Diga baru saja mengeluarkan sepedanya dari garasi, sudah terlihat gadis berambut panjang lengkap dengan pakaian olahraganya dan tentu saja membawa sepeda kesayangannya.
"Udah sarapan belum?" tanya Maryam ibu dari Diga yang sudah sangat mengenal gadis ini.
"Belum bu! Dari tadi nggak di bukain pintu sama Diga!" ujar gadis itu dengan tatapan yang sangat sinis ke arah Diga.
Maryam mendengar itu langsung segera membukakan pintu dan langsung memarahi anaknya Diga yang tidak membuka garasi.
"Nggak usah di suruh masuk bu. Udah mau jalan soalnya," ucap Diga langsung mengambil tangan sang ibu untuk bersaliman diikuti dengan gadis itu yang juga ikut bersaliman.
"Olahraga dulu ya bu!" pamit gadis itu.
* * *
"Lo kenapa sih dari kemarin murung terus?" tanya Kai sambil mengayuh sepedahnya.
Akhir pekan menjadi ritual mereka untuk bermain sepeda berkeliling komplek dan berpetualang entah kemana, tetapi pada minggu ini Diga sangat terlihat tidak bersemangat.
Diga tidak menjawab pertanyaan Kai dan terus mengayuh sepedahnya mengikuti jalan tentu saja membuat sahabatnya ini kesal.
"Ga! Apaansih lo tuh gue tanya, kenapa? Malah diem aja!" seru Kai kesal karena melihat sahabatnya bertingkah seperti itu.
Diga masih belum merespon perkataan Kai ia terus menyusuri jalan hingga akhirnya sepeda berhenti di sebuah taman yang berada di komplek, kakinya langsung melangkah ke arah belakang taman yang terdapat pohon besar dan di atasnya ada rumah kecil yang hanya bisa di masuki oleh dua orang saja.
Rumah pohon yang berukuran 50x30 ini merupakan tempat bermain mereka sejak kecil yang di bangun oleh Surya ayah dari Kai.
"Naik," ajak Diga sambil menarik tangan Kai untuk bisa menaiki anak tangga yang tinggi.
Sesampainya mereka di rumah pohon kenangan masa kecil langsung terbayang dengan jelas, terdengar jelas gelak tawa dua bocah kecil yang kesenangan karena memiliki rumah pohon yang hampir setiap hari sepulang sekolah selalu mereka singgahi.
Mata Kai langsung tertuju pada sebuah vas foto yang sudah kotor.
"Haha. Mata lo udah kayak Mr Bean!" ujar Kai sambil menunjukan vas foto yang sudah kotor itu.
Diga masih belum ada respon apapun ia langsung menuju ke arah luar dan duduk di pinggir balkon rumah pohon.
"Lo masih belum mau ngomong kenapa dari tadi jutek aja?"
Diga langsung menatap mata Kai sangat dalam dan penuh dengan arti seperti laki-laki yang akan mengutarakan perasaannya kepada perempuan impiannya.
"Nggak usah natap gue kayak gitu. Gue cuma butuh penjelasan lo doang!" kesal Kai.
"Bella. Bella mutusin gue semalem," ucap Diga dengan tenang tetapi penuh dengan penekanan.
"What?! Why?" tanya Kai penasaran karena hubungan Diga dan Bella yang sudah hampir satu tahun ini berjalan dengan mulus saja.
"Gue di selingkuhin. Semalem pas gue lagi beli makan di depan, ngeliat Bella lagi sama cowo lain," jelas Diga kepada Kai.
Darah Kai langsung naik mendengar penjelasan itu karena kesal bisa-bisanya orang lain meskipun Bella adalah pacarnya menyakiti sahabatnya. Tangannya langsung di kepalkan, geram melihat tingkah laku Bella.
"Terus lo diem aja?"
Diga hanya menganggukan kepalanya, pasrah dengan keadaan adalah sifat yang tidak bisa di hilangkan oleh Diga sejak ia kecil meskipun berapa kali Kai terus mendorong agar Diga meninggalkan sifat pasrahnya itu.
"Lo tuh gimana sih? Lo udah di selingkuhin dan lo diem aja?!" marah Kai sambil menatap mata Diga penuh dengan emosi.
"Ya terus gue harus apa? Nonjok cowo itu? Its not me, Kai!"
Kai langsung menghela nafasnya panjang berusaha untuk tidak terlalu emosi.
"Yaudah. Gue juga udah di putusin sama Bella, masalah gue sama dia udah selesai. Sekarang tinggal gimana caranya sakit hati gue bisa hilang dan gue lupa sama dia."
Kai memalingkan pandangannya terpaku pada anak kecil yang sedang tertawa lepas dan berlari kesana kemari bersama dengan teman sebayanya. Terbesit dalam pikirannya bahwa menjadi anak kecil sangatlah mengasyikan, mudah untuk menemukan kesenangan dari hal kecil yang ia temui.
"Lo liat deh anak kecil itu," ucap Kai sambil menunjuk ke arah anak kecil.
"Dulu kita bisa loh buat langsung menghapus air mata yang ada di pipi dan mengganti kesedihan dengan tawa lepas dari hal yang sederhana."
"Maksud lo?" tanya Diga heran mendengar ucapan Kai.
"Iya. Coba deh lo pikirin hal kecil apa yang bisa menyembuhkan kesedihan lo sekarang, lo resapi. Coba tutup mata lo sekarang," perintah Kai kepada Diga.
Diga langsung menutup matanya tanpa ada kecurigaan apapun terhadap sahabatnya ini.
"Lo resapi, lo ingat-ingat lagi apa yang bisa bikin lo bahagia," ucap Kai sambil bangun dari duduknya untuk mengambil kecoa yang ada di sudut balkon itu.
Suara Kai semakin menjauh tetapi Diga masih belum ada rasa curiga.
"Semakin diresapi, terus, terus," ujar Kai, tangannya yang masih kesusahan untuk mengambil kecoa membuat dirinya harus membaringkan tubuhnya sedikit.
"Udah?" tanya Kai.
"Udah!"
"Oke sekarang buka mata lo!"
Diga langsung membuka matanya perlahan mengikuti intruksi dari Kai.
"TARAAAAA!!!!!!!" teriak Kai dengan semangat dan kedua tangannya yang memegang kecoa.
Diga melihat kecoa yang ada di depan matanya langsung bangun dari duduknya menuju tangga turun.
"Sialan lo Kai. Berani-beraninya ya, tunggu balas dendam gue!" ucap Diga sambil terus melarikan diri.
Akhirnya mereka berdua berlarian kesana kemari dengan Kai yang masih memegang kecoa di tangannya, hingga akhirnya Diga menyerah dan berusaha untuk menenangkan Kai untuk melepaskan kecoa itu.
"Udah Kai. Please, gue udah capek banget," mohon Diga dengan suara yang terengah.
Setelah Kai melepaskan kecoa itu mereka langsung mengambil sepedahnya masing-masing untuk menuju ke arah penjual bubur yang berada di depan komplek dan disaat itu juga percakapan serius dimulai.
"Sebenernya tadi gue udah tau hal kecil apa yang membuat diri gue bahagia dan langsung melupakan kesedihan yang sedang menimpa," ucap Diga serius.
Kai menyeringitkan dahinya ternyata ucapannya yang spontan bisa menjadi titik terang bagi kesedihan sahabatnya.
"Apa?"
"Makan es krim vanilla bareng sama lu, kayaknya itu adalah salah satu penyembuh paling ampuh," jelas Diga serius.
Kai yang tadinya tertawa dengan keras kini langsung terdiam mendengar ucapan Diga, sebenarnya bukan hal yang asing untuk Diga mengucapkan itu tetapi perasaan aneh yang ada di dalam hati Kai yang langsung mencuat.
"Seriously?" tanya Kai meyakinkan.
Diga menganggukan kepalanya dengan semangat.
Sepanjang perjalanan ke arah penjual bubur Kai terus memikirkan perasaan aneh yang ada di dalam hatinya terhadap Diga, ia selalu berusaha membuang pikiran kotor itu karena tidak ingin melanggar peraturan nomer 2 yang sudah mereka sepakati.
"Apakah gue salah kalo punya perasaan aneh ini terhadap Diga?" gumam Kai di dalam hatinya.