Menyadari ia membuat kegaduhan pun Fatimah meminta maaf dan memelankan suaranya.
"Adnan saudaramu? Tapi setahuku dia tidak punya kakak atau adik. Bukannya dia anak tunggal?" cecar Fatimah. "Dan juga wajah kalian tak mirip sama sekali," lanjutnya dengan memperhatikan wajah Radinka.
"Aku dan Adnan saudara tiri."
"Kamu saudara tiri Adnan?" Fatimah sama sekali tak mengetahui hal ini. Selama berpacaran dengan Adnan, ia tak pernah tahu bahwa Adnan mempunyai saudara tiri.
Radinka mengedikkan bahu. "Ya, umur kami hanya berbeda beberapa bulan."
Fatimah menutup mulutnya tak percaya. "Kenapa tak katakan sejak awal?!"
"Untuk apa?"
"Aku tidak mau menjadi pacarmu jika tahu seperti ini!"
"Kamu takut menyakiti Adnan?" duga Radinka yang membuat Fatimah tak dapat menjawab. "Kenapa kamu takut dia terluka? Padahal dia saja sudah meninggalkanmu untuk menikahi wanita lain."
Radinka benar, Fatimah takut Adnan merasa sakit hati. Putus dari Adnan lalu berpacaran dengan saudara tiri Adnan? Yang benar saja.
"Radinka, sepertinya aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini!"
"Aku sudah memberitahumu kenapa masih meminta putus juga? Mau kamu mantan pacar Adnan sekalipun, aku tidak peduli!"
"Tapi aku tidak bisa. Sebelum hubungan kita terlalu jauh, kita akhiri saja sampai disini."
"Aku tidak mau. Apa kamu tidak mau membalaskan dendam padanya? Jadikan aku pelampiasan dan membuatnya sakit hati."
"Aku memang menjadikanmu pelarian, tapi tidak untuk balas dendam. Aku tidak diajarkan untuk menjadi seorang pendendam!"
Radinka merasa tertampar mendengar kalimat terakhir Fatimah, sebelum Fatimah pergi dari hadapannya.
Belum selesai urusannya dengan Adnan dan Radinka, kini Fatimah dicegat oleh Naura saat berjalan ke luar restoran.
"Apa kamu senang bisa membuat suami orang sampai menyusulimu jauh-jauh kesini?!"
"Kamu kemari untuk menyusuli suamimu, kan? Cepat bawa dia pulang!" Fatimah memilih menghindari Naura, namun tak mudah. Kaki Naura menghalangi langkahnya.
Ada apa dengan hari ini? Adnan kemari tanpa sepengetahuan Fatimah, dan kini Naura juga ada disini.
"Aku tidak menyangka wanita yang terlihat baik sepertimu adalah wanita penggoda."
"Jaga mulutmu Naura ...!" geram Fatimah.
"Dasar perebut suami orang!"
Fatimah tertawa sumbang. Wanita di hadapannya ini sepertinya butuh cermin.
"Apa kamu tidak malu mengatakannya? Siapa yang merebut siapa, hah? Adnan itu milikku dan kamu yang mencurinya. Lalu kini maling teriak maling? Aku tidak pernah menggoda suamimu! Dia sendiri yang masih mengejarku!"
Rahang Naura mengeras, merasa tak terima dengan apa yang dilontarkan Fatimah. Tangannya terangkat hendak menampar Fatimah.
"Naura!" Adnan berteriak melihat istrinya hendak menampar Fatimah.
"Hentikan!" Di saat yang bersamaan ada tangan yang menahan tamparan Naura, tangan itu milik Radinka.
Naura melihat pada pria yang mencekal tangannya. "Siapa kau?"
"Aku kekasih Fatimah!" tegas Radinka kemudian menghempaskan tangan Naura. "Jangan ganggu kekasihku!" Ia memberi peringatan.
Radinka menyusuli Fatimah dan melihatnya sedang berdebat dengan Naura, untung dia datang di saat yang tepat dan mencegah Naura menampar Fatimah.
Adnan pun berjalan mendekat, saat sedang mencari-cari Fatimah, ia melihat Naura hendak menampar pun memarahi Naura. "Untuk apa kamu kemari?!" bentak Adnan pada istrinya.
"Tentu saja menyusulimu! Bisa-bisanya kamu meninggalkan istrimu yang sedang hamil untuk menemui mantan pacarmu?!"
Fatimah masih tak percaya dengan kejadian rumit yang ada di depannya saat ini.
"Mulai sekarang jangan ganggu aku. Kamu dan Naura sudah menikah, Ad. Aku dikatai wanita penggoda bahkan perebut suami orang, padahal aku tak melakukan apapun!" pekik Fatimah.
"Naura, aku sendiri yang kesini untuk bertemu Fatimah!" jelas Adnan.
"Selesaikan urusan rumah tangga kalian dan jangan ganggu Fatimah!" Radinka menarik tangan Fatimah agar pergi dari suami-istri yang sedang bertengkar itu.
Tanpa protes, Fatimah mengikuti Radinka daripada dia berlama-lama melihat drama Adnan dan Naura.
***
"Mereka berdua sama tidak warasnya, pantas saja berjodoh!" gerutu Fatimah saat sudah sampai di apartemennya diantar oleh Radinka.
Mereka berdua duduk di ruang tamu dan Fatimah mulai mengoceh. Biasanya dia mengoceh sendiri, namun saat ini ada yang mendengarkannya.
"Terima kasih kamu datang disaat yang tepat," ujar Fatimah seraya menatap Radinka.
"Harusnya jangan biarkan dia menamparmu. Jika tak ada aku, kamu pasti pasrah saja tangannya mendarat di pipimu."
"Naura benar-benar sudah kehilangan akal. Dia menyebutku wanita penggoda bahkan menuduhku merebut Adnan darinya. Apa dia tidak punya cermin?!" Fatimah meraup wajahnya kasar, dalam hatinya ia kesal bukan main dengan tuduhan Naura.
"Sudah ku bilang pacaran denganku dan balaskan dendam pada mereka. Tidak usah pedulikan Adnan sakit hati atau tidak. Dia juga tidak memikirkan perasaanmu sampai harus menikahi wanita lain."
"Aku tidak mau balas dendam. Jika suatu saat aku jatuh cinta padamu, itu karena takdir. Tapi saat ini aku belum punya perasaan apapun untukmu."
Sudut bibir Radinka terangkat membentuk senyum tipis. "Tidak usah terburu-buru jatuh cinta padaku."
"Kenapa percaya diri sekali? Aku katakan kan jika takdir. Kalau aku tidak ditakdirkan jatuh cinta padamu, sekuat apapun aku mencoba ya tidak akan bisa."
"Sepertinya kita memang ditakdirkan," cetus Radinka.
"Lebih baik kamu pergi sekarang." Fatimah bukan bermaksud mengusir, namun jika Radinka berlama-lama disini sepertinya dia bisa jatuh cinta lebih awal.
"Kamu mengusirku?"
"Iya. Memang kenapa? Ini kan apartemenku."
"Kamu bahkan belum memberiku minuman sama sekali!" protes Radinka dengan ekspresi merajuk.
Fatimah pun tertawa melihat ekspresi Radinka yang terlihat lucu baginya.
"Aku senang melihatmu tertawa. Aku akan membuatmu bahagia lebih dari yang pernah Adnan lakukan."
Ucapan Radinka membuat Fatimah membeku seketika. "Berhentilah! Kamu membuatku takut jika seperti itu."
Radinka pun tergelak. "Oke-oke, kalau begitu aku pamit dulu."
Setelah Radinka pergi, Fatimah sudah payah mengatur detak jantungnya yang semakin menggila.
***
Malam itu Adnan dan Naura serta beberapa temannya menghadiri acara ulang tahun salah satu teman SMA mereka yang bernama Tian.
Ketika teman-teman yang lainnya meminum minuman beralkohol, Adnan sama sekali tak menyentuhnya. Ia tak menyukainya dan memang haram baginya menyentuh minuman itu.
Naura terus saja merayu Adnan, namun Adnan tak terbujuk sama sekali.
"Kalau begitu kamu mau minum apa?" tanya Naura.
"Air putih saja, Nau."
"Kamu polos sekali!" cebik Naura, lalu meninggalkan Adnan untuk mengambilkan air minum.
Naura mempunyai rencana, ia ingin memiliki Adnan. Mereka berteman sejak sekolah dasar, namun Adnan memiliki kekasih yang Naura tahu bernama Fatimah. Dia hanya melihat di sosial media dan tak pernah bertemu dengan Fatimah langsung.
Naura pun memberikan obat tidur pada minuman Adnan, sengaja menjebak agar teman kecilnya itu mau menikahinya.
"Ini, Adnan."
Naura menyodorkan segelas air pada Adnan, dan rencananya berhasil. Adnan tertidur tak lama setelah meminum air yang ia bawakan.