"Naran!"
Satu seruan nama itu terdengar familier bagi Naran yang baru saja turun dari kendaraan roda empatnya.
Dia menoleh ke sumber suara, dan mendapati wajah Ify yang terlihat penuh dengan kemarahan.
Naran tak menyahut, bahkan mengalihkan pandangan. Dia bahkan berjalan lurus, menabrak sebelah bahi Ify dengan sengaja. Naran tak melihatnya, seolah-olah Ify hanyalah sebuah bayangan, atau mungkin hanya angis yang tak bersuara atau tak tersentuh.
Sungguh. Dia sangat membencinya.
Ify menggeram kecil bak anak harimau yang tengah kelaparan. Kedua tangannya mengepal kencan, dan dua bola matanya terasa sepanas bara api. Mengeluarkan beningnya air asin, turunemyusuri ceruk pipi.
'Setelah aku menunggu hingga terasa ingin mati, dia malah mengabaikanku begini?! Bukankah seharusnya yang berhak marah itu aku?'
Ify menoleh, melihat punggung Naran yang semakin jauh dari pandangan, lalu hilang ketika lelaki itu masuk ke ruangan kamar.