Ify gelisah. Tak berhenti mengelus perutnya yang sudah membuncit itu dengan kedua tangan. Ia tak berniat menghubungi Naran. Sebab ia takut lelaki itu akan mengetahui kebusukannya. Jika itu terjadi, mungkin rahasia-rahasia kecilnya akan terbongkar, dan akan timbul benci di hati Naran terhadap dirinya.
'Tidak. Aku tak mau rumah tanggaku hancur karena ini.'
Dan Ify masih tidak tahu diri. Mementingkan hidupnya kini dengan egois. Tak peduli dosa telah menggunung meninggi. Ia tetap cuek, berpegang teguh pada pendirian sesatnya.
'Apa pun akan kulakukan untuk hidupku, kekuargaku, dan anakku.'
Beno mengeraskan gerahamnya. Sudah tak tahan lagi ingin membicarakan masalah ini dengan serius. Nafsu amarah yang membuncah itu akhirnya membuat Beno membanting stir. Berhenti di pinggir jalan secara tiba-tiba. Beruntung saat itu jalan sedang lenggang. Jika tidak, gawat.
"Aaaw!" Ify berteriak kaget. Sungguh, dia tak menyangka Beno akan menginjak pedal rem dadakan. Tangannya kontan memeluk perut.