Malam menjelang, mengantarkan angin di tengah-tengah hawa panas yang membuat tubuh sepasang pengantin itu berkeringat di balik pakaian mereka.
Meski sempat terjadi kekacauan yang berakhir menjadi buah bibir pada tamu undangan, acaranya berjalan lancar hingga usai.
Sofia kelelahan bukan main. Wanita itu menyandarkan diri pada sandaran kursi pelaminan, merasakan pinggang yang pegal. Sesekali ia juga memijat betis merasa lebih pegal dari pinggang.
Setelah tamu sungguh sudah tak ada, Nazam meminta izin untuk membawa putri berharga mereka dari gedung hotel itu.
Ibunda Sofia tak ada alasan untuk mencegah, justru ia malah menyuruh Naran segera pergi dari sana.
Sofia memeluk erat ibu serta ayahnya sebelum pergi. Keduanya tahu, kini hidup Sofia bukan lagi seorang anak yang setiap hari selalu diingatkan ini dan itu. Tapi kini Sofia sudah menjadi seorang istri Nazam.
Sudah saatnya kedua orang tua melepas putri mereka. Meski hati begitu berat, mereka tetap mematri senyum sambil melambai tangan.
Sofia masih memejam terdiam, memandang ke samping jendela. Pandangannya kosong.
"Sofia, hemat uang harus, hemat ngomong, ya jangan," ujar Nazam di pertengahan jalan. Lelaki itu sudah bosan didiamkan. Memangnya dia tembok?
Wanita itu memicingkan mata tajam. Bisa-bisanya merusak suasana hati orang. Pikir Sofia.
Setelah hari beratnya masih menyisakan lelah, malah Nazam menambah-nambah lelah saja. Bawa-bawa soal hemat, pula. Sofia dongkol, dirinya tahu harus hemat. Namun ia tak menyangka Nazam akan secerewet ini.
"Saya lagi males ngomong."
"Ya, udah jangan ngomong."
Sofia mengerutkan dahi. Nazam sama sekali tak mengasyikan.
'Perasaan tadi diam aja, dia yang gangguin duluan.'
Dasar kolot, pikir Sofia lagi.
"Ck!" Sofia memalingkan muka lagi. Kali ini ia sungguh-sungguh tak akan bicara lagi.
Nazam menoleh pada Sofia entah untuk keberapa kali. Dia begitu khawatir setelah hal buruk itu terjadi.
'Dia pasti lagi mikirin kejadian tadi,' batinnya.
"Mas, bisa nggak jangan liatin mulu?"
Nazam langsung terbatuk, masih untung tak sampai oleng.
Tanpa menjawab, lelaki itu kembali fokus ke jalanan. Tak peduli dengan Sofia lagi. Terserah mau sedih atau apalah, dia tak mau ambil pusing.
***
Mobil terparkir di basemen gedung apartemen. Suasana sepi, ditambah waktu sudah sangat malam sekali membuat Sofia sedikit bergidik ngeri. Serasa horor.
"Kamu ngapain diam? Ayo turun." Nazam mengagetkan Sofia. Lelaki itu membukakam pintu, karena kesal istrinya tak kunjung keluar juga.
Sofia berdeham. Keluar perlahan.
Sial, gaun yang ia pakai selalu saja merepotkan. Turun dari mobil pun terinjak lagi, terinjak lagi.
Nazam dengan sigap menangkap lengannya agar tak jatuh. Kejadian itu membuat mereka saling tatap lekat. Namun, tak lama segera tersadar dan kembali pada sikap cuek masing-masing.
***
Masih dengan gaun biru yang melilit tubuh, Sofia duduk di tepi ranjang dengan debaran jantung kian kencang. Mendengar gemercik air di kamar mandi membuat wanita itu meremas baju indahnya kuat-kuat.
'Dia nggak bakal minta jatah malam ini, kan?' Cemas-cemas bertanya dalam hati. 'Tapi ....'
Ucapan dalam hatinya terhenti kala tak lagi terdengar gemercik air itu.
Sofia melirik pintu kamar mandi, ia tambah gugup. Refleks kedua tangannya memeluk diri.
'Gimana ini? Aku belum siap diunboxing si pelit.'
Pikirannya bercabang ke mana-mana. Terutama ketika pintu kamar mandi terbuka, menampakkan Nazam yang hanya berbalut handuk sepinggang.
Mata Sofia membulat sempurna. Karena malu, ia langsung membuang muka ke lain arah.
'Aduh, gimana ini? Aku harus apa?'
Keringat dingin sudah membasahi keningnya. Sofia menelan ludah memikirkan Nazam yang akan segera menyerangnya di atas ranjang.
"Sofia," panggil Nazam.
Wanita itu menoleh refleks.
"Ya?"
Seketika sadar dia bagai orang bodoh yang ketakutan menghadapi malam pertamanya.
Nazam mendekat, spontan Sofia menutup mukanya yang merah bagai kepiting rebus itu dengan telapak tangan.
"Kamu eng—"
"Ja-jangan! Saya lagi datang bulan!"
Tes ....
Suasana menjadi hening. Nazam terdiam dengan tangan yang menggantung di udara sambil memegang handuk putih. Sementara Sofia masih menutupi wajah dengan tangan tanpa suara.
Nazam mencoba mencerna kalimat 'lagi datang bulan' itu baik-baik. Tak lama rahang kuatnya terbuka kala menyadari apa yang Sofia pikirkan.
"Saya cuma mau kasih kamu handuk buat mandi. Tapi kelihatannya kamu seperti anak kucing yang sedang gemetar ketakutan saat melihat pemangsanya," ujar Nazam seraya menyimpan handuk itu tepat di samping Sofia.
Hah? Sofia diam-diam membuka mata di balik telapak tangan. Kemudian perlahan menurunkan tangan itu.
Ia melihat Nazam sudah mengenakan pajamas hitam tanpa motif menghadap cermin raksasa. Matanya teralih pada handuk di samping.
Seketika rasa malu itu menjalar dalam hatinya, menyadari betapa bodoh sudah berpikir macam-macam.
"Kamu mikir mesum, ya?" Nazam mengulum senyum diam-diam. Namun, sayangnya senyuman itu terlihat meski tipis oleh Sofia dari pantulan cermin.
Wajah Sofia yang sudah merah, tambah merah saja. Bahkan kini seluruh wajahnya tampak terbakar.
"E-nak saja! Sem-sembarangan!" Sofia memalingkan muka sebal. Dia salah tingkah.
Nazam menoleh pada Sofia. Mau tak mau wanita itu membalasnya walau hanya sekilas-sekilas.
"Kenapa? Kamu takut saya akan berbuat macam-macam?" Nazam mendekat, membuat Sofia kembali tegang.
Melihat wajah istrinya setengah beku membuat Nazam serasa digelitik pinggang, sehingga dirinya mengeluarkan tawa renyah.
"Tenang saja, saya bukan tipe lelaki yang terlalu terburu-buru." Tatapan Nazam menajam. Membuat Sofia sedikit meringsut mundur.
"Kita bisa lewatkan malam panjang yang indah itu nanti, saat saya siap," bisik Nazam di telinga Sofia. Lantas, ia segera meraih handuk di ranjang dan menyodorkan kepada Sofia.
Dalam diam Sofia menerima handuk itu. Ia menatap suaminya percaya tak percaya.
"Lagian, sekarang kamu lagi datang bulan. Mana bisa," lanjut Nazam, kemudian naik ke ranjang, berbaring memunggungi Sofia.
Wanita itu menatap punggung lelaki itu sinis. Dengan senyum miring, ia juga menaikan kedua alisnya. Masih memilih untuk membisu.
'A-apa?! Apa katanya? Dia akan melakukan itu setelah dia siap? Bukan menunggu aku yang siap? Sialan! Selain pelit, dia juga ternyata sok nge-bos! Owh, shit!' omel Sofia dalam hati.
"Kamu yakin mau tidur dengan gaun itu dan make up tebal?"
Pertanyaan Nazam berhasil mengagetkan Sofia bukan main. Lupa sudah ia dengan umpatan yang baru disebut dalam hati.
Sofia pun berdiri dengan gugup. Memegang handuk putih di tangan erat-erat.
"Iya, mau mandi." Inginnya dia mengomel, tetapi entah mengapa bibir seolah terkunci. Malah Sofia sepertu terhipnotis untuk menuruti apa yang Nazam ucap.
"Oh, ya. Pakai air hangat mandinya biar enggak masuk angin. Tapi ingat, ya, jangan banyak-banyak. Kamu harus hemat," ucap Nazam membuat langkah Sofia yang belum sampai ke kamar mandi.
Dongkol, Sofia ingin sekali melemparkan handuk di tangan ke muka Nazam, tetapi ia masih mencoba menahan sekuat hati.
'Huh, dasar manusia pelit titisan kulkas!'
Jika bukan karena lelah dan ingin segera beristirahat, Sofia sudah jadi meladeni suaminya itu. Namun, godaan untuk segera memejam mata lebih berat sekarang.
Pada akhirnya malam pernikahan pertama mereka dilewati dengan saling memunggungi satu sama lain. Dingin. Dan entah kapan rumah tangga di bawah perjodohan dengan kontrak itu akan menghangat jika mereka saja sebagai pasangan tak saling memberi kesempatan untuk dekat.