"Maaf? Bosan aku mendengar kamu terus mengucapkan kata maaf lagi dan lagi. Kamu pikir kalau menyebut minta maaf seribu kali lukaku bisa sembuh?" tanya Igho perlente.
Kehidupan Alyn sangat berbeda jauh dengan Igho Sbastian, yang nampak cuek dengan segala masalah perduniaannya. Ia bisa meminta apapun yang ia suka hanya dengan memetik jari saja. Mobil mewah, barang brand, dan bahkan ia bisa berlibur kemanapun ia mau.
Sangat berbeda bagai langit dan bumi.
Ayah Igho adalah pria hebat, bergelimang harta dan salah satu Manager utama di Masterindo Corp.
Seminggu yang lalu, baru saja istrinya dan juga ibu kandung Igho meregang nyawa di rumah sakit terkenal di kota metropolitan itu.
Rasa duka masih menyelimuti hati Igho yang mendadak merubah kepribadiannya menjadi sangat dingin. Bagai tersambar petir, ia belum bisa melupakan detik-detik dimana ibunya meninggal tanpa kehadiran ayah di sampingnya.
Dengan kedatangan Alyn, rasa duka itu merasa terhibur dan sedikit mencair.
"Aih! Telat!" Kening Alyn mengerucut saat ia melirik arloji yang sudah menunjukan angka 12.00. "Udah ya! Aku pergi dulu, bye!" Lanjut Alyn usai melihat keadaan Igho dalam kondisi baik-baik saja.
Alin pun beranjak dari samping Igho dengan terus memasang senyuman manis. Meski Igho nampak sangat jutek, tapi Alin merasa beruntung melihat pria gagah, dengan penampilan keren dan alis tebal yang mempertegas kulit wajah Igho yang putih.
Secepat kilat, Alyn menghilang karena harus mengejar waktu yang tertinggal dengan tersenyum-senyum sendiri, tanpa memperkenalkan dulu namanya pada Igho.
Igho melirik nanar kuda besinya di bawah terik matahari. Ia menghela nafasnya berat mengisi dadanya yang sesak dengan oksigen, lalu mengangkat sebelah tangan menutupi mata sebagai pengganti payung, melindungi wajahnya dari panas yang membakar kulit putih itu.
"Dasar wanita aneh!" Gumamnya sambil membangunkan motor sport yang hanya mendapat beberapa goresan di bagian body terdepan hingga kecakapan motor yang ia bangga-banggakan sedikit luntur. "Lihat saja, kalau ketemu lagi, aku harus buat perhitungan dengan wanita culun itu!" lanjut Igho sambil membuka kakinya lebar dan kembali menunggangi kuda besinya.
Entah mengapa rasa kesal yang ia bawa dari rumah tiba-tiba lenyap dan bayangannya tergantikan oleh wajah polos wanita itu.
Berambut ikal, bermata lentik, dan berkulit putih, sayang sekali penampilannya yang culun sedikit mengganggu pemandangan Igho. Untung saja, kebaikannya membantu mengobati Igho menghapuskan semua kekurangan wanita itu.
***
Igho memutuskan untuk kembali pulang kerumahnya, sedikit menghapus kebiasaan makan siangnya yang selalu ia lakukan di luar rumah.
Tak sadar diri ia berjalan sedikit menghentakkan kaki meloncat kesana kemari seperti katak yang baru saja menemukan kesegaran kolam, seolah sedang menikmat hari yang telah ia lalui.
Melangkah sesuai irama yang keluar dari hatinya.
"Den? Pulang?" Tanya Centini gerogi.
Satu-satunya pembantu rumah tangga yang masih bertahan di tempat yang cukup besar itu.
Bibi Centini yang sering di panggil Bi'Tini mendesah berat setiap kali majikan mudanya masuk ke area meja makan. Igho selalu melakukan hal yang sama setiap ia sudah duduk di depan makanan yang terhidang di meja. Mengaduk makan sembarang dan langsung lekas meninggalkan tanpa ada satu suap pun yang di lahapnya.
Tidak ada pekerja yang mampu bertahan lama selain Bi'Tini. Hanya kurun waktu satu sampai dua minggu, setelah Igho melakukan aksinya, pasti mereka menyerah dan mengundurkan diri meski di bayar dengan imbalan yang sangat funtastik, tak selayaknya gaji pembantu pada dasarnya.
Tapi, hari itu Bi'Tini merasa ada hal yang aneh dari majikan mudanya itu.
Bi'Tini masih sempat mendengar tapi mulutnya tak mampu berucap, bisa melihat tapi tangannya tak mampu bergerak, menghadapi majikannya yang drastis berubah 360 derajat.
"Bi'Tini! Malah melengok? Aku bilang tambah!" Sendok Igho terus dihentakan di atas bibir piring berulang kali menghasilkan suara nyaring dan membangunkan lamunan B'Tini.
Satu tetes mayonice yang tersisa di ujung bibirnya di hisap habis dengan ujung lidah yang berkeling mengelilingi bibirnya.
"Srrrppt, Emmh tadi itu enak banget sih bi? Tambah yang banyak ya!" sambungnya benar-benar membuat nafsu makan Igho memuncak, sambil mengelus rapi sapu tangan yang melilit pergelangan tangannya bangga.
Tumben sekali, Igho makan dengan lahap pasakan Bi'Tini. Padahal siang itu Bi'Tini tak sempat pergi ke pasar dan hanya memasak beberapa menu dengan bahan yang tersisa di dalam kulkas mereka.
Tak berlama-lama lagi, Bi'Tini bergegas kembali ke dapur dan menambah piring kosong Igho dengan senang hati. Seperti bayi kelaparan, Igho berharap Bi'Tini datang dengan cepat menyajikan makanan yang lezat itu lagi.
Satu centong nasi di lumuri acar timun dengan bumbu saos mayo ssiap di sajikan.
Di tambah lagi Bi'Tini memberikan satu piring kecil salad buah apel campur nanas segar sebagai makanan penutup. Tapi, baru saja Bi'Tini hendak melangkah ke bibir pintu, tiba-tiba kakinya seolah membeku.
Telinganya melebar dengan tangan menyanggah nampan berisi makanan pesanan igho.
Tubuhnya sedikit menyamping memperketat pendengarannya dan mengintip ruang makan dengan sebelah mata saja.
"Sudah ayah bilang! Kamu harus latihan bekerja di kantor! Mumpung kamu masih muda!" Pinta Ayahnya dengan gagah berdiri di samping meja makan dan membuyaran nafsu makan Igho.
"Tidak!" Balas igho singkat berpura-pura menganggap ayahnya tak ada di samping.
"Kenapa tidak?" Cecar Manaf Brawijaya. Lelaki penguasa seisi rumah megah dengan konsep dekorasi dengan cita rasa yang sangat tinggi.
Nuansa biru muda dan beige dari ruang depan berlanjut terus sampai ruang tengah dan seluruh ruang makan yang cukup luas dan tertata sangat rapi.
Dapur yang sangat cantik sengaja di rancang mendiang istrinya dengan aksen biru tua dari ubin kramik dekoratif di dinding dekat tepi meja itu yang sedang di tempati oleh Bi'Tini sambil menguping.
"Malas banget kalau harus bekerja di tempat ayah!" Balas Igho ketus membuat Manaf menarik nafas panjang.
"Malas?Bagaimana kamu bisa bicara seperti itu, sedangkan nanti kamu yang akan jadi pemilik perusahaan ayah? Apa kamu hanya akan membuang dan meminta uang saja?"
"Iya! Untuk apa aku membuat tubuhku lelah, cape terus bekerja seperti ayah? Kerja sampai tidak punya waktu untuk keluarga?" Sindir Igho dengan kepala mendongak seolah menantang segala kekuasaan ayahnya di rumah itu. "Owh, atau … ayah pikir bekerja lebih penting dari segalanya? Sampai-sampai ayah tidak perduli dengan apa yang terjadi pada Igho dan Mami?" tambah Igho membuat suasana semakin memanas.
"Igho! Jaga mulut kamu! Ayah bekerja keras untuk kamu! Mami kamu! Dan keluarga kita! Buktinya, sampai detik ini kamu bisa makan enak dan bisa hidup dengan nyaman?" Sambar Manaf terus melontarkan semua unek-unek di hatinya.