Chereads / Janji dan Komitmen / Chapter 18 - Dion Pengestu

Chapter 18 - Dion Pengestu

Hari ini hari Sabtu. Hari di mana seharusnya Nanda ikut Lana dan Gilang pergi mengikuti misi yang ia berikan sendiri. Namun, ia memerlukan bahan tambahan untuk olimpiadenya Selasa depan.

Sebenarnya, kini semangat Nayla tak begitu membara seperti di awal. Karena memang alasan utamanya berusaha keras mengikuti lomba adalah karena uang. Ia membutuhkan itu agar bisa melanjutkan sekolahnya di sana. Namun, bukan berarti ia bisa melepas tanggung jawab. Dengan uang hasil kejuaraan lomba itu ia bisa mengganti uang Nanda dan berbalik mengerjainya.

Nayla tersenyum licik. Sesekali tak masalah bukan mengerjai Nanda? Pasti Nanda pikir ia tak akan bisa mengerjainya balik. Maka dari itu, ia akan tetap berusaha sekuat tenaga untuk bisa memenangkan lomba Selasa besok dan lebihnya bisa ia berikan pada ibu. Inilah yang dinamakan sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Nanda terlihat berada di ujung jalan lorong perpustakaan nasional. Nayla menatapnya dari jauh. Kalau dipikir lagi, memang Nanda itu tampan, pandai, dan perhatian sekali. Nayla tanpa sadar tersenyum. Ia seakan lupa akan tekatnya untuk menjauhi Nanda.

Nayla bersandar di salah satu rak yang cukup tinggi. Ia sengaja menyembunyikan dirinya agar Nanda kesulitan mencari. Benar saja, Nanda celingukan ke sana kemari mencari Nayla. Ia tak kehabisan ide. Nanda menundukkan kepalanya dan melihat dari celah kosong dari rak buku yang berjejer rapi. Matanya menangkap sesuatu yang tak asing. Ia berjalan mendekat dengan sangat lambat. Saat sudah pas, ia menepuk pundak Nayla dan membuatnya hampir berteriak. Beruntungnya mereka tidak berisik karena Nanda langsung membekap mulut Nayla.

Posisi Nanda dan Nayla sangat dekat. Tidak terbayang oleh mereka berdua akan berada di posisi seperti itu. Wajah mereka dekat sekali dan dapat terlihat rona merah menjalar di wajah keduanya. Namun, Nayla menepis tangan Nanda dan keluar dari kurungan itu. Keringatnya turun melewati pelipis, ia gugup sekali.

"Ah, Nanda! Kenapa lo ngagetin gue sih. Kalo dikeluarin gimana coba?" bisik Nayla dengan nada yang masih kesal. Ia membelakangi Nanda agar lebih mudah mengontrol hatinya.

"Siapa suruh laga-lagaan ngumpet? Lo mau ngerjain gue kan?" tuduh Nanda dengan pongah. Ia berjalan mendahului Nayla dan pergi menuju mesin pencari. Sedangkan Nayla hanya diam mengikuti saja.

"Nih, mending kita ke section ini. Bukunya ada di deretan situ. Ayo, udah kesiangan ni."

"Siapa suruh lo bangun siang?"

"Ye.... Siapa suruh gak bangunin gue?"

"Ya gak ada yang nyuruh lah. Ogah banget gue bangunin lo. Dikira gue pembantu lo kali."

Nanda mengernyitkan dahinya. "Lo kan statusnya asisten gue sekarang. Jadi itu kewajiban lo dong."

"Hello.... Kan lo sendiri yang bilang kalo itu cuma berlaku saat di sekolah. Ini kan gak lagi di sekolah."

Nanda terdiam. Ia termakan ucapannya sendiri. Kalau saja ini di sekolah, ia pasti sudah membungkam balik mulut Nayla yang berisik itu.

"Lo juga kan dari tadi di sini. Kenapa lo gak cari duluan bukunya? Kan lebih efisien."

"Enak aja. Kita ke sini rencananya kan mau belajar bareng. Harusnya dari cari materinya juga bareng. Gak bisa lah kayak begitu. Gue dong yang rugi, yah meskipun ini juga gue udah rugi sih."

"Alamak! Perhitungan banget lo ya. Yaudah buru tuh ambil buku yang sekiranya ada topik yang lagi kita cari. Gue capek. Belom minum dan duduk."

"Yaudah sana lo duduk. Gue cari dulu."

Nanda berjalan ke bangku di sudut ruangan. Di sana tak begitu ramai. Ia bisa dengan tenang belajar di sana. Sebelum itu, ia haus. Ia mengeluarkan air minum botol dari tasnya dan berhati-hati sekali saat menenggaknya.

Nayla masih memilah buku mana yang akan ia bawa ke meja. Di tangannya sudah ada tiga buku dan ia masih mencari dua lagi. Paling tidak ia membutuhkan minimal lima buku agar tak terlalu sering bolak balik ke rak di sana. Lumayan juga jaraknya dari meja yang di duduki oleh Nanda.

Satu dua buku kekurangannya sudah ia dapatkan. Saat Nayla berbalik ia tak sengaja menabrak dada bidang seseorang entah siapa. Ia memberanikan diri mendongak dan menatap wajahnya. Sekali melihatnya, ia terpesona. Fitur wajahnya mengagumkan, sesuai dengan apa yang ia suka. Namun, sepertinya orang itu tidak terlihat asing di matanya.

"Maaf. Saya gak sengaja. Gak tau kalo ada orang lagi lewat di belakang saya."

"Oh, gak masalah. Untungnya kamu gak jatoh dan buku itu juga gak nimpa saya. Repot kan kalo kejatohan kamu plus buku-buku itu? Pasti berat."

Dahi Nayla mengernyit. Harusnya ia kesal tapi ia malah biasa saja mendengarnya. Itu karena saat ia melihat lelaki itu berkata sambil tersenyum, ia merasa ucapan lelaki itu hanya candaan saja dan bukan hinaan.

"Eh, bentar. Kok kayaknya muka kamu gak asing ya?" ucap Nayla sambil berusaha mengingat. Siapa yang punya wajah seperti itu? Teman angkatannya tidak ada yang punya wajah macho dengan kulit tan begitu. Apa mungkin adik kelas atau kakak kelas?

"Kamu mikirin apa? Serius gitu." tanya lelaki itu dengan masih tersenyum ramah.

"Saya ngerasa kamu gak asing. Saya sering lihat kamu tapi gak tau siapa kamu."

"Oh, ya kalo gitu gampang. Tinggal kenalan aja kan beres?"

Nayla mendongak. Berani sekali lelaki itu menawarkan diri untuk berkenalan. Sebenarnya sih tak masalah, dari pada menerka tapi tak ada ujungnya. Bikin pusing saja.

"Saya Nayla, kelas 11 di SMA Pelita."

"Oh! Satu sekolah dong. Aku juga di situ tapi kelas 12. Namaku Dion Pangestu."

Nayla melongo. Benar kan pikirannya tadi. Wajah tak asing itu adalah kakak kelasnya. Ya ampun. Ini kapten basket di sekolahnya yang terkenal akan prestasinya di bidang bola basket. Ia selalu mengharumkan nama sekolah apabila ada pertandingan.

"Ya ampun. Maaf kak, saya lupa. Kakak kan kapten basket yang kemarin bawa pulang piala juara 1 kan? Pantes mukanya gak asing. Saya sering lihat."

"Haha, iya itu aku. Eh, ngomongnya santai aja kali. Gak usah pake saya. Kamu kalo nyamannya pake lo gue juga gak masalah."

"Gak deh kak, nanti dikira songong lagi. Pake aku kamu aja deh biar lebih sopan."

"Bukannya malah kedengeran kaya orang pacaran, ya? Haha...."

Nayla tertegun. Benar juga ucapan kakak itu. Jadi, bagusnya bagaimana?

"Duh, repot ya kak."

"Selow lagi. Kalo kamu pake lo gue, aku juga bisa imbangi. Santai aja."

"Yaudah ka. Thanks ya tadi udah nolong. Gue mau balik ke meja, temen pasti bakal ngoceh lebih panjang kalo gue gak balik sekarang. Kakak bisa join kok kalo mau ikut. Itu tuh, di ujung lorong ya kak."

Dion mengikuti telunjuk Nayla dan mengernyit. "Nanda?"

"Iya, ada Nanda di situ. Gue duluan kak, bye!"

"Kenapa dia selalu sama Nanda sih?" tanya Dion lirih sambil menatap punggung Nayla yang menjauh.