Setelah memilih menu, Radinka pun membuka obrolan. "Apa kamu punya pacar, Fat?"
"Bukankah sudah aku katakan waktu itu?" Fatimah menaikkan satu alisnya, dia ingat betul bahwa sudah memperingatkan Radinka bahwa dia punya pacar, meski ia berbohong.
Radinka melipat kedua tangannya di atas meja. "Siapa dia? Aku ingin tahu."
"Karena kamu ingin merebutku darinya? Aku tidak tertarik padamu, Radinka. Dan aku ini tipe wanita setia asal kamu tahu."
Radinka tersenyum misterius. "Benarkah? Kalau begitu aku akan mengujimu."
Fatimah semakin tidak bisa menebak jalan pikiran pria yang ada di depannya ini. Menguji? Apa maksudnya?
Mereka pun makan malam singkat dan hendak berpisah.
"Biar aku antar sampai apartemen," tawar Radinka.
"Tidak usah, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri," tolak Fatimah. "Terima kasih atas makan malamnya. Sudah kan? Setelah ini kita tidak ada sangkutan apapun." Fatimah memperjelas.
"Kamu tidak ingin berhubungan lagi denganku setelah ini? Aku benar-benar menyukaimu, Fatimah." Radinka menatap lekat pada Fatimah, sorot matanya terpancar harapan.
Fatimah terpana untuk beberapa detik dan segera menarik penuh kesadarannya. Ia berdehem beberapa kali, entah kenapa tenggorokannya tiba-tiba terasa gatal.
"Maaf, Radinka. Aku benar-benar sedang tidak ingin berhubungan dengan siapapun."
"Katanya kamu punya pacar? Tapi sedang tidak ingin berhubungan dengan siapapun?"
Fatimah menelan ludah, merasa sudah salah bicara. Memang dasarnya ia tak pandai berbohong.
"Eh, itu ... maksudku ...." Fatimah memutar bola matanya, mencoba mencari kebohongan apalagi yang harus ia lontarkan.
"Tak usah berbohong, kamu memang tidak punya pacar kan?" terka Radinka yang membuat Fatimah merasa ketahuan telah berbohong.
"Iya. Aku tidak punya. Kenapa? Karena aku terlihat menyedihkan?"
"Siapa yang bilang kamu terlihat menyedihkan? Memangnya apa yang terjadi?"
"Kekasihku meninggalkan aku untuk menikahi wanita lain."
"Cukup tragis. Tapi kamu sama sekali tak kelihatan bersedih. Apa kamu sudah tidak mencintainya?"
"Aku benci padanya. Siapa yang tak benci dan marah jika ditinggal menikah saat hubungan kita baik-baik saja?"
"Jadikan saja aku sebagai pelampiasanmu. Mungkin saja lama-lama kamu memang benar-benar jatuh hati padaku kan?"
"Jadikan saja aku sebagai pelampiasanmu. Mungkin saja lama-lama kamu memang benar-benar jatuh hati padaku kan?"
Tawaran Radinka membuat Fatimah berpikir untuk beberapa detik. Tak ada salahnya mencoba kan?
"Bagaimana?" tanya Radinka lagi karena beberapa detik sudah berlalu Fatimah belum juga menjawab.
"Apa kamu benar-benar serius dengan ucapanmu?"
"Apa aku terlihat membual?"
Fatimah menatap kedua bola mata Radinka, namun ia tak bisa menebaknya. Tak seperti Adnan, Fatimah dengan mudah menebak perasaan mantan kekasihnya itu melalui matanya.
Entah kebohongan atau kejujuran yang dilontarkan Radinka, namun Fatimah seperti tersihir begitu saja.
"Baik. Aku terima tawaranmu."
"Kamu mau jadi kekasihku?" tanya Radinka memastikan.
Fatimah pun mengangguk dan tersenyum malu-malu. Mungkin ini pilihannya yang tepat untuk melupakan Adnan. Radinka tak begitu buruk. Dia tampan meski terlihat misterius.
Tapi entah pilihan Fatimah menerima tawaran Radinka sekarang ini tepat atau tidak. Mengingat mereka belum saling mengenal terlalu jauh mengenai kepribadian mereka masing-masing.
Fatimah pun pamit dan berbalik. Berjalan begitu pelan meninggalkan Radinka yang masih berdiri di depan restoran.
'Sepertinya ucapanku sepulang dari sini membawa calon suami akan menjadi kenyataan.' Fatimah berucap dalam hati.
***
Mata Fatimah membulat lebar tak percaya dengan siapa ia berhadapan saat ini.
"Fatimah, kenapa kamu pergi?" tanya pria yang sudah payah ia hindari sampai sejauh ini.
"Adnan, untuk apa kamu kemari?!" Tangan Fatimah memegang tasnya erat-erat, ingin sekali rasanya menampar Adnan dengan tas yang ia pegang.
"Tentu saja aku ingin menemuimu!"
"Sadarlah kamu sudah punya istri! Kamu sudah punya Naura! Kamu seharusnya bersama istrimu bukan malah kemari menghampiriku!"
Fatimah tak habis pikir bisa-bisanya Adnan ke Singapura hanya untuk menemuinya. Dan lagi siapa yang memberitahu Adnan bahwaFatimah ada disini.
"Aku tidak mencintai Naura, Fat. Harus berapa kali aku bilang?! Aku hanya mencintaimu."
"Tapi kenyataannya kamu menikahinya, Ad. Kamu menikahi Naura, bukannya aku!"
"Aku terpaksa Fatimah. Ini bukan kemauanku ...," lirih Adnan.
"Terpaksa atau tidak pada kenyataannya kalian sudah sah menjadi suami-istri. Aku tidak mau dicap sebagai perusak rumah tangga orang!"
"Fatimah."
Suara seseorang memanggil namanya sontak membuat Fatimah dan Adnan menoleh ke sumber suara secara bersamaan.
"Radinka, kamu kemana saja?!" protes Fatimah, namun disisi lain ia merasa lega karena bisa segera menghindari Adnan.
"Kamu?!" Tangan Adnan terkepal marah melihat siapa yang memanggil Fatimah.
Fatimah pun heran melihat Adnan yang terlihat begitu benci menatap Radinka.
"Kamu mengenalnya?" tanya Fatimah pada Adnan seraya melirik pada Radinka.
"Ayo, katanya mau makan siang?" Radinka seakan tidak menganggap Adnan ada dan hanya melihat Fatimah.
"I-iya." Fatimah hendak pergi, namun tangan kirinya ditahan oleh Adnan.
"Jangan pergi dengannya. Kenapa kamu bisa bersama Radinka?"
"Lepaskan kekasihku!" Radinka berseru seraya menarik tangan kanan Fatimah.
"Kekasih? Kamu berpacaran dengan pria ini, Fat?" Adnan menunjuk Radinka dengan telunjuknya.
Fatimah menatap Radinka dan Adnan bergantian, entah mengapa dia bisa berada di antara dua manusia ini.
"Kalian kenapa sih? Kalian saling kenal? Ada masalah? Silahkan selesaikan! Jangan tarik-menarik aku seperti ini!" Fatimah menghempaskan tangan Adnan dan Radinka bersamaan.
"Jangan dekat-dekat dengan dia, Fatimah. Dia berbahaya."
Fatimah pun semakin tak mengerti dengan ucapan Adnan.
"Urus saja istrimu di rumah! Kenapa jauh-jauh kemari untuk merebut kekasih orang?" sindir Radinka.
Fatimah menyadari sesuatu, Adnan dan Radinka memang saling mengenal atau mungkin lebih dari sekedar kenal. Radinka jelas tahu bahwa Adnan sudah menikah.
"Kamu benar-benar berpacaran dengannya, Fat?" Adnan menatap Fatimah dan sorot matanya terlihatkecewa.
Fatimah mengangguk pelan, mungkin ini salah satu cara agar Adnan berhenti menganggunya.
"Secepat itu kamu melupakan aku?"
"Kamu yang meninggalkan aku lebih dulu, Adnan. Jika kamu tidak menikah dengan Naura, hubungan kita akan baik-baik saja."
"Kamu sudah dengar jawaban pacarku, kan? Lupakan, Fatimah dan urus saja istrimu!" Setelah memeringatkan Adnan, Radinka menarik Fatimah untuk segera pergi.
Mereka berdua makan siang bersama, namun Fatimah mendiamkan makanannya dan malah melamun.
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Sebenarnya kalian ada hubungan apa?" Pertanyaan yang sudah Fatimah pendam sejak tadi akhirnya terlontar juga.
"Siapa?" Radinka pura-pura tak mengerti.
"Kamu dan Adnan."
"Kenapa ingin tahu?"
"Kamu kekasihku, memangnya aku tidak boleh tahu tentang pacarku sendiri?"
Radinka malah tersenyum, bukannya menjawab pertanyaanFatimah.
"Kalau kamu tidak mau menjawab, kita putus!" ancam Fatimah kemudian.
"Kita bahkan belum genap satu bulan berpacaran, Fat. Ini tidak lucu!" protes Radinka.
"Kalau begitu jawab pertanyaanku."
"Adnan ... dia saudaraku."
"Apa?!!" Fatimah terkejut bukan main sampai tak bisa mengontrol suaranya dan membuat semua orang menatapnya.
Menyadari ia membuat kegaduhan pun Fatimah meminta maaf dan memelankan suaranya.