"Guys, aku dan Adnan pamit dulu ya!" Naura kemudian memapah Adnan dan membawanya ke apartemen miliknya.
Dan tentu saja Adnan terbangun keesokan harinya dengan keterkejutan tiada terkira. Dia berada di satu selimut bersama Naura dan tidak memakai pakaian sama sekali.
"Apa yang terjadi Naura?!"
Naura terbangun lalu menjerit, pura-pura turut terkejut. "Adnan apa yang kamu lakukan?!"
"A-aku? Aku tidak tahu, Nau! Aku tidak ingat apa-apa!"
Naura mulai menangis dengan menarik selimutnya sampai menutupi seluruh tubuh polosnya.
"Naura, demi apapun aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!"
"Adnan, bagaimana jika aku hamil?" lirih Naura.
"Ha-hamil? Bagaimana bisa? Aku tidak merasa melakukan apapun!"
Ting tong!
Bel apartemen berbunyi dan tentu saja membuat Adnan serta Naura kalang kabut.
"Naura ...!" panggil seseorang.
"Itu suara Ibu!" pekik Naura.
"Ibumu? Kenapa dia kemari sepagi ini?" Adnan bergegas turun dan memakai pakaiannya, begitupun dengan Naura.
Ibu Naura, Bu Ros, mengetuk-ngetuk pintu kamar putrinya. "Naura! Apa kamu belum bangun?" teriak Bu Ros dari depan pintu.
"Bagaimana ini Adnan ...?" Naura menggigit bibirnya, bisa-bisa dia terkena amukan ibunya.
Adnan dan Naura pun berjalan pelan membukakan pintu kamar. Bu Ros tentu sama terkejut putrinya bersama seorang laki-laki di dalam kamar, tapi ia kenal baik laki-laki itu adalah Adnan.
"Adnan? Kenapa kamu bisa di kamar Naura?!" Bu Ros memandang Adnan dan Naura bergantian.
"Begini, Tante, aku semalam tidak ing--"
"Maaf, Ma. Aku dan Adnan melakukan hal yang tidak seharusnya," potong Naura, yang membuat Adnan mendelik padanya.
"Apa maksudmu, Naura?!" Nada Bu Ros menunggi.
"Naura, apa yang kamu katakan? Kita tidak melakukan apapun!" Adnan mengelak, tentu saja. Karena dia tidak ingat dan tidak merasa melakukan apa-apa semalam.
"Adnan, jadilah laki-laki yang bertanggung jawab!" bentak Bu Ros yang tak terima dengan pengakuan Adnan bahwa dia tidak mengingat dan tidak merasa melakukan apapun.
Naura menghampiri ibunya dan menangis di pundak Bu Ros. Hal itu tentu membuat Adnan semakin pening. Dia yakin dia tidak melakukan apa-apa pada Naura.
"Kalian harus menikah!" tegas Bu Ros seraya menatap tajam pada Adnan.
"Menikah? Tante, aku sudah punya pacar! Bahkan kami sudah berencana akan menikah."
"Jadi kamu mau lari dari tanggung jawab atas perbuatan yang kamu lakukan pada Naura?"
"Naura, katakan sesuatu! Aku tidak mungkin menikahimu, aku punya Fatimah."
"Adnan, bagaimana jika aku hamil?" Lontaran Naura bukannya meredam suasana malah semakin memperkeruh.
"Tante tidak mau tahu, Ad. Kalian harus menikah secepatnya!"
Bagai tersambar petir di siang bolong, Adnan harus terjebak di situasi yang tak seharusnya. Jebakan yang akhirnya memaksanya menikah dengan Naura, bukannya Fatimah.
***
"Sial! Bagaimana caranya aku bisa hamil jika Adnan belum menyentuhku sama sekali!"
Naura memang berhasil menjebak raga Adnan dan menikah dengannya, namun tidak dengan hatinya.
Dia mengaku hamil pada Adnan sebulan setelah kejadian itu berlangsung, akhirnya persiapan menikah mereka diselenggarakan mendadak dalam satu bulan.
"Berpikir Naura ...! Berpikir!" Naura memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Apa aku harus pura-pura keguguran?" Buru-buru Naura menepis pikirannya. "Tidak-tidak. Jika aku keguguran, Adnan pasti akan segera menceraikan aku."
Suara pintu terbuka membuat Naura mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Adnan terlihat memasuki kamar dengan raut wajah yang kusut.
"Kamu kenapa, Ad? Memikirkan Fatimah?" terka Naura dengan nada menyindir. "Ah, iya, ngomong-ngomong siapa pria tampan yang mengaku menjadi pacarnya itu?"
Tidak ada yang tahu bahwa Radinka adalah saudara tiri Adnan, termasuk Naura dan Fatimah.
"Kenapa kamu penasaran? Kamu menyukainya? Itu lebih bagus. Rayu dia agar menjauh dari Fatimah!" bentak Adnan.
Naura mendengus kesal, bukan itu maksudnya. Seharusnya Adnan sadar bahwa Fatimah sudah punya pacar baru dan berharap Adnan membencinya.
"Kapan kamu akan periksa kehamilanmu? Aku lihat perutmu masih rata saja."
Naura hanya memberikan test pack pada Adnan saat itu agar Adnan mau segera menikahinya. Padahal itu hasil tes kehamilan orang lain, bukan miliknya.
"Baru juga berumur delapan Minggu, Ad! Banyak yang sudah empat bulan pun masih belum kelihatan."
Sebenarnya Naura gugup karena dia sama sekali tidak hamil. Bagaimana dia mau periksa kandungan jika tidak ada janin dalam rahimnya?
Setelah pulang dari Singapura, hubungan Adnan dan Naura makin memburuk. Itu karena Adnan melihat sendiri bagaimana Naura hendak menampar Fatimah, untung saja ada Radinka yang mencegahnya.
"Terserahlah. Setelah bayi itu lahir, kita akhiri pernikahan ini."
"Adnan ...!" Naura naik pitam mendengar penuturan Adnan.
"Lebih baik kita memang berteman saja, Nau! Kenapa kita harus menikah? Kenapa kamu harus menghancurkan hubunganku dengan Fatimah?!" cecar Adnan frustasi.
"Kita menikah bukan hanya gara-gara aku. Tapi kesalahan kita berdua!"
"Kesalahan yang mana? Bahkan sampai detik ini aku tidak mengingat sama sekali yang terjadi malam itu. Aku hanya ingat terakhir aku masih berada di rumah Tian!"
"Apa kamu selalu ingin mengajakku bertengkar? Aku ingin hidup tenang, Adnan. Hidup bahagia bersamamu."
"Aku ingin hidup bahagia bersama Fatimah!" Adnan meninggalkan Naura dan ke luar dari kamar.
"Fatimah! Fatimah saja yang kamu pikirkan! Coba pikirkan perasaanku!" teriak Naura frustasi, namun yang diteriaki sudah menghilang dari pandangannya.
Naura pikir Adnan akan mencoba menerimanya dan melupakan Fatimah, karena bagaimanapun status mereka adalah suami-istri sekarang.
Tapi dugaan Naura salah besar, meski mereka berteman bertahun-tahun, Adnan sama sekali tak meliriknya sebagai wanita. Bahkan hubungan mereka sekarang lebih buruk daripada pertemanan.
Adnan memilih pergi dari rumah yang ia tinggali bersama Naura dan menginap di hotel. Beberapa hari setelah kepulangannya dari Singapura membuat suasana hatinya semakin buruk. Apalagi Naura selalu saja memancing amarahnya.
Dia bahagia bisa bertemu Fatimah, namun ternyata disana ia juga harus bertemu Radinka. Bahkan saudara tiri yang begitu ia benci itu mengaku sebagai kekasih Fatimah.
Naura semakin pening memikirkan bagaimana caranya agar ia hamil dalam waktu singkat. Jika dia tak kunjung hamil dalam waktu dekat, sudah pasti kebohongannya akan terbongkar dan Adnan akan segera menceraikannya.
Otak liciknya pun menemukan cara lain agar Adnan mau menyentuhnya. "Jika tak bisa cara halus, memang harus menggunakan cara licik. Aku tunggu kamu pulang, Adnan!" Naura bergumam kesal sendirian.
***
"Sebenarnya apa yang terjadi di antara kamu dan Adnan? Kenapa dia bisa menikahi Naura?" tanya Radinka.
"Aku tidak tahu cerita detailnya, tapi Adnan bilang dia terbangun dan tiba-tiba berada di kamar bersama Naura ... akhirnya mereka dipaksa menikah."
Masih terlihat jelas sorot kesedihan dari mata Fatimah saat menceritakan tentang Adnan.
"Adnan? Melakukan hal itu? Aku tak percaya." Meski mereka saudara tiri dan tak begitu dekat, Radinka percaya bahwa Adnan bukan pria seperti itu.