungkin bentar lagi kesini."
Baru saja dikatakan, perempuan berwajah ceria itu hadir dengan senyum sumringahnya.
"Anggun! Aku akan di sampingmu."
"Bu..." sapa Nike sambil mencium tangan Anna, Ibunya Anggun.
"Nak... doakan Anggun, yah?" pinta Ibunya Anggun.
"Iya, Bu. Aku akan selalu doain Anggun yang terbaik."
Dari jarak beberapa meter, suasana meriah memenuhi pandangan mata Anggun. Berbagai tamu datang menyambut hari pernikahan itu. Hari pernikahan dua orang yang sama sekali tak tertebak akan menikah.
Ali, laki-laki karismatik yang dikenal sangat misterius di sekolahnya dulu. Pintar, cukup diidolakan banyak perempuan di sekolahnya. Meskipun begitu, Ali tak peduli segala hal tentang ketenaran.
Anggun, perempuan urakan pecinta novel yang sama sekali tak menyukai sosok seperti Ali. Entah takdir mana yang memerjalankannya menjalani pernikahan itu. Keyakinan, barangkali semacam energi terbesarnya memutuskan pilihan berat itu.
Kabar pernikahan Anggun dan Ali menjadi buah bibir hampir di seluruh teman sealumni. Anggun, siswa berprestasi yang populer juga sangat diincar para laki-laki di sekolahnya dulu. Tak terkecuali oleh sahabat Ali sendiri, Aldi. Sahabat yang tanpa Ali tahu, dialah yang sudah membuat luka batin Anggun, perempuan yang sebentar lagi akan menjadi ratunya.
"Gila! Tega kau!" gerutu Aldi, melihat Ali yang sedang bersiap mengucapkan ijab qabul di depan penghulu.
Rambut Ali yang awalnya gondrong, kini telah dipotong, dan sangat berubah drastis dari Ali sebelumnya. Hanya saja kini lebih nampak rapi. Rahang tegas dan hidung mancungnya adalah suatu padu padan ciptaan Tuhan yang sangat elegan.
Matanya tajam tapi teduh. Hanya bibirnya yang cukup pelit untuk tersenyum. Ia terlihat monoton, jarang sekali nampak ceria. Entah apa yang membuat siswi di sekolahnya dulu begitu tergila-gila pada sosoknya.
"Gue gak nyangka. Diam-diam lo nusuk gue dari belakang, Lu!" di terus menggerutu sedemikian rupa. Menatap Ali yang sebentar lagi akan mengucapkan janji sakral itu.
"Nak... kamu terus berdoa, ya. Sebentar lagi Nak Ali akan mengucapkan janji." Pinta Ibunya.
"Iya, Bu."
Anggun memandang Ali dari kejauhan. Wajahnya teduh, meskipun tak tersenyum. Ada aura berbeda yang dilihatnya hari ini. Bukan Ali yang menyebalkan. Pun, bukan Ali yang seperti jadi musuh bebuyutan.
"Ya Rabb, jika dia yang terbaik bagi dunia dan akhiratku, lancarkanlah."
Para hadirin dan tamu undangan juga mulai lebih khidmat. Menanti janji suci itu diikrarkan Ali. Nuansa berdebar itu barangkali merasuk siapa saja yang melihatnya. Kecuali Aldi.
Dia masih mematung kesal melihat sahabatnya itu. Gerutu di wajahnya kian kentara begitu Ali mulai mengucapkan ijab qabul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Anggun Amalia binti Budi Himawan dengan mas kawin dan perlengkapan sholat tersebut dibayar tunai," dengan lancar, Ali mengucapkan janji suci itu.
"Bagaimana saksi, sah?"
"Sah!!"
"Alhamdulillah...."
Doa dilantunkan penghulu dan diaamiinkan para hadirin yang datang di sana. Kecuali Aldi, yang tak mengangkat tangan. Wajahnya kian beringsut kecewa.
Ia masih mematung melihat suasana yang dibencinya itu.
"Alhamdulillah, Nak. Sekarang kamu sudah sah menjadi istri Nak Ali," ucap Ibunya.
Anggun menitikkan bulir mata. Entah, apa yang kini sedang dirasakannya.
"Nak... kamu ndakpapa?" tanya Ibunya.