Chereads / Gadis Bisu: Jerat CEO BDSM / Chapter 8 - BIBIR TIPIS WAJIB DICICIPI

Chapter 8 - BIBIR TIPIS WAJIB DICICIPI

Waktu seakan bergerak melambat kali ini. Te Ressa gelisah di tempat ketika ia melihat tuan mudanya dalam keadaan tak sehelai benang namun masih mengenakan celana dalam dan tengah mengusap keringatnya.

Tubuh Ben Eddic tergambar jelas di dalam pikiran Te Ressa. Bagaimana lengan-lengan berotot itu bergerak ke segala arah, pinggang itu bergerak ke kanan dan ke kiri, betapa kokohnya kaki itu berdiri dan tonjolan dibalik celana dalam itu ... eumm ....

Te Ressa segera menundukkan kepalanya dan mundur beberapa langkah, namun baru beberapa langkah, Te Ressa tak sengaja menjatuhkan ember yang ia bawa, membuat Ben Eddic menoleh dan mengerutkan keningnya tak menyangka bahwa seorang Te Ressa Graham berada di kamarnya.

Ben Eddic menghela napasnya. Ia yang tadi ingin marah pada siapapun yang berani masuk kamarnya, seketika entah pergi kemana emosinya itu. Hati Ben Eddic melunak dan kakinya mulai melangkah mendekati Te Ressa yang masih menundukkan kepalanya dan terlihat gelisah dengan kedua tangannya yang meremas apronnya.

Kini pria itu tepat berada di hadapan Te Ressa. Ben Eddic meraih dagu Te Ressa, mengangkatnya agar Te Ressa tak terus-menerus menunduk. Dan ....

Ben Eddic tersentak dan matanya membulat. Gadis di hadapannya tengah menitikkan air mata. Te Ressa Graham menangis. Gadis manis yang ada di rumahnya menangis bahkan Ben Eddic baru menyentuh dagunya.

"Hey ... hey kenapa kamu menangis?" Ben Eddic seketika terdiam dan ia pun teringat akan sesuatu. Te Ressa anak tuna rungu. Te Ressa tak mungkin mendengar apapun yang Ben Eddic katakan, membuat pria itu menghela napasnya.

Ia melepaskan dagu Te Ressa dan mencari kertas dan pulpen di sekitar meja kerjanya. Setelah mendapatkannya, Ben Eddic pun menuliskan sesuatu di sana dan memberikannya pada Te Ressa.

[Kenapa kau menangis? Ada yang menyakitimu? Kau tiba-tiba menangis.]

Te Ressa menggelengkan kepalanya dan meraih pulpen yang Ben Eddic berikan dan menuliskan pesan di atas kertas itu.

[Maafkan saya, Tuan. Saya seharusnya keluar dari kamar Anda sebelum Anda pulang. Saya akan keluar sekarang.]

Setelah Te Ressa memberikan catatan pada Ben Eddic, Te Ressa membungkuk menghormati Ben Eddic dan kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.

Namun ....

BRAG!

Ben Eddic menahan pintu kamarnya yang tadi akan terbuka. Te Ressa yang tak bisa mendengar suara itu hanya terlihat bingung, melirikkan matanya ketika melihat lengan kekar Ben Eddic mengungkungnya dari belakang. Te Ressa semakin ketakutan saat ini. Ia hanya ingin menangis. Tubuh bergetar dan tak bisa dipungkiri bahwa ia seperti berada di kandang singa.

"Kumohon jangan bunuh aku, Tuan." Te Ressa membatin. Te Ressa mengangkat kepalanya yang tadinya tertunduk, dan menatap selembar kertas yang tertempel di pintu. Te Ressa yakin bahwa Ben Eddic yang menempelkannya di sana ketika ia menahan pintu itu.

[Tetaplah di sini. Dan temani aku. Aku tidak akan menyakitimu.]

Ya itu yang dituliskan Ben Eddic.

Te Ressa membalikkan badannya, dan kini matanya bertemu dengan sang pemilik bola mata hitam kecoklatan itu. Te Ressa menatap Ben Eddic dengan tatapan gelisah, seakan ia tak sanggup ditatap lama-lama oleh Tuan Mudanya itu.

Ketika Te Ressa akan menundukkan kepalanya lagi, dengan cepat Ben Eddic meraih dagu Te Ressa, berusaha untuk membuat kontak mata dengan gadis manis di hadapannya. Ben Eddic tidak ingin menghilangkan kesempatan untuk menatap mata indah itu. Mata biru di salah satu matanya.

Kini Ben Eddic mendekatkan wajahnya dan menepis jarak di antara keduanya. Ben Eddic mendekatkan bibirnya beberapa centi dari bibir Te Ressa.

"Bibir yang tipis ... can i taste it?" pikiran Ben Eddic melayang entah kemana. Ya pikiran kotornya kembali menguasainya. Namun ia masih memiliki hati untuk tidak melukai gadis manis di hadapannya ditambah ia anak yang memiliki kekurangan.

Entah kemana hati kejam Ben Eddic. Ben Eddic melunak dan bahkan saat ini jarinya tengah mengelus pipi Te Ressa. Ben Eddic semakin menepis jarak. Bibir itu semakin dekat dan dekat. Namun ia tidak kunjung mengecup bibir tipis kemerahan itu. Ben Eddic hanya menjulurkan lidahnya dan sedikit menyapu bibir tipis Te Ressa.

"Sweet ... very sweet."

Ben Eddic tersenyum miring, dan kemudian menarik tangan Te Ressa mendudukkan Te Ressa di sofa kesayangannya dan memberikan isyarat untuk tetap duduk di sofa itu. Te Ressa hanya diam dan duduk dengan ketakutannya. Ben Eddic pun melenggang pergi masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.

***

Te Ressa masih duduk diam dengan meremas apron yang sejak tadi ia kenakan. Ia terus menundukkan kepalanya, hingga pada akhirnya ia kembali menitikkan air mata. Nasib gadis belia itu benar-benar dalam bahaya sekarang.

***

Ben Eddic baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya handuk yang terlilit di pinggangnya, dengan handuk kecil yang terselampir di tengkuk lehernya.

Te Ressa? Ia tertidur di sofa. Ia sudah kelelahan mengerjakan pekerjaannya dan lelah menangis karena ketakutan.

Ben Eddic segera melangkah ke kasurnya, di mana baju tidurnya telah tersedia di sana dan dia pun mengenakannya. Selagi, Ben Eddic mengenakan pakaiannya, ia menolehkan kepalanya menatap gadis manis yang sudah merapikan isi kamarnya walaupun ia sama sekali tidak menyuruh siapapun untuk membersihkan. Lalu, Ben Eddic mengambil cangkir teh chamomile yang dibawakan Te Ressa untuknya.

"Ahh~ ini menyegarkan," ucap Ben Eddic ketika ia meneguk teh chamomile itu. Ben Eddic memejamkan matanya sejenak dan kembali meneguk teh itu. Setelah itu, Ben Eddic menaruh cangkir itu dan melangkah mendekati Te Ressa yang tengah tertidur di sofa. Ben Eddic duduk menghadap Te Ressa di sofa yang lain, memerhatikan dengan seksama wajah damai gadis manis yang tengah tidur itu.

Bagaimana dadanya kembang kempis menghembus dan menghirup napas.

Bagaimana bibir tipis itu sedikit terbuka.

Terlihat bagaimana mata sembab itu terpejam.

Namun satu hal, Ben Eddic merindukan mata biru itu.

Rambut yang sedikit berantakan.

Hidung yang kecil nan mancung.

Rahang yang cukup runcing membuatnya makin terlihat cantik di usianya.

Selagi Ben Eddic masih asik memperhatikan gadis manis di depannya. Terdengar isakan tangis Te Ressa. Lagi.

"Dia menangis lagi. Apa yang kau mimpikan anak manis sampai-sampai kau menangis bahkan dalam tidurmu? Apa hidupmu terlalu menyedihkan?" ucap Ben Eddic bermonolog dan kemudian bersandar dengan mengangkat salah satu kakinya dan menumpunya dengan kakinya yang lain.

Setiap pergerakan Te Ressa yang masih tertidur itu, selalu dalam pantauan Ben Eddic. Wajah Te Ressa perlahan memucat. Terlihat jelas aliran keringat mengalir di kening gadis itu, ia meringsut berusaha mencari kehangatan di sana.

Ben Eddic mengerutkan keningnya ketika melihat pergerakan Te Ressa itu. Hingga akhirnya ia berdiri dan kemudian mendekati Te Ressa. Lalu berjongkok di dekat sofa dan menyentuh keningnya.

"Dia demam?"

Ben Eddic segera berdiri dan kembali masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa menit, Ben Eddic pun keluar dengan membawa baskom dan handuk kecil. Lalu mengompres kening Te Ressa dan memberikannya selimut.

Seketika Te Ressa pun kembali tenang dalam tidurnya. Ben Eddic menghela napasnya dan kemudian berjalan membaringkan dirinya di sofa. Ben Eddic masih terjaga dengan tatapan matanya yang tak teralihkan dari Te Ressa.

"Sejak kapan aku jadi menjadi selembut ini pada asisten rumah tangga? Kemana hati kejamku? Apakah pada dirimu saja aku menjadi hangat dan melunak?"